[Bagian satu baca http://www.kompasiana.com/kang_insan/padahal-aku-sangat-suka-pelangi_559b851a3fafbd7207b42edb]
(3)
Mendengar kata pelangi, ingatanku langsung tertuju pada papan larangan yang belasan tahun lalu dipasang oleh Tetua. Dan, kini aku tiba-tiba ingat kepada Nam, anak Tetua, yang katanya gila sebab melihat pelangi. Padahal, waktu ada pelangi saat itu, aku, Drus, Cok, dan Nam sama-sama bermain di bawah lingkungan pelangi setalah hujan reda dan matahari kembali muncul diam-diam. Ada dua anak lagi, tapi aku tak tahu siapa sebab mereka nak kampung sebelah yang kebetulan melewati tempat kami bermain. Kadang kami berguling-guling pada genangan air di tanah bekas terkena hujan. Badan kami coklat oleh warna tanah. Tapi, kami menikmatinya tanpa takut dengan penyakit. Bagi orang kampung seperti kami, tanah dan air adalah sumber kehidupan, yang memberi nafas dan jiwa bagi kita.
“Kamu tahu tidak, Nam, di ujung pelangi itu, kata Ibuku, pasti ada bidadari,” katakku. Aku menunjuk lengkungan pelangi dari satu ujung ke ujung yang lainnya. “Mereka turun dari langit ke bumi kita, Nam.”
“Bidadari itu apa?” tanya Drus. Ia anak paling besar tubuhnya di antara kami.
“Bidadari itu perawan yang sangat cantik,” kataku, “memangnya kamu tidak pernah dengar dongeng tentang pelangi dan bidadari?”
“Tidak.” Drus ikut-ikutan menatap pelangi. “Kenapa mereka berwarna-warni, ya?”
“Sebab, warna-warni indah.” Cok berteriak. Sepertinya, ia sekadar berteriak saja, sebab ia tidak pernah mengerti apa-apa.
“Aku suka pelangi,” kataku.
“Kenapa?” tanya Nam. Ia berdiri di sampingku.
“Sebab, aku ingin menikah dengan bidadari.”