Sebab saat terlalu memperhatikan pujian, justru yang ada akan terlena. Dan merasa diatas angin. Sudah seolah jadi sastrawan besar. Padahal belum apa-apa. Akhirnya akan berhenti, dan tidak berkembang...
Maka seperti kata mas Goenawan Mohamad, "Kritik itu 'membangun' atau 'menghancurkan', 'memicu perbaikan' atau 'menghina' ---itu tergantung bagaimana ia digunakan orang yang dikritik."
Pada awalnya seseorang memang kadang gak terbiasa dengan "mulut tetangga". Apapun kalimat kecil dari mereka bisa membuat goyah dan bimbang. Tapi, biasakanlah. Sebab hal semacam itu adalah realitas yang seolah gak bisa dihindari. Nikmati saja prosesnya...
"Pada awalnya, kuping saya panas mendengar kritik langsung ini. Namun, di kemudian hari saya sangat bisa menerima, bahkan menjadikan kritik itu sebagai pedoman untuk bisa melahirkan karya yang lebih baik." Kata pak Ahmad Tohari.
Dan setelah bisa menikmati beragam masukkan dari luar, kadang sikap seseorang adalah gak lagi peduli. Kecuali yang benar-benar bisa membangun. Kritikan yang dulu terasa pedas itu, sanjungan yang dulu seolah bisa membuat diri terbang itu, jika sudah bisa terbiasa, sudah kebal, akan dihadapi juga dengan guyonan...
"Namun, di antara hal-hal yang menjadi suka dan duka seorang pengarang, sering muncul perkara kecil yang lucu.
Misalnya, ketika masih SMA, anak bungsu saya bercerita bahwa dalam soal ulangan Bahasa Indonesia ada pertanyaan: 'Siapa pengarang novel Ronggeng Dukuh Paruk?'
'Nah, kamu jawab bagaimana?' tanya saya kepada si bungsu.
'Saya kosongkan, Pak.'
'Kok begitu?'
'Soalnya saya khawatir Bapak akan jadi besar kepala.'
'Wah, terima kasih, Nak. Kamu sungguh bijak bestari..'
Dan kami pun tertawa bersama."
***
Maka apa yang bisa dipetik dari kisah hidup seseorang Ahmad Tohari ada banyak.