Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bolehkah Belajar Ilmu Agama Secara Otodidak Tanpa Bimbingan Guru?

15 Mei 2020   05:01 Diperbarui: 15 Mei 2020   07:15 1505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hanya karena Fast and Furious selalu menampilkan kisah luar biasa diluar nalar, seolah mewakili bahwa seluruh pembalap jalanan hebat. Apakah benar seperti itu? Cobalah kroscek dulu. Tanya ahlinya.

Penonton lupa kalau pembalap sirkuit adalah atlet. Yang memiliki disiplin dan pengalaman. Sementara Vin Diesel dan kawan-kawan hanya melakukan hobi. Gak punya disiplin dan pengalaman mumpuni dalam pertandingan profesional.

Sekekar apapun otot tetangga saya, akan kalah saat mengangkat barbel raksasa melawan Ade Rai. Iya Ade Rai atlet, sementara tetangga saya hanya petani yang rajin mengangkat gabah.

Jangan sampai membawa kebiasaan buruk bias konfirmasi dalam memahami agama. Agama bukanlah bahan untuk teori konspirasi. Memahami agama harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Setiap kalimat dan setiap kata-katanya. Butuh guru selain juga butuh kitab.

***

Sedikit ada hubungannya dengan pembahasan di atas. Ini tentang pentingnya merujuk kepada guru saat kita menemukan pendapat asing dalam masalah fikih. Sebab ini kaitannya juga dengan hubungan guru dan murid dalam memahami agama.

Saya menemukan makalah penting dalam dawuh Syaikh Mahfudz Termas. Syaikh Mahfudz mengomentari dawuh Syaikh Ibnu Hajar.

: ( ) (5/381)

: .

Adalah terlarang, dan merupakan tindakan sembrono, saat mereka yang gak paham lantas tiba-tiba menemukan pendapat fikih yang sekilas asing dan berbeda. Lalu berani berfatwa akan pendapat itu, tanpa sempat menanyakan dulu kepada orang yang lebih tahu akan kesejatian keabsahan pendapat tersebut. Orang yang lebih tahu itu dalam hal ini menurut saya, bisa guru atau ulama fikih.

Kecuali memang kita punya kapasitas untuk menelusuri keabsahan pendapat tersebut. Selevel ahli tarjih. Yang paham betul sejarah dan koridor rumusan masalah fikih. Gak perlu kita bahas lagi, sebab kalau paham dan bisa mempertanggungjawabkan fatwanya, ya silahkan. Ini urusan akhirat masalahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun