Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Melihat Sisi Baiknya

2 Juli 2020   05:30 Diperbarui: 2 Juli 2020   05:31 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MELIHAT SISI BAIKNYA

Sebuah cerpen dan interpretasi sederhana

_______________

Ibnu, Zaki, dan Joko adalah tetangga dekat. Bertiga rumah mereka sejajar. Tidak berhadap-hadapan tapi berderet lurus, sama-sama menghadap matahari terbit. Sama-sama pengoleksi bunga. Dan sama-sama mengecat rumah dengan warna hijau. Bertahun-tahun mereka bertetangga.

Joko orang yang misterius dan tak bisa dipahami, bahkan oleh ayah kandungnya sendiri. Bagi Zaki, Joko adalah orang yang menyebalkan. Mengesalkan karena meskipun berdekatan, namun jarang menyapa.

Minggu pagi adalah saat menyiram bunga. Zaki membuka pintu, dan terbelalak bola matanya. Di depan rumah sudah ada hadiah, sesuatu yang dibungkus rapi, lengkap dengan pita. Tertera nama pengirimnya, Joko. Tetangganya itu mengirimkan sesuatu.

Penasaran apa isinya, Zaki membuka itu pelan-pelan. "Tetangga aneh yang menyebalkan, apa mau memberikan setumpuk uang?"

Zaki berharap itu adalah nominal merah bergambar Soekarno. Sebagai tanda maaf, karena Joko baginya adalah tetangga yang banyak salah.

Saat dibuka, baunya semerbak. Busuk luar biasa. "Apa-apaan ini? Joko sialan tak tahu diuntung! Mengirimi aku sekotak tahi ayam."

Itu adalah bungkus indah berisi hal paling memuakkan dalam seminggu terakhir. Jika isinya hanya tahi ayam, mengapa harus repot-repot membungkus dengan bentuk kado. Dihias pita pula?

Mau langsung dilabrak, mau dikembalikan, mau dilemparkan langsung ke pintu ruang tamu Joko, dan segala macam bentuk balas dendam lain sudah terencana dengan seksama di kepala Zaki.

Dengan wajah merah padam, karena merasa dipermalukan oleh tetangga dekat yang aneh, Zaki beranjak dari pintu rumahnya dengan satu tujuan. Rumah Joko. Ingin balas dendam, sekaligus menuntut penjelasan.

Sambil menyiapkan segala sumpah serapah, dia memendam amarah. Berjalan dengan langkah yang terarah.

Di jalan, Zaki berpapasan dengan Ibnu. Ibnu baru saja dari rumah Joko. Dan Ibnu melihat Zaki yang menenteng kardus hadiah itu. Masih ada pita merah dan masih kelihatan rapi.

"Mau kemana bung?" Tanya Ibnu.

"Joko gemblung. Dia mengirimi aku tahi ayam." Kata-kata singkat itu sudah lebih dari penjelasan. Ibnu sudah mengerti. Tapi buru-buru dia mencegah Zaki.

"Kamu mau apa?"

"Aku mau lemparkan ini ke pintu rumahnya. Biar tetangga aneh satu ini tahu diri."

"Eh, jangan... Kalau kamu gak mau hadiah itu, buat aku saja. Jangan dibegitukan..." Kata Ibnu memberikan solusi.

"Gak bisa. Ini keterlaluan. Gak ada penghinaan yang lebih dari ini."

"Jangan salah paham bung. Itu bukan penghinaan. Cara kamu memaknai itu keliru. Joko begitu baik sama kita. Dia kasih kita tahi ayam. Dibungkus rapi pula."

"Kamu juga sudah jadi sinting. Kamu dikirim tahi ayam juga sama dia, tapi malah berterima kasih?"

"Iya... Aku seharusnya malah membalas bukan hanya dengan rasa terimakasih. Tapi aku kirim dia menu makan siang pula. Yang enak-enak..." Wajah Ibnu begitu sumringah. Tak ada rasa dongkol atau dendam sedikitpun. Tidak sama sekali kesal meskipun tetangganya mengirimi dia sekotak penuh tahi ayam.

"Coba jelaskan..." Zaki mengurungkan niatnya. Mencoba memadamkan emosi yang tadi sudah meledak-ledak.

"Kita semua menanam bunga di depan rumah. Dan bunga-bunga itu butuh pupuk bukan? Iya. Joko begitu perhatian, melihat bunga yang kita tanam mulai layu. Maka dia memberikan kita pupuk untuk bunga-bunga kita. Sebaiknya kita berterima kasih kepadanya."

Zaki jadi luruh. Antara lucu, merasa aneh, dan merasa bersalah. Zaki tak menyadari hal itu. Yang dia pikirkan tentang tahi ayam adalah penghinaan. Bukan manfaat tahi ayam itu sendiri, sebagai pupuk tanaman.

"Ya sudahlah kalau begitu, Joko aku maafkan..." Zaki berusaha untuk tersenyum. Lagi pula, marah juga gak akan menyelesaikan masalah. Justru dengan memaknai tahi ayam itu sebagai suatu yang berguna adalah solusi yang indah.

Dan mereka berdua kembali berjalan pulang, ke rumah masing-masing. Zaki membawa kembali "pupuk" hadiah dari tetangganya tadi. Tak jadi dikembalikan, tapi dipakai untuk menyuburkan tanaman.

Mereka tertawa-tawa saat berjalan pulang, "jadi, apa gunanya tahi ayam?" Tanya Ibnu.

"Yah, kalau diartikan sebagai penghinaan, saya jadi punya alasan untuk marah sama Joko. Tapi kalau saya pahami sebagai hadiah, maka seharusnya saya berterima kasih. Pagi-pagi sudah dikirimi pupuk tanaman oleh tetangga yang baik hati." Jawaban sederhana tapi mengena.

***

Ah, sebenarnya hidup selalu indah. Jika bisa selalu melihat kebaikan dimana-mana. Hal yang indah, tak selalu dikemas dengan wujud indah pula. Terkadang berupa kesedihan, atau cobaan. Atau apapun itu...

Andaikan bisa selalu memaknai tangis sekalipun, dengan sebuah senyuman yang tertunda.

Baik buruk itu perspektif. Tergantung bagaimana cara memandang itu. Sakit bisa jadi anugerah. Bisa jadi musibah.

Kekayaan bisa berarti pemberian, bisa jadi sebenernya adalah cobaan berat. Tak perlu menganggap cobaan hidup yang bertubi-tubi itu adalah musibah tiada henti.

Apa yang lebih baik? Bukankah tak ada yang perlu disesali dalam hidup. Sebab hidup adalah sepenuhnya bagaimana seorang hamba bersyukur atas setiap anugerah dan karunia yang nampak dalam bentuk dan wujud yang berbeda-beda. Ada yang nampak dalam mata manusia sebagai kemalangan, ada yang memang bentuknya benar-benar kebahagiaan.

Jadi, kalau demikian adalah interpretasi sederhana saat memaknai kehidupan sehari-hari, seharusnya hal yang sama juga bisa dipakai untuk selalu berbaik sangka kepada Yang Maha Kuasa.

Andaikan sudut pandang itu dirubah, pikiran kurang baik kepada Tuhan semesta digeser menjadi rasa terima kasih. Sakit atau miskin misalnya, merupakan pemberian sejati.

Jika semua bisa jadi anugerah, meskipun nampaknya secara kasat mata adalah duka cita, mengapa manusia masih saja berburuk sangka kepada Tuhan Yang Maha Esa?

***

Sekian, mohon maaf jika kurang berkenan...

***

Wallahu a'lam...

***

30 Juni 2020 M.

Imam Haramain
https://www.facebook.com/100001985188133/posts/3084176084991867/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun