Kisah nyata, Selasa 10 Agustus 2021
Saya, Masyudi dan Wildan memasuki mobil Suzuki Ertiga GX warna putih mutiara. Meski mobil itu milik Masyudi, Wildan memiliki tanggung jawab penuh pada kursi kemudi, di sampingnya adalah Masyudi. Sementara saya, duduk di kursi tengah sendiri.
Barang perlengkapan selama dua hari mengikuti kegiatan sosialisasi di Meulaboh sudah ditumpuk di kursi paling belakang. Malam ini kami bertiga akan balik ke Banda Aceh.
Mobil Ertiga meluncur di jalan aspal yang basah, meninggalkan kota kelahiran Teuku Umar. Malam itu, seperti malam-malam biasanya. Kota Meulaboh diselimuti kabut tebal dalam pekat kegelapan malam dan keheningan. Lampu-lampu pinggir jalan mulai dihidupkan. Cahaya juga memancar dari lampu yang menembus jendela rumah penduduk kiri kanan jalan.Â
"Sepuluh menit lagi kita memasuki Kabupaten Aceh Jaya, Insya Allah," ujar Wildan sambil tetap fokus mengendalikan laju mobil itu di tengah hujan rintik-rintik. Sorot lampu mobil membuat hujan rintik-rintik itu seperti salju yang berhamburan turun teratur dari langit.
Warung itu terlihat masih baru dan unik. Tampak nyaman untuk disinggahi, sekedar ngopi dan melaksanakan salat Isya. Warung itu adalah Warung Guritno yang berada di pusat Kota Lamno. Warung ini cukup terkenal di kalangan milenial Aceh, terutama di media sosial.
Tidak berlama-lama, kami melanjutkan perjalanan. Rintik hujan masih membasahi aspal. Mobil Ertiga mulai bergerak meninggalkan Kota Lamno. Wildan mengendarai mobil santai, hanya 40 kilometer per jam. Dalam waktu satu jam, kami telah tiba di kaki Gunung Kulu, Aceh Besar.
Wildan menekan kuat pedal gas mobil, tanjakan curam di depan mata. Tanjakan pertama berhasil Wildan selesaikan dengan baik. Malam semakin gelap gulita di Gunung Kulu. Tanjakan curam kembali menghantui perjalanan kami. Mobil Ertiga mengeluarkan bau gosong.
Tanjakan kedua juga berhasil dilewati, namun seketika mobil mogok mendadak dengan mesin mobil hidup. Syukur saat mobil mogok kami tidak sedang dalam tanjakan maupun turunan curam. Mobil mogok sekitar pukul 21.30 WIB.
Bagian kap mobil mengeluarkan asap, bau gosong tambah menyengat. Kami langsung keluar dari mobil. Wildan dan Masyudi mencoba untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Namun, keduanya bukan montir, mobil lalu dibiarkan terparkir di pinggir jalan, dengan lampu depan belakang dibiarkan menyala. Hujan mulai lebat, kami berteduh di lapak yang dijadikan tempat jualan durian di siang hari.
Kekhawatiran menyelimuti malam yang gelap itu. Jalanan sepi, jauh dari pemukiman penduduk. Meski ada satu dua mobil pribadi dan mobil penumpang yang lalu lalang, tidak ada yang berani berhenti. Masyudi gelisah, Wildan tampak tenang, sementara saya mencoba jadi penengah di antara kedua perasaan sahabat malam itu.Â
Saya mengabadikan momen itu lewat hp. Karena hanya itu yang dapat saya lakukan, selebihnya tidak bisa. Jaringan internet mati, hanya berfungsi untuk telepon manual.
Sudah satu jam berlalu, menunjukkan pukul 22.20 WIB, Masyudi terus mencari solusi, dua nomor di kontak hpnya sudah dihubungi, namun dari raut wajah Masyudi belum ada tanda apa-apa. "Apa kita menginap aja semalam disini," ucap Masyudi mulai putus asa.
"Coba Bang Masyudi telepon nomor orang yang dekat disini, atau minimal 2 km dari posisi kita," sahut saya. Sejurus kemudian satu persatu Masyudi kembali mencari nama di kontak hpnya.Â
Masyudi menelpon Yon atau akrab disapa John. John merupakan sahabat dekat Masyudi di bangku kuliah. John tinggal di Desa Lamsujen, Lhoong, Aceh Besar. Jarak tempuh dari Lamsujen ke Gunung Kulu 54 km atau 1 jam 15 menit.Â
Raut wajah Masyudi berubah, senyum tipis itu memberikan sinyal positif. "Kawan saya John akan jemput kita disini. Entah nanti di derek atau apa yang penting ada bantuan," ucap Masyudi. Saya dan Wildan ikut tenang mendengarnya.
Intensitas hujan masih tinggi, lampu mobil Ertiga masih setia menyala, menerangi kami dalam gelap gulita di Gunung Kulu. Pepohonan hutan yang besar dan lebat tumbuh berdekatan kiri dan kanan jalan. Sementara arah depan dan belakang jalan sepi dan lengang, seorang pengendara motor melintas di depan kami, tidak lupa menyapa.Â
Dari kejauhan lampu sorot mobil toyota Innova menerangi gelap di sekitar lokasi tempat kami berteduh. Mobil itu berdiri tepat di depan mobil Ertiga. John keluar dari mobil bersama seorang teman. Masyudi menyapa teman lamanya itu.Â
Seberes sapa menyapa, John menjelaskan kepada Masyudi, bahwa tidak ada bengkel terdekat. John hanya menawarkan satu opsi, mobil di derek dan disimpan di kaki Gunung Kulu, lalu kami bertiga menginap di rumahnya di Desa Lamsujen.Â
"Mobil kita simpan di rumah saudara saya di kaki Gunung Kulu. Besok pagi baru kita bawa ke bengkel," tegas John.
Tanpa pikir panjang, opsi itu diterima Masyudi mewakili kami juga. John mengikat kuat tali derek pada bumper. Setelah itu kembali masuk ke mobil Innova. Kami bertiga masuk ke mobil Ertiga. John memutar setir berbalik arah.
Masyudi memegang kendali kursi kemudi. Mesin mobil dimatikan, mobil berjalan pelan mengikuti tarikan mobil Innova di depan. Jalan turunan curam memudahkan proses derek. Di dalam mobil Ertiga, Wildan dan saya sudah mulai kelelahan. Masyudi fokus memegang setir, mengontrol belokan kiri kanan yang tajam. Hujan mulai reda, semilir angin berhembus dalam kegelapan malam yang semakin larut.
Mobil Ertiga sudah terparkir rapi di rumah saudara John. Kami bertiga memasuki mobil Innova dengan tujuan rumah John. Jalanan yang hanya muat satu mobil dan tanpa aspal itu, jalan menuju ke Desa Lamsujen. Rumah John hanya berjarak 1 km dari jalan utama.Â
Setiba di rumah John, istri dan anaknya sudah menyambut di depan pintu rumah type 45. Kasur sudah diatur rapi di ruang tamu, kami bergegas mengganti pakaian, setelah semua persiapan untuk tidur beres, kami bertiga kompak menarik selimut dan langsung tertidur pulas.
Pagi di Desa LamsujenÂ
Semilir angin pagi menyebar menciptakan kesejukan dari bukit tak bernama yang hanya berjarak 50 langkah dari rumah John. Pagi hari adalah waktu terbaik untuk burung berkicau. Desa Lamsujen riuh dengan suara burung yang mulai beraktifitas. Air parit sangat jernih seperti tak berkeruh, ikan hias sepat bebas berenang.
Kami bertiga mulai keluar pagar rumah berjalan setapak. Tatanan rapi rumah warga berpagar kayu, menambah aroma pedesaan. Sayup-sayup di persimpangan, seorang Ibu yang sedang menyapu menyapa kami yang melintas. Dari arah depan, muncul seorang bapak mengendarai motor moge GL Pro menuju ke arah pasar, tidak lupa menyalakan klakson, tanda menyapa.
Kami terus berjalan mengikuti sekelompok bapak-bapak berpeci. Hingga membawa kami tiba di warkop kecil yang dimerger dengan kios. Saya memesan teh tubruk hangat, Masyudi milo hangat, Wildan wedang jahe. Sementara John tidak membersamai kami, dia harus mengantar anak ke sekolah.
Warga tentu penasaran dengan kehadiran kami. Pemilik warung memulai obrolan, kami menceritakan semua permasalahan yang terjadi semalam di Gunung Kulu. Tiba-tiba salah seorang bapak memotong obrolan kami.
"Kalian berteduh di bawah lapak orang jual durian. Untung kalian cepat dijemput si John. Saya dengar tadi, daerah itu dihujani batu besar yang jatuh dari bukit," ucapnya, sontak membuat kami syok.
"Alhamdulillah, berarti Allah masih sayang sama kami," sahut Masyudi bersyukur.
Wedang jahe sudah duluan ludes, milo hangat masih tersisa, teh tubruk hangat menyisakan gula di dasar yang sengaja tidak diaduk. Kami bertiga beranjak dari warkop itu dan kembali berjalan setapak mengelilingi Desa Lamsujen. Matahari bersinar terang, udara segar sungguh terasa nyaman merasuk dalam syaraf dan aliran darah.
Pohon-pohon dengan reranting dan berdaun lebat menemani perjalanan kami menyusuri desa. Penduduk desa yang ramah membuat gerak langkah kami terasa lambat, berhenti sejenak hanya untuk menjawab satu dua pertanyaan warga. Pertanyaan yang diajukan hampir sama, seputaran alasan kami berada di desa mereka.Â
Tidak terasa, kami sudah tiba di rumah John. John sudah siap untuk berangkat, kami bertiga langsung bergegas mengambil tas dan segala perlengkapan. John menekan pedal gas mobil menyusuri jalan pedesaan hingga tiba di jalan utama Meulaboh - Banda Aceh.
"Kita derek aja lagi, sampai ke Banda Aceh. Nanti disana langsung kita bawa ke dealer suzuki," ucap John. Masyudi setuju.
Aspal sudah mengering, cuaca panas menyengat. Lalu lalang pagi menjelang siang itu sedikit padat. John sudah mulai mengikat kembali tali pada bumper. Kami bertiga pindah ke mobil Ertiga.Â
Pemandangan siang hari berbeda sekali dengan semalam. Kami bersemangat dan berharap segera tiba di Kota Banda Aceh. Terutama Masyudi dan Wildan, anak dan istri sudah menanti di rumah.
Sungguh kejadian malam itu di luar dugaan kami. Meski ketakutan luar biasa menyelimuti, kami harus tetap tegar menyemangati satu sama lain. Cerita seorang bapak di warkop Desa Lamsujen, menambah rasa syukur kami kepada Allah. Seandainya John telat memberikan bantuan, mungkin malam itu, malam terakhir kami hidup di bumi.
John hadir bukan sekedar memberikan bantuan, tapi menyelamatkan kami dari marabahaya binatang buas dan batu besar di atas bukit atas izin Allah. Saya berharap kebaikan John mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah.
Saya percaya selalu ada hikmah dibalik musibah atau kesengsaraan. Buktinya, Allah membayar lunas peristiwa semalam dengan menyajikan keindahan alam yang alami dari Desa Lamsujen. Tidak ada penyesalan, kami menganggap terjebak dalam dua dunia yang berbeda.
Dua jam perjalanan, sekitar pukul 13.10 kami tiba di dealer Suzuki di Lampeuneurut, Aceh Besar. Benar saja, istri dan anak Wildan sudah menanti disana. Kami kembali ke rumah masing-masing, mobil Ertiga dititip di dealer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H