(2)
Hari ini panas sangat menyengat. Tubuhku bermandikan keringat. Bulir-bulir keringat yang muncul di kulitku sebesar-besar beras. Ibuku duduk di gubuk mengamati aku bekerja. Ibuku sudah tua sekarang, sudah tidak lagi bekerja. Aku, anak laki-laki satu-satunya, menjadi penopang hidupnya. Aku adalah anak yatim, ayahku meninggal sejak aku berusia tujuh hari. Beberapa kali Ibu menyuruhku berhenti sejenak dan memnintaku mengelap keringat di tubuhku. Tapi, buat apa dilap, sebab keringat itu pasti akan segera muncul lagi. Matahari terlalu membakar siang ini. Tentu kulitku kian hitam. Untungnya, di kampungku, laki-laki berkulit hitam paling disenangi perawan-perawan.
Ilalang sudah tinggal separuhnya. Sejak pagi tadi, aku membabat ilalang. Ibuku berencana untuk menanami ladang ilalang ini dengan umbi-umbian. Katanya, umbi-umbian lebih bermanfaat dibanding ilalang.
Matahari sudah condong ke barat.
“Nak, berhentilah, sudah cukup untuk hari ini. Biarkan saja ilalang yang sudah dibabat di situ. Pergilah mandi sekarang.”
“Baik, Bu.”
Aku bergegas ke danau. Terbayang olehku air danau yang bening menyejukkan badanku yang kepanasan. Seperti kebiasaanku sejak kecil, aku selalu melompat menceburkan diriku ke danau dari atas batu besar yang berdiri kokoh di pinggir danau itu. Kali ini pun aku melompat ke danau itu. Aku menyelam sebentar di dalam danau itu. Lalu, aku pun muncul ke permukaan danau dan aku terkejut sebab persis di depanku seorang gadis sedang siap-siap memukulku dengan ranting kayu.
“Hei, apa-apaan kamu!” teriakku menghindari ranting kayu yang akan mengenai wajah.
“Kamu yang apa-apaan?! Jangan-jangan kamu mengintip aku ya!” Gadis itu makin galak. Matanya melotot. Anehnya, seperti itu, ia tampak cantik. Aku masih tetap di dalam air. Sebaliknya, gadis itu sudah naik ke darat.
“Aku?! Aku terbiasa mandi di danau ini! Dan, aku terbiasa lompat menceburkan diri!”
“Kamu tidak mencoba mengintip aku, ‘kan?”