Setahu saya Rommel merupakan jenderal termuda di seluruh Werchmart yang naik pangkat menjadi jenderal bintang lima, Generalfieldmarschall pada 22 Juni 1942 M. Pangkat yang katanya secara resmi gak ada pensiunnya. Usia Rommel waktu itu baru sekitar 50 tahun. Atas jasanya di pertempuran Gazala di Tobruk di kancah Perang Afrika. Pertempuran itu membuat Inggris terusir dari Libya. Itu adalah salah satu prestasi luar biasa Rommel. Itu makin membuat Inggris ketar-ketir. Karena seolah kejatuhan Mesir sudah diambang mata. Dan impian Hitler agar dua pasukan Eropa dan Afrika bisa bertemu di wilayah Kaukasus bisa segera jadi nyata.
Adolf Hitler sendiri katanya baru "sempat" menghadiahkan Feldmarschallstab (tongkat komando Marsekal) kepada Erwin Rommel, bersama dengan Interimstabnya (tongkat inspeksi), pada tanggal 1 Oktober 1942 - versi lain menyebutkan tanggal 30 September 1942 - di Reichskanzlei, Berlin.
Banyak yang mencoba mengenang historia sejarah dalam kisah antara Rommel dan Bernard Law Montgomery. Dua orang itu kisahnya sangat menarik di padang tandus Afrika.
Tapi Rommel yang berbakat sebagai pemimpin ini tak hanya menghadapi jenderal Monty. Dia juga bertanggung jawab atas Atlantic Wall. Bersama Rundsteds, dia berhadapan juga dengan jenderal Ike. Jenderal Eisenhower.
Melihat kisah Eisenhower dan Rommel ada banyak kesamaan di masa lalu. Usia mereka hanya beda satu tahun. Dididik di lingkungan yang keras oleh ayah mereka. Sama-sama hobi olahraga. Saat jadi kadet di sekolah militer sama-sama tidak menonjol, tapi punya dua hal unik yang sama dalam penilaian sejarawan Stephen E. Amborse. Yaitu mereka berdua suka melanggar. Dengan pelanggaran yang berbeda. Kalau Eisenhower merokok, maka Rommel memakai kacamata satu lensa. Keduanya juga sama-sama nampak gagah ketika mengenakan seragam mereka. Dan juga sama-sama pandai merebut hati perempuan yang jadi primadona. Lucu juga.
Katanya selain sebagai komandan perang, di waktu senggangnya Rommel juga mempunyau hobi fotografi. Anda percaya itu?
Tapi seingat saya, Eisenhower tidak terjun langsung ke medan perang seperti Rommel yang memimpin di garda depan, pada awal-awal sebelum perang dunia kedua pecah. Eisenhower di awal-awal banyak belajar dari teori. Sedangkan Rommel sudah dapat pengalaman terjun ke lapangan. Tapi keduanya sama-sama dapat respect dari atasan. Tahun 1934, kedua atasan mereka memuji mereka. Rommel dianggap punya kemampuan diatas rata-rata saat itu. Sementara Eisenhower, menurut jenderal Douglas MacArthur yang saat itu merupakan atasannya, menilai sebagai "perwira angkatan darat terbaik".
Keduanya baru bertemu di Medan Afrika pada 1943 M. Catat pertempuran itu, Kasserine Pass. Rommel yang sudah sering terjun ke medan tempur, menghadapi Eisenhower dan tentaranya yang hanya pernah tahu bentuk peperangan dari teori di buku-buku, dan latihan di akademi militer. Awalnya Eisenhower karena belum pernah mengalami pengalaman langsung sering membuat kesalahan, tapi ia segera belajar.
Rommel adalah orang yang serius dalam bekerja. Dia katanya hanya tidur paling lama empat jam sehari. Bahkan konon bukan rahasia lagi jika pertempuran sedang dahsyat-dahsyatnya berkecamuk, Rommel hanya tidur kurang dari 2 jam seharinya. Rommel juga biasanya sudah ada di jalan pukul enam pagi untuk inspeksi. Dan baru pulang saat hari sudah gelap. Makan bisa sambil berlari. Rommel benar-benar disiplin. Sikap tersebut mirip seperti kepribadian Eisenhower. Satu perbedaan yang mencolok dari Rommel dan Ike, katanya kalau Jenderal Ike merokok hingga empat batang sehari. Sementara Rommel tidak.
Mungkin satu yang membuat kisah kepemimpinan Rommel melawan Eisenhower di Eropa, tidak semenarik seperti ketika berhadapan dengan Montgomery di Afrika, adalah buruknya garis kordinasi yang dimiliki Jerman. Bagi Rommel, seperti tidak jelas siapa yang memimpin, apakah dirinya atau Rundsteds.
Rommel juga tidak punya garis komando untuk memerintah Luftwaffe dan Kriegsmarine. Apalagi Waffen-SS dan para gubernur daerah pendudukan Perancis. Padahal semua sumberdaya itu ia butuhkan untuk menghadang Operation Overload. Kalau semua sampai bekerja sendiri-sendiri demi meraih popularitas masing-masing, bukannya kemenangan, justru kehancuran yang menanti.