Tsunami membuat rumah itu kupak-kapik. Sementara rumah Hafnidar sendiri hanya tersisa tapaknya. Isi rumah pun hilang disapu gelombang laut, termasuk surat-surat penting dan berharga.
Di pengungsian, Hafnidar dan keluarga berjuang saling menguatkan. Mereka sudah tidak punya apa-apa lagi. Selama sepekan, pakaian dan makanan didapat dari belas kasihan teman, para dermawan dan masyarakat yang berkunjung ke pengungsian.
Tapi, semangat untuk melanjutkan hidup tetap membaja. Ia dan keluarga memilih bertahan di tenda pengungsian. Bahkan, mereka ikut membantu korban tsunami lainnya di pengungsian, bergabung meringankan tugas relawan yang berdatangan ke Aceh setelah bencana berlalu.
Hafnidar kemudian bekerja sebagai relawan kemanusiaan untuk Oxfam, NGO (Non-Government Organization) asal Inggris. Meutia, putri sulung Hafnidar, menjadi penerjemah para relawan dari Jerman dan Amerika.
Kondisi kaum penyintas tsunami di pengungsian kerap membangkitkan rasa kemanusiaan Hafnidar. Kisah-kisah kemanusiaan yang mereka alami menghidupkan kembali kenangan Hafnidar terhadap tragedi paling mematikan itu.
Ini membuat spirit hidup tak stabil; pasang-surut seperti gelombang. Bahkan semangat hidup Hafnidar pernah hampir padam, meski akhirnya menyala kembali laksana lentera.
Sepanjang 17 tahun pascatsunami, kisah menakutkan itu masih menempel di benak Dekan Fakultas Teknik Unmuha ini. Hatinya sering gelebah. Saking cemasnya ia pun pernah mendadak pitam ketika sedang menyetir mobil.
"Inilah potongan kisah menginspirasi dan menjadi legacy yang tak terkira buat anak bangsa dalam buku Hafnidar Perempuan Aceh Menerjang Badai," tutur Nurhalim.
Penulis, Maskur Abdullah, mengatakan Hafnidar memang pernah terpuruk pasca tsunami. Dia bahkan mengalami trauma berkepanjangan. Ada isak tangis di sana. Tapi hebatnya dia bisa bangkit kembali setelah menemukan "Titik Balik" atau turning point.
Pengalaman mengerikan pada saat tsunami yang nyaris merenggut jiwa Hafnidar, anak-anak dan keluarganya, telah mengubah kehidupannya masuk pada kehidupan yang baru. Hafnidar bermetaformosa menjadi perempuan tangguh tapi juga religius.
Tak hanya dari sisi religius, bencana dahsyat itu juga telah mendorong Hafnidar meningkatkan derajat intelektualnya. Setidaknya ada dua kutub yang saling bergantung dari pencapaian itu.