Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Padahal, Aku Sangat Suka Pelangi!

7 Juli 2015   14:51 Diperbarui: 16 Februari 2017   13:54 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(1)

Padahal, aku sangat suka pelangi!

“Anak-anak dilarang melihat pelangi!” begitulah tulisan pada papan kayu yang telah dipasang belasan tahun lalu hampir di setiap sudut jalan kecil di kampungku. Papan itu dipasang setelah si Nam, anak tetua kampung mendadak gila. Konon, kata dukun paling sakti yang dipercayai Tetua, si Nam gila sebab mellihat pelangi tiga hari sebelumnya. Sebenarnya aku tidak percaya pada perkataan dukun itu sebab yang melihat pelangi saat itu bukan hanya si Nam, tetapi juga aku, Drus, Cok, dan dua anak lagi yang tidak aku kenali namanya sebab anak kampung sebelah. Kenapa kami yang berlima tidak gila padahal sama-sama melihat pelangi seperti si Nam? Saat itu aku ingin protes terhadap larangan itu. Tapi, Ibuku saja, waktu aku sampaikan bahwa alasan pelarangan itu tidak benar, ia selalu berkata, “Huss, anak kecil tidak boleh membantah. Kamu masih terlalu kecil belum mengerti apa-apa. Nanti, ketika kamu sudah pintar, kamu boleh mempertanyakan lagi larangan itu, ya, Nak.”

Setelah pemasangan papan larangan itu, kami tidak pernah lagi melihat si Nam. Lagi-lagi, aku hanya mendengar kata orang bahwa konon si Nam dibawa Tetua ke Pulau Luar, entah di mana itu. Tapi, sejak itu, ketika hujan turun di kampung kami, lalu diikuti cerah sinar matahari di mana biasanya pelangi akan muncul, anak-anak kecil tidak boleh keluar rumah, apalagi berlari-lari, bermain-main menikmati pelangi. Kalau ada orang tua yang membiarkan anaknya keluar melihat pelangi, Tetua tidak segan menghukum orang tua itu, bahkan Tetua mengancam akan mengusirnya.

Padahal, aku sangat suka akan pelangi!

Ibuku sering mendongengkan kisah tentang laki-laki yang menikahi bidadari. Konon, kata Ibu, pelangi itulah yang dipakai para bidadari turun ke bumi. Mereka mandi di danau yang airnya sebening embun pagi di pucuk ilalang. Tidak, laki-laki itu tidak mengintip mereka mandi! Tapi, ia sengaja tiba-tiba muncul dan melompat menceburkan dirinya ke tengah-tengah bidadari-bidadari itu. Maka, para bidadari itu panik, bergegas naik ke darat, memakai selendangnya, lalu terbang ke langit. Dan, danau pun sepi. Tinggal laki-laki itu sendiri, berenang-renang di tengah danau. Setiap ada pelangi, laki-laki itu tahu bahwa pasti ada bidadari maka ia pun akan berlari secepat kilat ke ujung pelangi, lalu ia pun akan muncul mengejutkan lagi para bidadari. Begitulah, yang laki-laki itu lakukan setiap ada pelangi. Pada akhirnya, para bidadari itu meminta adik mereka yang paling cantik agar sudi menikah dengan laki-laki itu sehingga para bidadari bisa mandi tanpa diganggu lagi.

Pada satu pagi, bidadari itu turun diiringi bidadari lainnya. Ia menemui laki-laki itu di hamparan ilalang saat laki-laki itu membabat ilalang untuk atap rumahnya. “Menikahlah denganku,” kata bidadari itu, “tapi, jangan lagi engkau kejar pelangi dan ganggu para bidadari yang sedang mandi.”

Laki-laki itu pun tersenyum. “Sejak hari ini, engkau adalah istriku,” begitu kata laki-laki itu. Ada angin yang berdesir di atas pucuk-pucuk ilalang. Tiba-tiba, muncul ribuan pelangi, petanda mereka direstui para penghuni langit.

Setiap kali dongeng Ibuku berakhir, aku selalu bertanya pada Ibuku, “Bu, apakah bidadari itu cantik?” Ibuku tak pernah menjawabnya, tapi selalu mengangguk sambil diusapnya kepalaku.

“Aku ingin menikahi bidadari, Bu.” Itu mimpiku.

Tapi, bagaimana mungkin aku menemukan bidadari jika melihat pelangi saja dilarang. Ya, aku benci papan larangan itu. Sangat benci pada Tetua. Dan, aku menangis berhari-hari lamanya jika mengingat itu.

(2)

Hari ini panas sangat menyengat. Tubuhku bermandikan keringat. Bulir-bulir keringat yang muncul di kulitku sebesar-besar beras. Ibuku duduk di gubuk mengamati aku bekerja. Ibuku sudah tua sekarang, sudah tidak lagi bekerja. Aku, anak laki-laki satu-satunya, menjadi penopang hidupnya. Aku adalah anak yatim, ayahku meninggal sejak aku berusia tujuh hari. Beberapa kali Ibu menyuruhku berhenti sejenak dan memnintaku mengelap keringat di tubuhku. Tapi, buat apa dilap, sebab keringat itu pasti akan segera muncul lagi. Matahari terlalu membakar siang ini. Tentu kulitku kian hitam. Untungnya, di kampungku, laki-laki berkulit hitam paling disenangi perawan-perawan.

Ilalang sudah tinggal separuhnya. Sejak pagi tadi, aku membabat ilalang. Ibuku berencana untuk menanami ladang ilalang ini dengan umbi-umbian. Katanya, umbi-umbian lebih bermanfaat dibanding ilalang.

Matahari sudah condong ke barat.

“Nak, berhentilah, sudah cukup untuk hari ini. Biarkan saja ilalang yang sudah dibabat di situ. Pergilah mandi sekarang.”

“Baik, Bu.”

Aku bergegas ke danau. Terbayang olehku air danau yang bening menyejukkan badanku yang kepanasan. Seperti kebiasaanku sejak kecil, aku selalu melompat menceburkan diriku ke danau dari atas batu besar yang berdiri kokoh di pinggir danau itu. Kali ini pun aku melompat ke danau itu. Aku menyelam sebentar di dalam danau itu. Lalu, aku pun muncul ke permukaan danau dan aku terkejut sebab persis di depanku seorang gadis sedang siap-siap memukulku dengan ranting kayu.

“Hei, apa-apaan kamu!” teriakku menghindari ranting kayu yang akan mengenai wajah.

“Kamu yang apa-apaan?! Jangan-jangan kamu mengintip aku ya!” Gadis itu makin galak. Matanya melotot. Anehnya, seperti itu, ia tampak cantik. Aku masih tetap di dalam air. Sebaliknya, gadis itu sudah naik ke darat.

“Aku?! Aku terbiasa mandi di danau ini! Dan, aku terbiasa lompat menceburkan diri!”

“Kamu tidak mencoba mengintip aku, ‘kan?”

“Tidaklah! Mana aku tahu ada orang lain di sini.”

“Benar?”

“Iya, benar.”

Aku beranjak dari dalam air. Lalu, duduk di pinggir danau. Celana yang tadi basah-basah dengan keringat sekarang basah keseluruhannya. Dari kepalaku, air mengucur ke wajahku dan ke bahuku. Tapi, makin lama semakin kecil.

“Kamu tinggal di sini?” tanyanya. Gadis itu mulai tidak khawatir denganku.

“Iya. Kamu siapa?” Aku balik bertanya.

Pelangi. Namaku Pelangi.” Gadis itu tersenyum. Manis, dan manis sekali.

Tapi, aku terperanjat mendengar nama itu.

Padahal, aku sangat suka pelangi!

 

 [bersambung....]

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun