CATATAN TENTANG DI SEKITAR KITA BANYAK TERSEMBUNYI ORANG HEBAT
_________
Saya sering heran, kok akhir-akhir ini jarang ada penerbit meluncurkan buku yang "berkualitas". Atau minimal buku yang bagus menurut selera saya. Kebanyakan yang mengisi rak toko-toko buku hanya karya para influence, atau orang-orang yang memang sudah punya nama besar. Nama-nama baru seperti jarang muncul.
Buku bagus itu bisa "dicium" dari aroma judul dan sedikit preview beberapa halaman. Sekian halaman bagus, biasanya isinya akan bagus hingga halaman terakhir. Bagian paling penting tentu saja daftar isi. Dan kadang-kadang juga kata pengantar.
***
Memang ibarat dunia gemerlap Hollywood itu gak seindah kelihatannya. Sebelum anda benar-benar bisa memahami alur cerita film Quentin Tarantino, Once Upon A Time in Hollywood.
Padahal saya sendiri belum nonton... Tapi udah sok tahu aja. Hehehe...
Sama seperti gemerlap dunia tulis menulis papan atas. Mungkin seperti itu juga. Entahlah. Saya blas gak ada cita-cita terjun di dunia begituan.
Saya tetap mencoba berbaik sangka. Masih menganggap kalau penerbit itu punya misi mulia. Karena saya bukan orang Gramedia atau Mizan. Jadi saya gak mau memvonis macam-macam. Sampai akhirnya saya baca ini.
"Penolakan yang datang dari penerbit komersial (major label) hanya akan ada tiga jenis: Naskah belum sesuai visi & misi penerbit. Naskah tidak memiliki keistimewaan dan sesuatu yang baru. Atau market untuk naskah tersebut tidak/belum ada." Tulis mas Wiwien Wintarto.
Tapi aslinya itu semua hanya basa-basi. Bahasa formalitas dan pemanis belaka. Alasan sebenarnya kata mas Wiwien adalah "hanya karena editor tak yakin naskahnya bisa dijual (karena kita pemula, belum terkenal, atau hanya karena kita bukan Andrea Hirata, Bernard Batubara, dan Dee)."
Saya memang bukan orang penerbit. Bukan orang Gramedia atau Bentang Pustaka. Tapi andaikan saya jadi editor mereka, saya juga akan membawa idealisme tentang bisnis. Mau gak mau. Dan walaupun itu sebenarnya akan merugikan banyak pemilik talenta yang berbakat dan belum punya nama. Mengubur kemampuan mereka.
Buku-buku yang dijual sekarang adalah yang mungkin dibeli orang. Belum tentu buku yang isinya bagus. Jujur saja. Itulah kenyataannya. Mereka, penerbit adalah penjual. Dan gak munafik saat mereka butuh uang. Uang untuk menggaji karyawan mereka. Uang untuk membeli kertas mereka. Uang untuk membayar pajak mereka. Sudah, itu nyata.
Penerbit bukanlah grup filantropi macam Djarum Foundation, atau CT Arsa Foundation. Juga bukan Bill and Melinda Gates Foundation. Atau tempat orang-orang baik berbagi uang. Penerbit adalah orang yang jualan buku. Dan jika mereka jualan, maka buku yang dijual harus laku.
Akhirnya kebanyakan buku-buku sekarang adalah karya para selebgram. Fiersa Besari, atau siapalah. Katakan seorang artis tenar yang lagi naik daun, andaikan dia bisa nulis juga, meskipun cuma bahas resep masakan yang aslinya sudah ada di google, mungkin saja berbondong-bondong para penerbit besar akan berebut melamar karya itu.
Lain lagi, jika ada orang pesisir pantai, yang gak dikenal siapa-siapa. Lalu tiba-tiba nulis tentang tema yang super sulit sekalipun. Mungkin bantahan atas teori relativitas umum Einstein. Bilang "Einstein itu salah besar dengan teori dia. Inilah buktinya..."
Apakah akan ada yang menerbitkan karya itu?
Satu hal penting, dia gak terkenal. Dan satu kemungkinan besarnya, mungkin gak akan ada yang beli karya itu. Akhirnya mungkin gak ada penerbit yang mau menerbitkan karya itu.
***
Maka itu pelajaran penting buat saya. Jangan termakan resensi, apalagi terprovokasi ratting. Enggak setiap buku yang terkenal itu bagus. Gak semua pemikiran orang yang ada di kursi atas itu bisa dijadikan acuan.
Maka kita harus jeli berburu. Ke tempat gelap yang gak dikenal. Ke forum-forum bawah tanah. Untuk belajar kembali kepada orang-orang yang "gak dikenal". Kebanyakan orang yang gak dikenal itu justru hebat-hebat.
Sebab mereka gak peduli dengan visi misi yang umum. Kepribadian mereka unik. Saya suka itu.
Saya gak akan malu, baca tulisan yang bahkan sudah jadi bungkus gorengan. Jika memang tulisan itu bagus. Memangnya tulisan bagus itu yang ratting Goodreads nya diatas empat ya? Harus yang reviewnya itu diatas sepuluh ribu orang misalnya?
Memangnya orang hebat itu harus yang tinggal di tempat semegah istana Buckingham ya? Justru, kebanyakan karena kepribadian unik mereka, mereka lebih suka tinggal dibawah rumah yang doyong. Hingga akhirnya gak ada satupun orang yang mengenal mereka. Saya jadi ingat kisahnya pak Ahmad Tohari.
Rugi sekali, jika kita harus kehilangan banyak pengalaman indah mereka?
Sebab bagus atau hebat itu bukan diukur dari seberapa terkenal. Kebanyakan yang terkenal justru kadang-kadang "sampah". Mereka kadang hanya lagi beruntung. Atau mereka memang punya banyak follower di media sosial.
Mari berburu bacaan di tempat gelap yang gak dikenal orang. Mari berburu pengalaman kepada orang yang suka merokok di warung kopi sendirian.
Saya ingat kisah Sir Arthur Eddington. Andaikan gak ada dia, mungkin Einstein gak akan seterkenal hari ini.
Yah, Eddington itulah yang menemukan pemikiran Einstein. Padahal waktu itu, pemikiran Einstein hampir saja hilang. Jika tak ada orang yang peduli seperti Eddington.
Yuk berburu dan menyelam, untuk mencari orang-orang berbakat yang bisa kita ambil manfaatnya. Menggali lebih dalam, hingga ke tempat yang gak mungkin dituju orang manapun. Demi menemukan ide dan inspirasi yang bisa mengubah hidup kita.
Kita gak memungkiri, dibawah kaki kita berpijak, banyak emas yang terpendam. Hanya saja belum kita temukan. Banyak emas dipajang di toko-toko, membuat kita gelap mata. Dan kurang sadar diri. Betapa diluar sana, ternyata banyak "emas-emas" yang memilih menyamar jadi batu kali.
***
Apa yang kita temukan dalam rak di toko-toko buku beken, dengan label best seller, menurut saya bukanlah jaminan mutu. Jika kita lebih mementingkan selera. Bebek Selamet yang legendaris enaknya itu saja masih punya haters.
Saya gak bermaksud menghujat siapapun dengan tulisan, tapi ******** itu misalnya adalah contoh nyata. Novel teenlit yang bikin saya mengelus dada. Membuat karya lain yang sebenarnya jauh lebih bagus dalam kualitas akhirnya tenggelam begitu saja.
Saya pikir, hanya karena mereka "kurang beruntung".
Betapa saat kita ingin mencari bacaan bagus, jangan terpengaruh oleh kata orang. Sebab kebanyakan tulisan bagus itu justru kadang-kadang gak pernah dikenal. Mereka banyak yang lebih sering tenggelam. Dan gak peduli dengan apa itu tenar.
Uang bukan tujuan untuk motivasi mereka. Sebab apa yang mereka cari adalah kepuasan. Dan sedikit nostalgia akan kenangan. Sekedar cerita untuk anak cucu, bahwa "kakekmu ini dulu pernah menerbitkan buku." Mungkin begitu...
Andaikan sahabat saya Hisyam Syafiq itu seorang influencer dengan follower dua juta orang di Instagram, gak perlu kiranya dia bergerilya menerbitkan buku Rinda Rindu Kopa Kopi secara mandiri. Pastinya akan ada penerbit besar yang dengan sendirinya meminang karya itu. Akan datang tak diundang blusukan ke kota Malang, dan mengetuk pintu rumahnya. Sambil bawa parsel dan amplop tebal. Hehehe...
Orang yang tulisannya bagus, bukan hanya Eka Kurniawan, Leyla Chudori, Budi Darma, atau siapa. Banyak sebenarnya talenta berbakat namun gak terkenal.
Ibarat artis hebat itu bukan hanya mereka para langganan Oscar. Seperti Meryl Streep, atau Tom Hanks. Atau Leonardo Dicaprio. Banyak sebenarnya... Hanya saja mereka yang gak muncul itu belum "beruntung" saja.
Yang berpikir maju itu bukan cuma Elon Musk atau siapalah. Tapi banyak juga yang lain. Cuma belum terkenal.
Memangnya siapalah JK. Rowling sebelum Harry Potter meledak? Siapa JRR. Tolkien sebelum trilogi The Lord of The Ring jadi buku sepanjang masa? Sebelum karya mereka mendunia, mereka "bukanlah siapa-siapa". Orang yang kalau naik bus kota dan gak kebagian tempat duduk, juga harus mau berdiri seperti yang lainnya.
Kita harus jeli melihat JK. Rowling baru. JRR. Tolkien baru. Eka Kurniawan baru. Dee Lestari baru... Jangan cuma ikut pandangan mainstream. Tapi cobalah jadi orang yang objektif dalam menilai. Gak ada salahnya think different. Asal bisa dipertanggung jawabkan.
***
Saya ingat kisah mas Syihab Syaibani. Betapa jangan pernah kita memandang apa dan siapa. Apalagi meremehkan seseorang hanya karena dia kelihatannya "bukan siapa-siapa". Karena penampilan yang gak meyakinkan, atau karena usia yang lebih muda misalnya.
Adalah Syaikh Abdurrahman al-Akhdhari. Ulama besar yang karyanya banyak dipelajari di berbagai pesantren di Indonesia. Nadhaman Sullamul Munawroq yang membahas mantiq, dan nadhoman Jawharul Maknun yang membahas sekaligus tiga jenis sastra Arab (ilmul ma'ani, ilmul bayan, dan badi').
Usia beliau memang "hanya" mencapai tiga puluh tiga tahun. Namun karya beliau luar biasa banyak. Selain dua nadhaman itu, katanya ada dua puluhan karya lain dalam berbagai diskursus yang berbeda. Termasuk diskursus faraidh, hisab, zakat, tasawuf hingga suluk.
Beliau menulis nadhaman Sullamul Munawroq di usia yang ke dua puluh satu tahun. Dan nadhaman Jawharul Maknun di usia yang ke tiga puluh.
Seorang yang berusia dua puluh satu tahun, menulis kitab yang dipelajari di banyak penjuru dunia hari ini.
Cerita yang lebih luar biasa adalah kisah Syaikh Ibnu Marzuq al-Hafid at-Talamsani. Beliau meringkas dalam bentuk nadham sebuah kitab mantiq karya Syaikh Afdhaluddin al-Khanaji. Kitab bernama al-Jumal. Saya sepertinya sering mendengar nama matan al-Jumal. Tapi belum pernah lihat kitabnya.
Lihatlah petikan nadham Syaikh Ibnu Marzuq ini,
وإن ترى تقصيري يحتمل # فلابن نحو الست عذر يقبل
"Jika kalian melihat, kekuranganku dalam nadhaman ini, maka maafkanlah seseorang yang umurnya masih enam tahun."
Benar sekali... Syaikh Ibnu Marzuq tatkala menulis syair nadham itu usianya baru menginjak enam tahun. Di usia yang anak sebayanya sedang asyik masyuknya bermain, beliau sudah membuat karya luar biasa di dalam diskursus mantiq. Diskursus yang terkenal sulit itu.
Kalau mau menurut nalar dan logika, coba kapan waktu beliau belajar ilmu 'arudh dan qawafi untuk bekal menggubah nadham? Kapan beliau sebelumnya belajar nahwu dan sharaf untuk membaca dan menulis? Kapan sebelumnya beliau ngaji mantiq? Di usia sebelum enam tahun, yang bagi kebanyakan orang di usia itu bahkan belum bisa mengeja. Apalagi membaca dan menulis. Apalagi bikin nadhoman. Apalagi sudah paham diskursus mantiq. Luar biasa...
Tapi itulah yang terjadi. Itulah kenyataannya. Ya memang seperti itu kejadiannya.
Maka sampai-sampai Syaikh Mallawi dawuh, "siapa yang mengingkari bahwa anak umur segitu (6 tahun), bisa melakukan hal tersebut, seakan-akan ia mensifati Allah dengan sifat lemah (karena tidak mampu mengalimkan orang di waktu mudanya)."
Kita gak boleh melihat seseorang dengan sebelah mata. Siapapun orangnya, setiap orang memiliki maziyah dan keistimewaan. Jika kita selalu bisa melihat keistimewaan itu, maka kita akan selalu bisa mendapatkan manfaat. Tapi jika yang kita bisa lihat hanyalah kekurangannya, maka akhirnya kita gak bisa dapat apapun dari orang tersebut.
Dengan hanya mau baca bacaan terkenal, atau mau belajar hanya kepada orang yang sudah terkenal, saya kira kita sudah melewatkan kesempatan emas. Dan membuka jalan "kebodohan". Karena kurang objektif dalam membuka mata.
Sebelum orang-orang hebat itu kelak jadi terkenal dan akan susah untuk kita hubungi, sebaiknya kita mulai belajar dari mereka saat ini juga. Mumpung masih bisa "diakrabi."
***
Betapa indah makna dibalik kalimat "Al masyhur bibarokatil mastur..."
Ternyata banyak sekali orang salih dan hebat di sekitar kita. Banyak sekali ide yang luar biasa dan tenggelam begitu saja. Hanya karena kebanyakan orang selalu menutup mata. Dan cuma peduli dengan yang tenar dan masyhur saja.
Akhirnya, betapa rugi. Karena kita "membuang" banyak sekali intan permata, yang tertutup oleh tebalnya lumpur yang menyelimuti permukaannya. Kita gak sadar yang kita lewatkan itu sebenarnya batu mulia.
Kisah sidi Fauzan ini begitu indah buat saya...
"Saat awal mula fitnah wahabiyah muncul di dunia islam, Syaikh Badruddin al-Hasanyasany, imamnya penduduk negeri Syam didatangi oleh sekelompok pemuda yang mulai terpengaruh pemikiran wahabiyah.
Mereka bertanya pada Syaikh Badruddin,
'Syaikh, kami melihat ada orang tua ketika berziarah kubur kok dia mengikatkan benang di jendela atau di pintu makam para wali, apa hukumnya?'
Mungkin mereka berharap jawaban Syaikh Badruddin adalah membid'ahkannya.
Tapi lihatlah, ternyata yang mereka dapatkan justru adalah jawaban sebaliknya.
'apakah masih ada orang seperti itu di zaman sekarang? Tolong antarkan aku kepada mereka, aku ingin bertabarruk pada mereka, karena jika hari ini ada seorang yang mencintai para wali seperti itu, mereka pastilah orang yang saleh'".
Betapa jeli dan hebat beliau Syaikh Badruddin bisa selalu melihat orang-orang salih. Sementara banyak dari kita hari ini kok merasa dan menganggap zaman sekarang sudah demikian rusak, hingga seolah gak ada lagi orang baik dan orang salih di sekitar kita. Kemana saja mata kita memandang selama ini?
***
Astaghfirullah...
Wamaa taufiiqi illa billah...
Wallahu a'lam...
***
23 Maret 2020 M. 27 Mei 2020 M.
***
Tulisan mas kiai Syihab Syaibani tentang Syaikh Abdurrahman al-Akhdory
Tulisan mas kiai Syihab Syaibani tentang Syaikh Ibnu Marzuq
Bacaan lain... Mas Alex Cheung...
Terimakasih...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H