Barulah tahun 1971, cerpen beliau berjudul Upacara Kecil terbit di sebuah koran. Warna tulisan cerpen itu dipengaruhi oleh Edgar Allan Poe, serta penulis lain beraliran realisme sosial dari Amerika Latin dan Asia Selatan. Sedangkan idenya adalah pengalaman pribadi saat melewati daerah kumuh di Jakarta.
Tahun-tahun berikutnya masa depan tentang dunia kepenulisan yang oleh beliau dulu dianggap terlalu "gemerlap" untuk dimasuki, justru menjadi sekian dari bagian kehidupan beliau.
Cerpen Jasa Buat Sanwirya, menjadi pemenang harapan lomba cerpen Radio Hilversum, Belanda, tahun 1975. Dan novel Di Kaki Bukit Cibalak, yang merupakan novel pertama beliau meraih penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1978. Dan terbit di harian Kompas tahun 1979. Siapa yang tahu kalau novel itu hanya ditulis dalam waktu sekitar satu bulan? Lalu novel Kubah ditulis dalam waktu sekitar dua bulan.
Maka tahun itu jugalah, beliau memutuskan untuk serius di dunia kepenulisan. Setelah menyadari motivasi penting dalam tujuan seorang penulis. Yah, apalagi kalau bukan eksistensi? Manusia mana yang bisa hidup seribu tahun lamanya? Tapi sebuah tulisan mungkin bisa hidup dan bertahan lebih lama dari seribu tahun. Mewakili "kehidupan" penulisnya setelah raga dia gak ada lagi.
"Keinginan itu muncul setelah saya tahu sejak lama para penulis hadir (eksis) di tengah kehidupan dengan sangat nyata. Bahkan mereka tetap hadir sesudah puluhan atau ratusan tahun meninggal. Bukankah eksistensi merupakan kebutuhan dasar manusia, dan saya bukan kekecualian.
Kedua, dunia kepengarangan ternyata juga memberi ruang untuk mengembangkan profesi dan mata pencarian.
Dengan dua pertimbangan itu, saya melangkah masuk ke dalam lingkaran sastra sekaligus meninggalkan dunia usaha lain yang pernah saya coba jalankan.
Bersamaan dengan itu pula, saya masuk ke dunia jurnalistik dengan menerima jabatan sebagai redaktur di harian Merdeka, Jakarta. Jurnalistik saya gandeng sebagai paraliterary carreer karena saya menganggapnya bisa bersinergi dengan kepengarangan saya selain sebagai sumber penghasilan alternatif." (Buku Proses Kreatif. Halaman 117)
Tahun-tahun berikutnya, beliau semakin aktif menulis. Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk meledak. Novel itu ditulis selama lima tahun.
Masa-masa awal adalah masa sulit, biasanya begitu. Tapi orang besar manapun pastinya adalah orang yang berhasil melewati masa-masa sulit itu. Lihatlah pengalaman pribadi beliau ini.
"Mungkin untuk semua pengarang tahun-tahun awal kepengarangan merupakan masa ujian yang tidak ringan. Saya pun demikian.