Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bagaimana Alam Bawah Sadar Memengaruhi Alam Sadar Kita?

4 Mei 2020   04:16 Diperbarui: 5 Mei 2020   04:17 6651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi alam bawah sadar. (sumber: istockphoto via kompas.com)

Tulisan kali ini, dalam rangka sedang berusaha mengenali diri dan perilaku sendiri lewat penelitian psikologi. Bagaimana sikap manusia bisa begini, bagaimana sikap manusia saat sedang ada masalah. Mengapa bersikap demikian, apakah jangan-jangan semata-mata sedang dikuasai emosi?

Tapi seperti halnya nasihat lama. Emosi manusia bukan seyogyanya dihancurkan. Tapi yang benar adalah dikendalikan. Manusia hidup butuh emosi. Emosi itu juga bagian dari sisi unik yang membentuk kepribadian manusia.

Entahlah... Emosi juga mungkin adalah anugerah, seperti halnya kebahagiaan. Seperti kesedihan. Seperti sikap manusiawi lain. Tentunya dengan syarat kita sebagai pemilik emosi itu bisa mengendalikannya dengan baik.

Mengapa disebut manusia, juga karena memiliki emosi. Memiliki nafsu. Beda dengan makhluk ciptaan Allah SWT yang lain, seperti pohon dan tumbuhan. Yang tidak memiliki perasaan.

***

Ada sebuah riset yang mengatakan begini, "Struktur alam pikiran manusia sebanyak 95% dipengaruhi oleh subconsciousness (alam bawah sadar), sedangkan consciousness (alam sadar) hanya berpengaruh 5%."

Nah, masih menurut penelitian tadi, alam bawah sadar yang sebesar 95% ini katanya dimotivasi bukan oleh logika, tetapi oleh emosi. Hanya dalam momen-momen tertentu saja manusia bisa benar-benar logis. Itu pun jarang sekali. Anda percaya itu?

Apakah yang dimaksud emosi dalam penelitian itu adalah konsep nafsu dalam khazanah Islam? Entahlah.

Praktik dari teori psikologi diatas dapat kita temukan dalam penggambaran seperti ini. Ilustrasi paling mudah dari hubungan antara pikiran subconsciousness dan consciousness, atau pikiran bawah sadar dan pikiran alam sadar, adalah seperti orang yang sedang naik gajah. 

Manusia itu ibarat alam sadar, sedangkan gajah adalah alam bawah sadar. Kalau dilihat sekilas, seakan-akan si manusia yang mengendalikan gajah. Tapi ketika melihat kenyataan sebenarnya, ternyata gajah itulah yang sebenarnya membawa kemana-mana si manusia pergi.

Ibarat kata, jika gajah itulah emosi dan nafsu, maka manusia sepenuhnya dikendalikan oleh alam bawah sadar. Andaikan kata, si gajah ketakutan, sedang marah, mengamuk, lapar, males, atau dalam bahaya. Si manusia tidak akan bisa berbuat apa-apa selain mengikuti kemana arah si gajah menuju.

Singkat kata, sikap manusia dikendalikan oleh nafsu dan emosi dalam hati. Tapi manusia gak sadar. Luar biasanya, akal sehat manusia hanya berperan sangat kecil menurut penelitian tadi.

Kondisi-kondisi "terpaksa" seperti itulah kadang yang diluar kendali manusia itu sendiri. Bisakah manusia mengendalikan sepenuhnya alam bawah sadar mereka? Menyuruh hati untuk bahagia saat alam sadar ingin bahagia? Menyuruh untuk memilih jatuh cinta dengan siapa. Menyuruh untuk menangis. Menyuruh untuk apalah. Kadang itu diluar kendali.

Makanya penting saya kira untuk mengenali karakter alam bawah sadar kita sendiri. Penting juga membaca dan mengenali diri kita sendiri. Sampai sekenal-kenalnya. Sehingga dalam beberapa kondisi, alam sadar dan akal sehat lebih bisa mengontrol dan menebak kemana dan bagaimana arahnya.

ilustrasi gunung es di lautan. (sumber: pinterest.com/srwriter)
ilustrasi gunung es di lautan. (sumber: pinterest.com/srwriter)
Agar gak melulu kita sebagai pawang gajah, justru hanya jadi mainan dan bulan-bulanan gajah yang kita naiki itu. Dibawa kemana saja sesuka gajah itu, tanpa bisa banyak berbuat apa-apa.

Setidaknya agar gak jadi orang yang terlalu emosional. Ataupun terlalu mudah kecewa. Atau mungkin sikap lain yang kurang baik. Itu jika kita mengacu pada penelitian psikologi diatas. Saya pikir ada benarnya kok.

Literatur klasik juga menarik membahas kajian ini. Saya gak membandingkan sama sekali tapi. Tendensinya mungkin saja berbeda. Berangkat dari prolog dan premis yang gak sama.

Dan saya hanyalah awam yang gak berani memvonis. Saya cuma mencatat. Dan menguraikannya kembali, agar jika memang salah, ada yang berbaik hati mau membenarkan.

Beberapa kali saya mengikuti kajian Kimiyai Sa'adah, walaupun baru versi terjemahan. KH. Muhammad Ma'mun alhamdulilah berkenan mengampu kajian tersebut.

Imam Ghazali juga mengajak kita untuk mengenali hati kita sendiri. Dalam karya beliau tersebut.

Saya lebih ikut keterangan imam Ghazali, bahwa sebenarnya manusia fitrah sejatinya adalah "fitrah malaikat". Bukan fitrah binatang, atau bahkan setan. Makanya mungkin dari situlah kita dianjurkan untuk mengenali diri sendiri, sekenal-kenalnya. Agar lebih bisa mengendalikan fitrah sejati dalam perihal insaniyah.

Ada salah satu dawuh yang menurut saya sangat rawan disalah pahami terkait pengenalan diri sendiri. Dawuh man 'arafa nafsah, fadod 'arafa rabbahu. 

Dawuh tersebut demikian umum hingga seolah orang bisa menafsirkan ke banyak arah tanpa tendensi kuat. Padahal menafsirkan Alquran saja harus ada tambahan dalil ijma'nya kalau seingat saya dari keterangan KH. Azizi Hasbullah. Sebab makna Alquran sangat umum dan luas. Dan tentu saja itu diluar otoritas saya sebagai pembaca untuk menafsirkan sesuatu sembarangan.

Saya lebih ikut tafsiran dari Syaikh Abul Hasan as-Syadzili. Nderek penjelasan Syaikh Abul Hasan as-Syadzili, dawuh man 'arafa nafsah sepaham saya adalah agar seorang hamba menyadari maqom ubudiyah.

Itu juga esensi yang saya tangkap dalam beberapa kajian Kimiyai Sa'adah yang diasuh KH. Muhammad Ma'mun. Maksudnya "mengenal" tuhan dengan hati, adalah menyadari sifat 'izzah Allah SWT dengan lebih dulu memahami sifat lemah seorang hamba yang ada dalam hatinya sendiri.

Maaf kalau kesimpulan saya salah.

***

Memang banyak hipotesis psikologi bahwa fitrah manusia lebih mendekati ke perilaku negatif. Tapi itu bagi saya terdengar terlalu berlebihan. Terlalu berburuk sangka.

Ini menurut saya, sebenarnya akhlak, karakter, watak, atau sikap, adalah representasi atau sekedar bias lurus dan imbal balik nyata dari kondisi jiwa seseorang yang sebenarnya.

Kadang ada yang mengejar memperbaiki karakter, tapi luput memperbaiki sumber karakter itu sendiri. Padahal jika langsung disasar ke sumbernya, karakter akan otomatis berubah tanpa harus dirubah. Itulah pentingnya mengenal diri sendiri. Akhlak itu natijah dari sikap dalam hati. Bagaimana menurut anda?

***

Bagaimana kondisi lingkungan mempengaruhi perilaku?

Katanya ada jurnal lama, yang membahas tentang kognisi sosial, berjudul How Beautiful is the Goal and How Violent is the Fistfight? Spatial Bias in the Interpretation of Human Behavior.

Ini jurnal lama sekitar tahun 2007. Mungkin sudah ada penelitian lain yang lebih baru. Tapi jurnal lama ini saja menarik. Ditulis oleh Anne Maass dan Emanuela Berta.

Mereka melakukan penelitian tentang bias halus. Walaupun hanya terkait riset tentang bahasa saja, tapi sepertinya bisa dianalogikan untuk hal lain. Entahlah.

Jadi, menurut hasil penelitian mereka, arah tulisan dari bahasa mempengaruhi bias halus dalam interpretasi manusia. Yah.. Itu diam-diam membawa pengaruh kepada seseorang saat menyikapi masalah.

Arah tulisan dari bahasa itu, maksudnya jika saya menulis dengan bahasa Indonesia. Artinya tulisan saya dari kiri ke kanan. Orang menulis dengan bahasa Arab. Artinya tulisan mereka dari kanan ke kiri. Atau bahasa Jepang, berarti dari atas ke bawah.

Ternyata hal sederhana seperti itu membawa pengaruh untuk kita dalam menyikapi masalah yang ada dalam kehidupan kita. Tentu ini gak berlaku untuk semua orang. Hanya sebagian besar. Karena ini bukan rumus. Tapi sekedar bentuk kebiasaan.

Orang yang menulis dari kiri ke kanan ketika menyaksikan pertandingan sepakbola, sebagian besar menganggap bahwa sebuah gol akan terlihat jauh lebih kuat, lebih cepat dan lebih indah jika terjadi dari arah kiri-ke-kanan. Sama seperti arah tulisan mereka. Tulisan dari kiri ke kanan.

Sebaliknya, orang yang menulis dari kanan ke kiri, saat menyaksikan pertandingan bola, sebagian besar akan menganggap bahwa gol yang indah itu ya dari kanan ke kiri.

Lagi-lagi juga sama seperti cara mereka menulis. Dari kanan ke kiri. Entahlah mereka menyadari itu atau tidak. Tapi riset dari sebagian besar koresponden menyajikan fakta unik tersebut.

Andaikan saja riset itu dikembangkan. Saya tertarik mengetahui hasilnya. Bahwa mungkin banyak dari sikap kita secara tak sadar dipengaruhi oleh apa yang terjadi dan apa yang berlaku di lingkungan kita.

Apa yang kita lihat terus menerus. Poster di dinding kamar. Postingan media sosial. Acara televisi. Musik kesukaan. Makanan favorit. Pasangan hidup. Mungkin warna rumah, dan warna karpet. Atau bahkan mungkin jenis bunga yang ditanam di halaman rumah. Bisakah itu diam-diam mempengaruhi kepribadian alam bawah sadar kita?

Kesimpulan saya, lingkungan yang baik itu sangat penting untuk membentuk kepribadian yang baik. Dan saya kira faktor penting lain dalam mendukung suksesnya pendidikan adalah lingkungan. Sebaik apapun kurikulum, kalau lingkungan tidak mendukung, entahlah...

Yang terpenting menurut saya bukan hanya sekedar mencetak pribadi yang berpendidikan saja, tapi juga yang berkarakter. Bukankah salah satu niat baik pendidikan adalah menciptakan karakter yang berkualitas?

Mungkin disitulah mengapa ada perbedaan mendasar antara konsep ta'lim dan tarbiyah. Sebab dalam tarbiyah, ada pendidikan yang dipengaruhi oleh suasana lingkungan pula.

Guru menciptakan suasana yang baik, sehingga proses pendidikan tidak hanya berlangsung di kelas. Tapi bisa berlanjut dimana saja, kapan saja, asal masih dalam pengawasan. Entahlah...

***

Cara kita menilai sesuatu atau menyikapi masalah itulah yang ingin saya tekankan. Karena ini ada hubungannya dengan pembentukan alam bawah sadar. Sesuatu yang tadi di awal saya bahas sebagai hal yang "sulit dikendalikan".

Memangnya apakah ada orang yang bisa memaksa dirinya sendiri untuk bahagia tanpa alasan, atau sedih tanpa sebab?

Karena kita gak bisa mengendalikan kesedihan, atau bahkan kekecewaan dan emosi sepenuhnya, maka setidaknya kita mengendalikan lingkungan yang nantinya bisa mempengaruhi hal tersebut. Mengurangi melihat apa yang tidak perlu, dan membentuk atmosfer lingkungan yang bisa membawa ke arah kepribadian positif.

Sebab faktanya, banyak hal yang gak kita sadari ternyata bisa diam-diam mempengaruhi sikap seseorang. Yang sudah terbukti adalah arah tulisan, seperti dalam jurnal diatas. Atau hal lain mungkin seperti musik misalnya. Atau kartun dan film favorit. Tapi saya belum menemukan penelitian tentang itu.

Katanya ada resensi buku yang membahas permasalahan ini. Judulnya The Power of Habit. Buku tentang pengendalian diri, atau self control tulisan Charles Duhigg.

Tapi saya belum menemukan edisi digital bahasa Indonesianya. Baru ketemu yang edisi asli berbahasa Inggris. Sambil terbata-bata rasanya kalau harus membaca buku itu.

Ada sih, buku sejenis. Judulnya Atomic Habits, tulisan James Clear. Tapi judul yang pertama katanya lebih terkenal. Dan sekilas saya lebih tertarik dengan ide dari Charles Duhigg.

Kembali lagi. Saya sampai mengulang inti kalimat ini beberapa kali. Yang ingin saya tekankan adalah ada fakta bahwa orang gak bisa mengendalikan sepenuhnya alam bawah sadar.

Tapi setidaknya orang bisa mengendalikan apa yang dibaca, didengar, dan dilihat supaya membentuk alam bawah sadar yang baik. Agar hal buruk dan lingkungan buruk tidak "diam-diam" mempengaruhi alam bawah sadar kita.

Saya pernah baca ini, dan saya pikir-pikir ada benarnya juga. Jadi, dalam ilmu psikologi, manusia tidak bisa mengendalikan apa-apa yang muncul dalam pikirannya, akan tetapi, manusia bisa mengendalikan bagaimana dia bereaksi terhadap pikiran-pikiran tersebut.

Bisikan setan itu pasti ada. Bisikan nafsu. Bisikan emosi. Tapi kita bisa bereaksi untuk menghindari bisikan-bisikan itu. Dengan menambah pengetahuan kita akan agama dan norma sosial. Tahu mana yang boleh dan tidak boleh secara syariat dan adat. Diperkuat dengan motivasi diri. Dan tentunya juga doa.

Apakah kita bisa memilih untuk gak suudhon sama seseorang? Gak berpikir yang buruk misalnya tentang mereka? Pinginnya sih begitu. Tapi kadang hati lepas kendali. Ujuk-ujuk gak ada yang nyuruh, tiba-tiba saja berpikir hal yang bahkan akal sehat gak mau memikirkannya.

Siapa yang perlu disalahkan? Sudahlah, bahkan syariah sendiri gak menghukumi hal yang lepas kendali sebagai tindakan berdosa. Asalkan gak "naik tingkatan" jadi 'azm ataupun keinginan kuat. Tapi suudhon itu tetap gak boleh ya... Apapun alasannya.

Ya mau diakui atau tidak, memang begitulah cara otak terbentuk dan bekerja. Kata seseorang, menyalahkan cara kerja otak seperti itu sebenarnya adalah tanda ketidakdewasaan seseorang. Bentuk dari usaha melindungi diri yang primitif.

Dengan merasa nyaman atau merasa lebih mulia, merasa ada bukti untuk pembenaran diri agar diterima oleh lingkungan. Mungkin terdengar seperti sebuah paradoks. Tapi cobalah pikirkan itu kembali. Itu bagi saya sebetulnya seperti menilai diri sendiri dengan penilaian berlebihan, dan berusaha mencari pembenaran dengan segala cara kalau diri sendiri itu sama sekali gak bersalah.

Dengan cara bilang kalau setan lah yang sebenarnya paling salah karena membisikkan sesuatu. Teman lah yang salah karena mengajak begini begitu. Televisi lah yang salah karena menyiarkan berita hoaks.

Lah, coba pikirkan dengan hati yang jernih, salah sendiri mau nonton tv dan salah sendiri mau mendengarkan bisikan setan? Aslinya kita bisa kok padahal menyaring hal tersebut.

Salah sendiri karena gak bisa mengendalikan lingkungan dan alam sadar, untuk mengontrol apa yang dibaca, dilihat, dan didengar. Kenapa masih menyalahkan orang lain?

Jadi, tindakan terbaik menurut saya adalah mengantisipasi agar pikiran yang gak diinginkan tidak muncul. Caranya?

Seperti mungkin, tidak melihat hal yang gak sesuai dengan usia. Berhenti untuk ikut campur sesuatu yang bukan urusan kita. Mengendalikan apa yang kita baca dan dengar.

Misalnya berhentilah mengikuti berita politik misalnya. Berhenti untuk sekedar penasaran atau bahkan mengikuti perdebatan "panas" mungkin. Apalagi kalau cuma sekedar penasaran dengan ilmu yang bukan maqomnya. Semakin sedikit tahu akan sesuatu yang gak perlu, kadang juga ada bagusnya.

Dan kabar buruknya, sekarang adalah era kemudahan informasi. Jadi puasa informasi kadang jauh lebih berat dibandingkan puasa makan minum. Menahan diri untuk nggak penasaran itu loh, sekarang benar-benar lebih berat kadang daripada menahan diri untuk sekedar gak makan enak.

Peduli pada lingkungan itu baik, tapi kalau terlalu sok ikut campur, sok terlalu mengurusi hidup orang, sok harus selalu update informasi, juga menurut saya pribadi gak baik. Ada yang namanya konsep hidup minimalis. Kadang mending gak tahu apapun sekalian tentang berita viral.

Intinya adalah memperbanyak melakukan hal yang baik atau positif, karena otak manusia yang hebat itu juga bekerja berdasarkan masukan yang ia terima setiap harinya.

Melakukan hal-hal yang bernilai moral lebih tinggi akan membantu mengisi otak manusia dengan ingatan dan pengetahuan akan hal tersebut, sehingga otak terbudidayakan dan lebih tidak mungkin memunculkan "hal-hal yang tidak pantas". Itu yang dapat saya simpulkan.

Daripada bingung karena gak bisa mengendalikan alam bawah sadar, lebih baik kendalikan lingkungan sekitar dengan hal yang positif. Melakukan hal positif dan melihat hal positif saja. Berharaplah dengan adanya kegiatan antisipasi hal itu, sedikit demi sedikit alam bawah sadar akan terkendali. Dan lebih jinak.

Kalau dipikir-pikir itu mungkin juga termasuk riyadhotun nafsi. Selain tentunya ada puasa makan dan minum, sesekali butuh juga puasa informasi. Entahlah...

Ada teori Freud tentang trimurti ketidaksadaran. Teori ini begitu terkenal dan sudah banyak bukunya. Sebenarnya saya ingin melengkapi tulisan ini dengan pembahasan teori psikologi Freud ini. Sayang saya gak begitu paham. Kapan-kapan saya baca-baca dulu, lalu buat kesimpulan kalau ada waktu. Insyaallah.

Teori Freud mencakup tiga hal. Id, ego, dan super ego. Mungkin bisa ditulis dalam esai terpisah lain kali. Kalau ada mood dan masih diberi kesempatan.

Wallahu a'lam.

28 April 2020 M. 03 Mei 2020 M.
Semoga bermanfaat buat saya sendiri...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun