Sebuah kesimpulan mencengangkan kemarin saya baca di salah satu blog medium. Menurut data yang dihimpun dari National Science Foundation, rata-rata manusia bisa menghasilkan antara dua belas ribu hingga enam puluh ribu pikiran setiap harinya.
Bahkan jika dihitung-hitung, delapan puluh persennya saja bisa berupa pikiran negatif. Frasa negatif tersebut dapat mencakup hal yang berbau kecemasan, kekhawatiran, dan lain sebagainya. Dan bisa jadi, dari ribuan pikiran itu, hampir semua ide yang lewat adalah pikiran sama yang terus-menerus berulang.
Hal kecil yang terus menerus muncul secara kontinyu. Akhirnya dari sekedar selintas benak, jadi keinginan. Lama kelamaan menjadi hasrat. Akhirnya berujung kemauan kuat. Dan dibuktikan dengan sebuah tindakan. Yang berujung pada sebuah akibat.
"According to the National Science Foundation, an average person has about 12,000 to 60,000 thoughts per day. Of those, 80% are negative and 95% are repetitive thoughts." Itu kalimat yang dapat saya kutip.
Memang sih, gak semua pikiran negatif adalah buruk. Waspada dan curiga, kadang juga baik. Sebab di zaman sekarang ini, saat membaca berita dari sumber yang kredibel sekalipun, sebaiknya jangan langsung percaya isinya. Kadang masih dibutuhkan perasaan ragu-ragu. Untuk mengetahui ada fakta apa dibalik itu yang sesungguhnya.
Mengingat teori diatas, saya jadi menemukan kembali, beberapa bait nadhaman yang ada di kitab Kifayatul Awam. Kenyataannya mungkin akan jauh lebih rumit dari yang saya kira.
Dan konsep dalam kitab klasik seperti lebih kompleks. Ada banyak istilah yang pengertiannya juga berbeda. Ada yang namanya shadr, qalb, fuad, dan lubb.
Membuktikan kalimat hati manusia itu sedalam lautan.
Dalam istilah sehari-hari yang kita kenal juga ada bahasa otak, akal, pikiran, hati, hati kecil, benak, atau bahkan sanubari.
Dan rasanya kurang bijak membenturkan data riset dan keterangan tadi itu menjadi satu pemahaman utuh.
Sudah cukup, tak perlu diperpanjang.
***
Jadi, bisakah kita menghitung berapa banyak hal yang kita pikirkan hari ini? Kalau boleh jujur, apa yang terlintas tentunya jauh lebih banyak dari apa yang berhasil kita tangkap. Sebab kadang orang bisa merasakan sesuatu tapi gak mampu mengucapkan dan memahami. Ketika ditanya kenapa, malah bingung sendiri.
Bahkan saya kira ada orang yang gak bisa menulis semua yang dipikirkannya. Pikirannya akan berjalan jauh lebih cepat, dari mulut atau tangannya.
Ada yang namanya meditasi. Berdiam diri untuk mendengar dan menenangkan pikiran. Mencoba melihat dan mengamati sebenarnya betapa sibuk pikiran seseorang itu. Lalu menyadari ternyata ada jeda antar tiap pikiran. Dari satu hal ke hal selanjutnya.
Apalagi di masa tenang di rumah seperti sekarang ini. Dimana banyak orang benar-benar memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Raga diam, tapi pikiran melayang-layang.
Kadang pikiran berulang. Sampai berapa kali sehari. Kian lama bahkan menghasilkan sebuah kekhawatiran. Atau yang awalnya tenang-tenang saja, mendadak jadi cemas. Karena terus menerus dibombardir oleh "bisikan-bisikan" hati yang kita hiraukan. Yang fatal adalah jelmaan suara ribut dalam hati itu mengubah seseorang menjadi depresi. Dan melahirkan sebuah aksi. Sebagai bentuk atas kegalauan pikirannya sendiri.
Padahal awalnya gak kenapa-kenapa.
Satu kesalahannya adalah, mau mendengarkan bisikan negatif. Tapi entahlah... Setiap orang berbeda. Lain ladang, lain ilalang. Berhenti untuk memukul rata bagaimana bersikap untuk semua orang.
Dari ribuan pikiran yang lalu lalang itu, memang tak sedikit yang harus dipendam. Dibiarkan saja lewat dan hilang. Karena jika ditanggapi juga gak begitu baik. Istilahnya, memberi waktu pada diri sendiri untuk menerima keadaan.
Disitu kadang orang butuh waktu sendiri. Benar-benar seorang diri. Tanpa pikiran yang bergemuruh dan tanpa bertemu orang lain. Sendiri tapi tidak kosong. Hanya sekedar membaca setiap pikiran kita seperti sedang membaca buku. Lalu menyaringnya satu persatu. Mana yang layak dan mana yang harus dibuang jauh.
Itu jika kadang-kadang merasa sedih tanpa alasan. Seperti gak bisa memahami apa yang diinginkan hati sendiri. Entahlah, mungkin kondisi seperti itu mirip gejala seseorang yang mengalami information overload. Terlalu banyak hal yang ada sehingga tak bisa diikuti. Jiwa telah tertinggal jauh dari pikiran. Pikiran jauh di depan sana, dan jiwa seakan sendirian. Ora biso nututi karepe ati.
Seperti sedang merasa emosi. Amarah. Kalut. Sedih. Bahagia. Â Atau namanya adalah merasakan banyak sekali hal yang sampai tak tahu itu namanya apa.
Maka meditasi atau semacamnya, menenangkan diri mungkin bisa jadi solusi sederhana. Tapi entahlah...Â
Kita mencoba membaca dengan seksama, dengan pandangan jernih. Apa yang sebenarnya sedang ada dalam diri kita. Dengan sebuah "kacamata" yang bersih. Agar tak terpengaruh pikiran negatif atau apapun. Akal sehat benar-benar harus tampil memisahkan itu sementara.
Memang, kadang orang butuh saat, untuk benar-benar diam dan memperhatikan setiap pikiran yang berjalan. Iya... Hanya memperhatikan. Melihat betapa sibuknya hati kita. Satu hal muncul dan satu hal tenggelam. Muncul lagi hal baru. Hilang lagi.
Mungkin itu sebuah kekhawatiran. Mungkin itu sebuah kebahagiaan. Mungkin itu rasa cemas. Mungkin itu sekedar keinginan akan suatu hal. Ada kesombongan. Ada keangkuhan. Atau ada rasa takut.
Perhatikan saja. Anggap itu sebuah bacaan dalam buku yang sedang dibaca. Yang coba kita pahami. Lalu kita saring dengan akal sehat yang jernih.
Melihat dengan kacamata yang benar-benar bening. Menilai. Saat sedang benar-benar jenuh, tantang diri sendiri. Apa sih? Kenapa sih? Maunya apa sih? Ingin apa? Rindu? Sedih? Atau bahagia? Ingin tertawa? Ingin menangis?
Ini saya sendiri, entahlah dengan orang lain. Saat benar-benar bisa membaca tulisan yang mulai kabur dalam pikiran, kadang akan menemukan sebuah motivasi yang sangat sederhana. Kadang jadi tahu, sebenarnya selama ini saya melakukan sesuatu untuk hal apa.
Kalau mau jujur. Dan motivasi tentang hal itu kadang sangatlah sederhana. Sesuatu alasan yang kadang gak logis. Dan jika saya mengatakannya akan dianggap bocah. Hanya anak kecil yang mau melakukan sesuatu karena itu.
Demikian sederhananya peribahasa gajah di pelupuk mata dan kuman di seberang lautan. Tapi maknanya luar biasa.
Manusia begitu terbuka matanya akan dunia, tapi tak mengenal dirinya sendiri.
***
Memang, setahu saya pikiran yang random kurang baik untuk pembentukan karakter. Jika diseret dalam proses pembentukan jati diri. Tapi entahlah...
Percaya atau tidak, apa yang kita lihat setiap hari lama kelamaan juga bisa membentuk pemikiran. Bahkan sekedar hal sepele seperti memajang foto seorang tokoh terkenal di dinding kamar. Yang kita lihat setiap hari ketika bangun tidur. Lama kelamaan tanpa disadari, jiwa seseorang akan terpengaruh oleh itu.
Apalagi film. Apalagi musik. Apalagi saat dibombardir dengan berita hoaks dan negatif. Apalagi sesuatu yang memang menurut hati kita menarik. Tentunya lebih membekas di hati. Saat tiap hari mendengar musik jazz, kadang tanpa sadar orang bisa berpikir jadi lembut.
Saat setiap hari mendengar musik hard rock, mungkin saja akan terbawa ketika menyikapi suatu masalah. Jadi agak kasar dan buru-buru. Karena terbiasa melihat postingan mewah di Instagram, akhirnya tanpa sadar jadi kurang bersyukur.
Dan membandingkan hidup dengan orang lain. Karena terbiasa melihat film romantis, akhirnya merasa kesepian karena belum memiliki pasangan hidup. Entahlah.
Karena sikap seseorang dipengaruhi lingkungannya. Apa yang terjadi di sekitarnya. Jadi, saran saya adalah berhenti melihat sesuatu yang "tidak perlu".
Saya selalu ingat nasihat guru-guru saya. Untuk terus mengulang apa yang kita baca. Ulangi hal baik terus menerus. Itu akan menciptakan kebahagiaan. Menciptakan watak positif. Karakter seseorang, bisa terbentuk karena sesuatu yang terus menerus diulang dan dilakukan secara konsisten dalam hidupnya.
Seret masalah ini dalam kasus kepanikan masal karena badai informasi. Lingkungan, banjir berita, dan wawasan yang belum waktunya. Kadang itu akan mengacaukan pemikiran. Kekhawatiran berlebihan tentang kondisi saat ini dipengaruhi oleh apa yang kita lihat dan baca secara berulang.
Apalagi informasi yang sebetulnya tak kita butuhkan, tapi terus menerus dikonsumsi. Tidak baik sebenarnya.
Saya selalu punya prinsip, semakin sedikit saya tahu tentang hidup seseorang akan semakin baik. Semakin sedikit saya tidak ikut campur dalam suatu hal yang bukan tanggung jawab saya, akan semakin baik. Bahkan kadang semakin sedikit tahu, akan makin baik. Rasa penasaran kadang adalah bumerang. Saya bahkan punya banyak urusan yang belum selesai. Itu saja.
Saya ingat dawuh KH. Ubaidillah Shodaqoh dalam Twitter beliau yang saya ikuti.
"Sahabatku bertanya, 'kapan kegaduhan C-19 bersama penunggang-penunggang dan buntutnya ini berakhir?' Aku hanya bisa jawab, berakhir bila pikiran kita tenang dan tidak gelisah, mengurangi bacaan dan pagelaran provokasi."
Dawuh Kiai Ubaidillah ini luas maknanya menurut yang saya pahami. Dalam arti, bukan hanya kegaduhan korona. Semua hal yang membikin kita gelisah dan resah dalam hidup, akan hilang saat kita sendiri bisa tenang dan tidak mudah terprovokasi oleh pikiran kita sendiri, atau oleh bacaan dan informasi yang ada di sekitar kita.
Cobalah untuk mengurangi melihat dan mendengar apa yang gak perlu. Atau apa yang gak semestinya. Atau informasi yang belum waktunya. Wawasan yang tidak pas untuk derajat dan martabat saat ini. Likulli haalin maqoolun. Gak semua nasihat bisa pas untuk setiap orang.
Cobalah untuk "meditasi". Setidaknya agar antara akal, pikiran, hati, jiwa, dan ucapan bisa lebih berjalan seimbang. Walaupun entahlah akal dan hati kadang merupakan dua hal yang menolak bersahabat.
Sekian curhatan saya pagi ini. Mohon sekali untuk dikoreksi.
Wallahu a'lam...
24 April 2020 M.
Semoga bermanfaat.
Bonus.. Musik pengantar meditasi dari podcast di aplikasi SoundCloud.
https://soundcloud.com/kalacakra-podcast/meditasi-menuju-hening
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H