Dalam disiplin tentang ilmu hadis ada istilah mutawatir dan ahad. Ada juga istilah lain seperti shahih, hasan, dha'if, dan seterusnya. Dua kelompok istilah ini berbeda.
Secara sederhana, mutawatir dan ahad terkait dengan jumlah berapa orang yang meriwayatkan hadis tersebut. Semakin banyak, semakin baik.
Berapa jumlah minimal orang agar suatu hadis bisa dikategorikan sebagai hadis yang mutawatir? Banyak versinya. Satu pendapat misalnya, ada yang mengatakan paling sedikit sepuluh orang.
Inti sebenarnya adalah bagaimana suatu hadis (entah itu sebatas esensi atau bahkan redaksi persisnya) adalah benar-benar bisa dipertanggungjawabkan adanya. Karena disaksikan dan diriwayatkan banyak orang. Entah bagaimana nantinya, bisa dengan metode periwayatan yang berbeda-beda.
Andaikata kita mendengar suatu berita, di suatu tempat ada pesawat jatuh misalnya, kita akan yakin saat berita yang sampai kepada kita tersebut melalui banyak orang.Â
A mengatakan itu, B mengatakan itu, C juga. D memberitahu hal yang sama, E juga memberitakan kejadiannya. Rasanya sangat mustahil kalau ada berita dari orang sebanyak itu, dan semua orang kok kebetulan sekali sepakat untuk membohongi kita.
Baca juga: Sunnah atau Hadits dan Perannya dalam Islam
Terlepas dari apakah A (misalnya) merupakan orang yang bisa dipercaya atau tidak. Bukan itu tolok ukurnya. Kita tidak membahas itu. Lain lagi dengan klasifikasi golongan shahih, hasan, dan seterusnya.Â
Kualitas setiap rawi sangat dipertimbangkan. Apakah orang tersebut kredibel atau tidak ('adil merupakan istilahnya. 'Adil disini bukan padanan kata adil dalam bahasa Indonesia. Beda istilah.)
Masalah mutawatir bukanlah pembahasan tentang ilmu sanad hadis (klasifikasi shahih hasan dsb) agar hadis itu bisa diamalkan atau tidak, berdasarkan kredibilitas perawi. Tapi pembahasan ilmu sanad hanya merupakan pembagian untuk yang ahad saja.
Sedangkan dalam bab mutawatir, kita tidak membahas siapa-siapa yang meriwayatkan hadis itu. Karena sudah qath'iyyus subut, jadi memang semua hadis yang mutawatir bisa diamalkan.
Baca juga: Al Quran dan Hadits dan Buku Islam Seharusnya Tidak Diterjemahkan Karena Sedikit Banyak Merubah Arti
Catatan tambahan tentang mutawatir. Sebenarnya hadis mutawatir itu jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan dengan hadis ahad. Namun sudah ada kitab yang khusus mengumpulkan hadis-hadis mutawatir. Seperti kitab al-Azhar al-Mutanastirah karya imam Suyuthi.
Kemudian agar suatu hadis bisa dikategorikan mutawatir, tentunya memiliki beberapa syarat prosedural. Ini biasanya dibahas lebih lanjut dalam kitab-kitab musthalah.
Hadis mutawatir sendiri nanti juga dibagi dua. Ada yang mutawatir baik lafadz dan maknanya (redaksi dan esensi). Tapi ada juga yang sekedar maknanya saja.
Contoh hadis yang mutawatir lafadz dan maknanya,
Hadis tersebut yang meriwayatkan sangat banyak. Lebih dari tujuh puluh sahabat menurut sebuah keterangan, meriwayatkan hadis tersebut dengan redaksi lafadz yang sama persis demikian.
Ada juga yang mutawatir hanya secara esensi. Makna dan maksudnya saja. Seperti hadis-hadis tentang kesunahan mengangkat tangan saat berdoa. Ratusan sahabat meriwayatkan bahwa nabi ketika berdoa mengangkat kedua tangan beliau.Â
Tapi redaksi hadisnya berbeda-beda meskipun konklusinya sama. Maksudnya sama. Adakalanya nabi berdoa dengan doa ini, atau doa yang lain misalnya. Tergantung dalam situasi apa.
Baca juga: Adab-adab Periwayatan Hadits
Ada esensi yang bisa ditangkap, yaitu berdoa itu sunah mengangkat tangan. Nabi selalu melakukan itu. Tapi apakah ada hadis mutawatir yang langsung menjelaskan bahwa mengangkat tangan itu sunah berdoa? Apakah ada perintah langsungnya dengan redaksi hadis yang mutawatir? Saya kurang tahu.
***
Catatan tambahan tentang hadis ahad. Secara sederhana, untuk memahami hadis ahad harus mengerti hadis mutawatir. Sebab hadis yang tidak memenuhi syarat sebagai mutawatir, pasti nanti akan dikategorikan hadis ahad. Mudahnya memahami demikian tadi.
Hadis ahad sendiri nanti masih ada klasifikasi lanjutan. Ada hadis masyhur, 'aziz, dan gharib. Ini biasanya dibahas lebih lanjut dalam kitab-kitab musthalah.
***
Sekian. Jangan sampai tercampur saat membedakan mutawatir serta ahad, dengan shahih, hasan, dan sebagainya.
Mutawatir dan ahad adalah klasifikasi hadis berdasarkan bagaimana hadis tersebut bisa sampai kepada kita. Sementara shahih, hasan, dan sebagainya adalah klasifikasi hadis berdasarkan diterima atau tidaknya sang perawi (maqbul atau tidak). Mutawatir dan ahad adalah masalah kuantitas, sementara shahih, hasan, dan sebagainya adalah masalah kualitas.
Mohon masukan dan koreksinya ya...
***
Wallahu a'lam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H