Perjalanan kali ini terasa sangat istimewa karena saya memutuskan untuk menghabiskan liburan akhir tahun di Yogyakarta, kota yang tidak hanya kaya akan budaya dan sejarah, tetapi juga menawarkan pesona alam yang begitu memukau.
Keputusan ini telah saya rencanakan sejak beberapa bulan sebelumnya. Saya ingin menutup tahun dengan pengalaman yang tak terlupakan, sekaligus meresapi keindahan dan kehangatan Jogja yang selama ini hanya saya dengar dari cerita teman-teman. Tanggal 26 Desember 2024 pagi, saya memulai perjalanan dari Jakarta dengan kereta api, membawa semangat petualangan dan rasa penasaran yang membara.
Perjalanan kereta memakan waktu sekitar tujuh jam, tetapi waktu tersebut terasa singkat karena saya benar-benar menikmati setiap momennya. Sambil duduk di kursi yang nyaman, saya mengisi waktu dengan membaca buku favorit yang sudah lama saya tunda, mendengarkan musik yang menenangkan, dan sesekali memandangi jendela.
Pemandangan sawah hijau yang membentang luas, petak-petak ladang, dan perkampungan kecil yang penuh kehangatan begitu memanjakan mata. Udara segar dari luar sesekali terasa ketika kereta melaju, menambah antusiasme saya untuk segera tiba di Jogja. Tidak ketinggalan, saya omembawa kamera untuk mengabadikan beberapa pemandangan indah sepanjang perjalanan.
Hari Pertama (26 Desember)
Begitu tiba di Stasiun Tugu, saya langsung disambut dengan suasana khas Jogja yang hangat meskipun cuaca sedikit mendung. Ada sesuatu yang istimewa di udara, perpaduan antara keramahan orang-orangnya dan nuansa tradisional yang masih begitu terjaga. Hiruk-pikuk para wisatawan, pedagang asongan, dan penduduk lokal memberikan warna tersendiri.
Dari stasiun, saya langsung menuju penginapan yang sudah saya pesan sebelumnya. Penginapan ini memiliki nuansa tradisional Jawa, dengan interior berbahan kayu jati yang memberikan suasana hangat dan nyaman. Bahkan, aroma khas kayu yang tercium di setiap sudut ruangan membuat saya merasa seperti berada di rumah.
Setelah menyimpan barang dan beristirahat sejenak, saya memulai eksplorasi pertama saya di Jogja dengan mengunjungi Keraton Yogyakarta. Sebagai pusat budaya Jawa, Keraton adalah tempat yang wajib dikunjungi. Saya bergabung dalam tur berpemandu untuk memahami lebih dalam sejarah dan filosofi di balik bangunan megah ini. Pemandu wisata dengan penuh semangat menceritakan kisah-kisah menarik tentang peran Keraton dalam menjaga tradisi Jawa. Saya juga diajak untuk melihat detail ornamen dan arsitektur yang memiliki makna filosofis mendalam. Setiap sudut Keraton memberikan kesan yang mendalam, seolah membawa saya kembali ke masa lalu.
Dari Keraton, perjalanan saya berlanjut ke Taman Sari, bekas pemandian kerajaan yang terkenal dengan keindahannya. Tempat ini benar-benar memukau, mulai dari lorong-lorong bawah tanah yang unik hingga kolam-kolam air yang masih terawat dengan baik. Saya membayangkan bagaimana para anggota kerajaan dulu menikmati waktu mereka di tempat ini. Suasananya begitu tenang, dengan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. Saya tak lupa mengambil banyak foto di berbagai sudut Taman Sari, terutama di spot-spot yang Instagramable. Pemandu wisata juga menceritakan tentang bagaimana Taman Sari dulu tidak hanya menjadi tempat pemandian, tetapi juga menjadi tempat meditasi dan perencanaan strategi kerajaan.
Sore harinya, saya menuju Alun-Alun Kidul, salah satu tempat favorit wisatawan untuk bersantai. Di sini, saya mencoba permainan sepeda lampu yang berwarna-warni. Rasanya sangat menyenangkan, terutama saat melihat tawa dan kebahagiaan orang-orang di sekitar saya. Tidak lupa, saya mencicipi jagung bakar dan wedang ronde yang hangat. Suasana di Alun-Alun Kidul begitu meriah, dengan musik jalanan dan keramaian pengunjung yang menciptakan energi positif. Saya juga mencoba permainan masangin, yaitu berjalan di antara dua pohon beringin besar dengan mata tertutup. Meski awalnya saya ragu apakah bisa berhasil, saya akhirnya melewati tantangan tersebut dengan perasaan puas.
Malam pertama di Jogja saya tutup dengan berjalan-jalan santai di Malioboro. Jalanan ini penuh dengan pedagang kaki lima yang menjual berbagai barang, mulai dari aksesori kecil hingga makanan tradisional. Saya membeli beberapa oleh-oleh kecil seperti gelang, kalung, dan tas batik sebagai kenang-kenangan. Musik jalanan yang mengiringi langkah saya menambah kehangatan malam itu. Tidak lupa, saya juga mencicipi lumpia khas Jogja yang dijual oleh salah satu pedagang kaki lima.
Â
Hari Kedua (27 Desember)
Pagi-pagi sekali, saya memulai perjalanan menuju Goa Jomblang, salah satu destinasi wisata alam yang paling terkenal di Jogja. Perjalanan menuju goa ini cukup menantang, terutama karena harus menuruni tebing menggunakan tali untuk mencapai dasarnya. Awalnya, saya merasa gugup, tetapi dengan bantuan para pemandu yang profesional, saya berhasil melewati tantangan tersebut. Saat sampai di dasar goa, saya langsung disambut dengan pemandangan luar biasa, yaitu 'cahaya surga' yang menembus celah-celah dinding goa. Pemandangan ini benar-benar memukau dan sulit digambarkan dengan kata-kata. Saya menghabiskan waktu cukup lama di dalam goa, mengambil foto dan mendengarkan penjelasan pemandu tentang proses pembentukan goa dan ekosistem unik yang ada di dalamnya.
Setelah puas menjelajah Goa Jomblang, saya melanjutkan perjalanan ke Pantai Indrayanti. Pantai ini terkenal dengan pasir putihnya yang bersih dan pemandangan laut biru yang menenangkan. Saya menikmati makan siang dengan menu seafood segar di salah satu warung pinggir pantai. Ikan bakar, cumi goreng, dan sambal khas yang pedas benar-benar memanjakan lidah saya. Setelah makan, saya berjalan-jalan di sepanjang pantai, mengumpulkan kerang-kerang kecil yang terdampar di pasir, dan bermain air di tepi laut. Saat matahari mulai terbenam, suasana di pantai menjadi semakin indah. Langit yang berubah warna menjadi oranye keemasan menciptakan pemandangan yang sangat romantis dan menenangkan.
Tidak hanya itu, saya juga mencoba aktivitas seru lainnya seperti bermain voli pantai bersama pengunjung lain dan menyewa kano untuk menjelajahi perairan sekitar. Menikmati angin laut yang sejuk sambil mendayung kano memberikan pengalaman yang sangat menyenangkan. Sebelum pulang, saya duduk di tepi pantai, merenungkan perjalanan hari itu sambil menikmati suara deburan ombak yang menenangkan.
Hari Ketiga (28 Desember)
Hari ketiga saya dedikasikan sepenuhnya untuk menikmati kuliner khas Jogja dan berburu oleh-oleh. Pagi hari saya awali dengan mencicipi gudeg di salah satu warung legendaris di kawasan Wijilan. Gudeg yang manis berpadu sempurna dengan sambal krecek yang pedas, menciptakan harmoni rasa yang luar biasa. Tidak lupa, saya mencoba wedang uwuh, minuman tradisional yang terbuat dari berbagai rempah-rempah, yang memberikan rasa hangat di tubuh.
Setelah itu, saya berkeliling Malioboro untuk mencoba kuliner lainnya seperti pecel pincuk, bakmi Jawa, dan sate klathak. Setiap hidangan memiliki rasa yang khas dan menggugah selera. Saya juga menemukan warung kecil yang menjual serabi kuah santan, sebuah camilan tradisional yang lezat.
Selanjutnya, saya berjalan-jalan di kawasan Malioboro untuk mencari oleh-oleh. Selain kain batik, saya juga membeli aneka makanan khas seperti bakpia, geplak, dan wingko babat. Saya sempatkan juga mengunjungi Pasar Beringharjo yang terkenal dengan koleksi kain batik dan kerajinan tangan tradisional. Suasana pasar yang ramai memberikan pengalaman belanja yang unik dan menyenangkan. Selain itu, saya menemukan toko kecil yang menjual kerajinan perak khas Kotagede, yang langsung saya beli sebagai hadiah untuk keluarga di rumah.
Hari Keempat (29 Desember)
Hari ini saya mengunjungi dua candi yang paling terkenal di Jogja, yaitu Candi Prambanan dan Candi Ratu Boko. Di Prambanan, saya terpesona dengan kemegahan arsitekturnya yang penuh detail. Relief-relief yang menghiasi dinding candi menceritakan kisah-kisah epik dari Ramayana, dan saya belajar banyak tentang sejarah Hindu di Jawa dari pemandu wisata.
Sore harinya, saya menuju Candi Ratu Boko untuk menikmati sunset. Dari atas tebing, saya menyaksikan matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala, menciptakan pemandangan yang sangat menakjubkan. Suasana di Ratu Boko sangat tenang, menjadikannya tempat yang sempurna untuk bersantai dan merenung.
Malam harinya, saya menonton pertunjukan Sendratari Ramayana. Pertunjukan ini memadukan tarian tradisional, musik gamelan, dan pencahayaan dramatis yang menciptakan suasana magis. Saya benar-benar terpesona dengan keindahan seni budaya Jawa yang ditampilkan dalam pertunjukan ini.
Hari Kelima (30 Desember)
Hari terakhir di Yogyakarta dimulai dengan pagi yang cerah dan angin sepoi-sepoi. Sebelum memulai perjalanan ke destinasi terakhir, saya menyempatkan diri menikmati sarapan khas Jogja di penginapan. Kali ini, saya mencoba nasi kucing lengkap dengan lauk sambal teri dan sate telur puyuh, ditemani teh manis panas yang membuat pagi terasa begitu hangat. Rasanya, setiap sudut Jogja bahkan dari sajian sarapannya saja, menyimpan cerita unik yang sulit dilupakan.
Destinasi pertama dan utama hari itu adalah Tebing Breksi, sebuah lokasi wisata yang terkenal karena keindahan ukiran tebing batu kapurnya yang artistik. Saya berangkat lebih awal untuk menikmati suasana yang lebih sepi dan segar. Setibanya di sana, udara pagi yang segar dan pemandangan alam sekitar menyambut saya dengan kehangatan. Tebing ini memang terkenal karena panorama yang menakjubkan, terutama ketika langit cerah dan matahari mulai naik perlahan di atas cakrawala.
Di Tebing Breksi, saya berkesempatan menjelajahi area ukiran-ukiran dinding yang megah, yang sebagian besar menampilkan motif tradisional dan cerita rakyat Jawa. Setiap sudut ukiran terasa begitu hidup, seolah-olah ada narasi tersendiri yang tertulis di atas batu. Saya menghabiskan waktu berfoto di berbagai spot yang terkenal, termasuk di atas tangga alami yang memberikan pemandangan kota Jogja dari ketinggian. Pemandangan ini benar-benar membuat saya terpana, dengan pepohonan hijau, sawah-sawah, hingga siluet Gunung Merapi yang gagah di kejauhan.
Di sela-sela perjalanan mengelilingi Tebing Breksi, saya bertemu dengan beberapa pendaki yang baru saja menyelesaikan eksplorasi di daerah sekitarnya. Mereka berbagi cerita tentang pengalaman mereka menaklukkan jalur pendakian dan keindahan alam yang telah mereka saksikan. Percakapan singkat ini begitu berkesan karena saya bisa merasakan semangat mereka dalam menikmati alam. Bahkan, mereka memberikan rekomendasi beberapa tempat di Jogja yang harus saya kunjungi di kesempatan berikutnya, seperti Gunung Api Purba Nglanggeran dan Bukit Panguk Kediwung.
Tidak hanya berhenti di situ, saya juga mencoba berbagai aktivitas menarik di Tebing Breksi. Salah satu pengalaman yang tak terlupakan adalah menaiki jeep wisata yang membawa saya berkeliling area perbukitan kapur di sekitar tebing. Perjalanan dengan jeep ini terasa begitu menyenangkan karena jalurnya yang cukup menantang, dengan jalan berbatu dan tanjakan yang curam. Namun, pemandangan spektakuler di setiap sudutnya membuat semua rasa lelah terbayar lunas.
Setelah puas menjelajahi Tebing Breksi, saya duduk di salah satu gazebo yang disediakan untuk pengunjung. Saya menikmati sejuknya angin sambil menyantap camilan yang saya beli dari warung sekitar, seperti tempe mendoan hangat dan segelas es kelapa muda. Saat duduk santai ini, saya merenungkan perjalanan selama lima hari di Jogja yang terasa begitu istimewa. Kota ini benar-benar menghadirkan pengalaman yang tak hanya memanjakan mata, tetapi juga memperkaya jiwa.
Sebelum meninggalkan Tebing Breksi, saya menyempatkan diri berfoto di salah satu spot favorit, yaitu di depan ukiran besar yang berbentuk naga. Foto ini menjadi penutup sempurna untuk perjalanan saya. Saya juga membeli beberapa suvenir kecil dari para pedagang lokal, seperti gantungan kunci berbentuk tebing dan miniatur ukiran batu. Saya merasa membeli suvenir ini bukan sekadar membawa pulang kenang-kenangan, tetapi juga mendukung ekonomi lokal yang sangat bergantung pada wisatawan.
Menjelang siang, saya kembali ke penginapan untuk berkemas dan bersiap menuju stasiun. Perasaan campur aduk memenuhi hati saya. Di satu sisi, saya merasa puas dengan perjalanan ini yang dipenuhi pengalaman indah. Namun, di sisi lain, saya juga merasa sedikit berat hati meninggalkan kota yang begitu ramah dan penuh kehangatan.
Ketika kereta mulai melaju meninggalkan Stasiun Tugu, saya memandangi kota Jogja untuk terakhir kalinya dari jendela. Saya teringat setiap momen yang telah saya alami di sini: keramahan penduduk lokal, kelezatan kuliner khas, pesona alam, hingga kekayaan budayanya. Jogja memang memiliki cara tersendiri untuk meninggalkan jejak mendalam di hati setiap pengunjungnya.
Meski perjalanan ini berakhir, kenangan dan pelajaran yang saya dapatkan akan selalu terpatri dalam ingatan. Saya berjanji dalam hati untuk kembali lagi ke Jogja di lain waktu, karena kota ini seolah tidak pernah kehabisan pesona untuk dijelajahi. Liburan ini bukan hanya sekadar rekreasi, tetapi juga menjadi pengingat betapa kayanya Indonesia dengan keindahan dan budayanya yang luar biasa. Jogja, sampai jumpa lagi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H