Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajarlah dari Semangat Hidup Stephen Hawking

7 Juni 2020   06:19 Diperbarui: 7 Juni 2020   06:51 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/lizashumskaya

________________

Rame-rame masalah sains dan saintisme, membuat saya ingin menonton kembali film lama ini. The Theory Of Everything. Film ini seperti judul buku milik orang yang dikisahkan dalam cerita. Stephen Hawking setahu saya memiliki buku dengan judul itu.

Saya gak berani membahas saintisme, atau sains, karena selain saya gak pernah belajar hal semacam itu di pesantren. Saya juga merasa belum membutuhkan untuk tahu lebih lanjut akan hal itu. Seberapa penting meskipun bisa saya pelajari secara otodidak?

Bahkan teori-teori yang terdengar keren seperti relativitas umum, black hole, atau teori big bang. Sebenarnya untuk apa? Dipuja tapi entahlah "untuk apa gunanya". Sejauh apa teori itu bisa mengubah hidup manusia? Teori itu sangat sulit dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Kecuali sangat sedikit. Seperti esensi yang saya pahami dari mas Goenawan Mohamad dalam salah satu esainya.

Lalu menurut saya, bukankah akan lebih berguna dan bermanfaat, saat manusia memperdalam cara yang benar untuk menanam padi dan gandum? Hehehe...

Semoga saja diskusi apapun tentang sains, fisika atau kosmologi, ujung-ujungnya tidak akan merembet ke masalah atheisme. Atau bahkan dikaitkan dengan komunisme bagi yang sudah kehabisan materi.

Setahu saya, ada orang yang mencoba menggunakan sains sebagai pembuktian. Ada juga yang menggunakan sains sebagai acuan. Ada yang agamis, hingga sains tak mempengaruhi hidup mereka. Ada yang sebaliknya, menganut paham saintisme, hingga apapun yang ada dalam teori kosmos adalah kaidah dan bahkan bisa jadi alat untuk membantah segala hal yang menyimpang dari sains.

Jadi, jika kita mau menuruti nafsu, apa saja sebenarnya bisa jadi bahan kritikan. Bahkan sesuatu yang sakral dan suci.

Pada akhirnya, jika dua hal yang sebenarnya gak seharusnya saling berbenturan kok malah dibenturkan, akan menimbulkan kekacauan. Menyebabkan chaos yang disebut oleh Profesor James Morriarty dalam kisah Game of Shadow.

***

[ ]

Stephen Hawking sebenarnya adalah pelajaran berharga buat kita semua. Maka, mengingat kisah Stephen Hawking, dawuhnya Habib Ali Al-Jufri kita juga semestinya ingat kisah orang seperti Muth'im bin 'Adi.

Walaupun non muslim, namun Muth'im bin 'Adi juga sedikit banyak pernah berjasa. Maaf, saya gak begitu paham kisah beliau selain jaminan keselamatan pada saat nabi Muhammad Shalallahu'alaihiwasallam terus menerus diganggu sebelum berhijrah.

Dulu, jaminan keselamatan adalah hal yang umum dan merupakan tradisi. Abu Jahal 'Umar bin Hisyam bahkan tak berani lagi mengusik nabi setelah terang-terangan Muth'im bin 'Adi menjamin keselamatan nabi Muhammad Shalallahu'alaihiwasallam. Setahu saya demikian...

Apa yang bisa kita lihat dari Stephen Hawking adalah semangatnya yang luar biasa. Dia bisa terus bertahan hidup, dengan kondisi demikian, sesuatu yang oleh dunia medis dianggap sebagai keajaiban.

Atau kalau melihat pelajaran lain, saya kadang melihatnya sebagai, entahlah... Betapa kadang orang diberi usia demikian panjang agar untuk semakin memperpanjang penderitaan.

Dalam setiap detik usia seorang Fir'aun musuh nabi Musa 'alaihissalam yang kian bertambah, juga memiliki konsekuensi berat. Yang akan makin memperpanjang siksaannya kelak.

Raja Baldwin IV, raja Yerusalem yang sakit kusta. Umurnya gak panjang, saat dia menang dalam pertempuran Montgisrad melawan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi, usianya baru enam belas tahun.  Mungkin saat itu dia seolah bisa hidup seribu tahun lagi dengan kejayaan...

Tapi, bahkan dia gak bisa mencapai usia tiga puluh. Setahu saya dia meninggal dunia di usia ke dua puluh tiga. Tanpa pewaris langsung. Penerusnya adalah putra kakak perempuannya, Baldwin V. Yang masih berusia kurang dari sepuluh tahun. Dan lagi-lagi juga gak berumur panjang.

Maka, doa ini begitu luar biasa...

"... ."

Doa itu benar-benar indah, mungkin jika kita bisa memahami lebih dalam, akan maksud dibalik panjang umur seorang Fir'aun. Atau mati muda seorang anak kecil yang ada dalam kisah nabi Musa 'alaihissalam dan nabi Khidir 'alaihissalam...

Sudah cukuplah...

***

Secara singkat, The Theory Of Everything mengisahkan perjalanan hidup seseorang fisikawan bernama Stephen Hawking.

Film ini berdasarkan buku Travelling to Infinity: My Life with Stephen karya Jane Wilde Hawking. Buku karya istri Stephen Hawking sendiri. Seorang istri, yang mencoba menceritakan kehidupan suaminya dalam buku, kemudian kisahnya diangkat ke layar lebar.

Jadi, tidak hanya mencoba menyoroti kehidupan ilmiah Stephen, film ini juga mengisahkan kehidupan pribadi seorang Stephen Hawking.

Kisah pemuda "lugu" yang dalam film dikisahkan, dengan polosnya menjawab "saya hanya bisa mengerjakan sembilan", ketika diberi sepuluh soal yang luar biasa sulit. Dia bahkan "dengan santai" tak segera memutuskan judul "tesis" miliknya.

Dalam film, dia diajak "jalan-jalan" ke tempat dimana JJ. Thomson menemukan elektron. Dan Rutherford memecahkan atom.

Juga digambarkan, bagaimana dia mendapatkan ide tentang fisika dari hal yang ada di sekitarnya, seperti gelas berisi kopi. Atau saat dia memakai baju dan melihat api perapian dari celah lubang di baju hangatnya.

Stephen Hawking muda didiagnosis menderita penyakit langka sklerosis lateral amiotrofik (amyotrophic lateral sclerosis/ALS, juga dikenal sebagai penyakit Lou Gehrig). Penyakit yang bisa merenggut kebebasannya. Orang dengan penyakit tersebut tak bisa melakukan apapun. 

Dengan penyakit itu, dokter memvonis Stephen Hawking hanya akan mampu bertahan hidup dalam beberapa tahun saja. Sekitar dua tahun.

Maka untuk beberapa saat, Stephen sempat menjadi orang yang penyendiri.

Meskipun dokter mengatakan, kamu tak akan kehilangan daya berpikir, kamu tetaplah yang dulu, namun siapa yang akan tahu apa yang Stephen Hawking pikirkan? Jika pada akhirnya mulutnya tak bisa mengatakan apapun, dan tangannya tak bisa menuliskan apapun?

Tapi setidaknya Stephen Hawking meskipun akan kehilangan "raganya", dia tidak kehilangan pikiran dan jiwanya. Stephen Hawking tetaplah dirinya.

Maka, disitulah dia masih mencoba untuk terus hidup. Dia hidup, mungkin karena memiliki pikiran yang terus bisa bergerak dengan bebas, dan pikiran itulah mungkin yang mampu membuat dirinya dapat kembali "merasa hidup". Meskipun raganya "telah mati".

Dia mungkin memiliki kehidupan dalam kepalanya sendiri. Walaupun dunia disekitarnya telah "runtuh."

Cukup menjelaskan, mengapa orang yang bahagia dan bersyukur itu cenderung awet muda.

Saat sudah tak lagi bisa bicara, setidaknya Stephen Hawking masih bisa tersenyum. Yah, dan itulah dia. Dia tetap bisa tersenyum. Digambarkan, dia melakukan apapun sendiri jika memang dia masih bisa melakukannya sendiri. Seolah-oleh dia seorang yang normal. Ditambah, dia memiliki keluarga yang mendukungnya. Dan istri yang mengerti akan dirinya.

Dari perasaan itulah, mungkin dia mendapatkan kembali semangat. Sebab ternyata dokter salah. Stephen Hawking bisa mencapai usia 76 tahun. Padahal, dulu kata dokter diperkirakan dia hanya mampu hidup dengan penyakit semacam itu dalam dua tahun saja. Tapi buktinya dia bisa bertahan hingga 55 tahun dengan sakit ALS.

Mungkin orang seperti Stephen gak percaya lagi dengan dokter. Karena dia bisa nyatakan, bahwa hipotesis dokter tentang usianya itu keliru.

Dan Stephen Hawking, dengan caranya sendiri bisa menuangkan pikiran dan idenya. Orang bisa mendengar dia bicara dengan sebuah mesin pembantu.

Bahkan dalam kondisi demikian dia bisa tetap menulis buku. The Brief History Of Time, The Grand Design, The Universe in a Nutshell, Brief Answer to the Big Question, Black Hole: The Reith Lectures, Theories of the Universe, dan masih banyak lagi.

Lalu apakah karya, kontribusi, dan ide yang sudah kita tinggalkan, padahal kita sehat-sehat saja? Kita memiliki pikiran dan raga yang hidup.

Kadang yang membuat orang sakit tak mampu bertahan adalah semangat hidup yang jatuh. Karena "ditakuti" oleh dokter, atau karena seolah tak memiliki bayangan tentang masa depan. Saat sudah menyerah dengan keadaan, kondisi seseorang mungkin lama kelamaan akan kian terpuruk.

Makanya, motivasi itu penting. Tujuan dan penyemangat itu penting. Saat seseorang sedang sakit dan seolah tak memiliki harapan besar, lihatlah kisah Stephen Hawking.

Dia duduk di kursi roda, berbicara dengan bantuan suara komputer, dia memberikan semangat. Dia berpesan agar keterbatasan fisik tidak menghalangi seseorang untuk berprestasi. "Apa yang bisa lebih istimewa daripada tiadanya batas?"

"Seharusnya memang tidak ada batasan dalam hubungan manusia. Kami semua berbeda. , , . Selama masih ada kehidupan, maka akan selalu ada harapan".

Maka Stephen Hawking menyadarkan siapapun, bahwa - , .

Selama kita masih memiliki kehidupan, kita masih memiliki harapan. Masih ada kesempatan.

Sebenarnya, manusia adalah keterbatasan itu. Tapi seperti yang pernah saya katakan, manusia kadang lebih "hidup" saat dia sudah mati. Dan eksistensinya ada dimana-mana justru setelah dia tak lagi berpijak di dunia.

Syaratnya satu, tinggalkan sesuatu. Entah itu ide atau tulisan. Yang bisa terus dibaca dan dikembangkan. Setelah ragamu gak ada lagi. Ide, karya, dan tulisan itulah yang akan "meneruskan" kehidupanmu. - -, .

***

[ ?]

Mendengar gosip tentang Stephen Hawking, ada yang bilang begini atau begitu, entahlah... Saya belum pernah baca The Theory Of Everything. Belum pernah baca The Grand Design. Atau buku-buku yang lain yang saya gak tahu namanya.

Namun secara garis besar, saya "gak nyaman" dengan beberapa pandangan Stephen Hawking tentang fisika yang mulai merambah ranah sensitif.

Tapi, apapun pandangan Stephen Hawking tentang sains, menurut saya itu sama sekali gak ada hubungannya dengan sisi kemanusiaan. Stephen Hawking tetaplah manusia seperti kita. Yang dalam sabda nabi Isa 'alaihissalam...

Kita hanya bisa menghukumi iman seseorang secara kasat mata, agar sebatas apakah hukum Islam seperti salat jenazah dan lain sebagainya berlaku atau tidak untuknya. Tidak usah berlebihan menurut saya...

Sebab hakikatnya, hanya Allah Subhanahuwata'ala yang benar-benar tahu akan bagaimana akhir hidup seorang Stephen Hawking.

Jika disuruh memilih untuk bisa tahu hati seseorang atau tidak, maka pertanyaan itu bagi saya akan mirip seperti "maukah kau tahu kapan kamu mati?"

Sungguh buah simalakama...

Maka lebih baik kadang kita gak tahu, agar senantiasa kita bisa menganggap bahwa semua orang di dunia ini berhati baik...

. , .

***

Wallahu a'lam...

***

04 Juni 2020 M. 06 Juni 2020 M.

***
wikipedia.org
wikipedia.org
republika.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun