Dalam implementasi kebijakan pendidikan inklusif ditemukan bahwa tidak semua peserta didik penyandang disabilitas berada di sekolah inklusif. Sebagian besar peserta didik penyandang disabilitas yang masuk ke sekolah inklusif yaitu peserta didik kategori A (tunanetra). Disabilitas lain yang banyak ditemukan di sekolah-sekolah inklusif yaitu peserta didik dengan kategori B (tunarungu) dan C (tunagrahita), walaupun keduanya juga jarang ditemukan. Selain itu, peserta didik yang memiliki disabilitas fisik lain dan harus memakai alat bantu seperti kursi roda juga jarang ditemukan.
Pada prinsipnya, sesuai dengan konsep dasar pendidikan inklusif, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan arahan agar semua jenis disabilitas yang tertera dalam peraturan baik Peraturan Menteri Pendidikan Nasional maupun Peraturan Gubernur untuk diterima sebagai peserta didik di sekolah-sekolah inklusif yang telah ditunjuk. Namun tidak serta merta semua peserta didik penyandang disabilitas dapat diterima menjadi peserta didik sekolah inklusif. Peserta didik yang ingin mendaftarkan diri di sekolah inklusif harus melalui tahap identifikasi (skriningatau assesment) agar diketahui kondisi dan kebutuhan peserta didik tersebut. Peserta didik dengan disabilitas ekstrem tidak dapat diterima menjadi peserta didik di sekolah inklusif karena memang diakui pihak sekolah belum memiliki Sumber Daya Manusia yang memadai untuk menangani disabilitas ekstrem tersebut.
Dalam hal kurikulum pendidikan inklusif, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan potensinya. Dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 disebutkan bahwa kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah kurikulum yang berlaku yang disesuaikan dengan disabilitas masing-masing peserta didik penyandang disabilitas. Kurikulum yang digunakan saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jika memang diperlukan, pihak sekolah melakukan modifikasi terhadap kurikulum sesuai dengan kebutuhan peserta didik penyandang disabilitas di kelas.
Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta menyiapkan tenaga pendidik agar dapat memahami konsep dan pelaksanaan pendidikan inklusif yang benar. Penyiapan tenaga pendidik tersebut dilakukan dengan cara mengadakan pelatihan guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Pelatihan ini dilaksanakan bekerjasama dengan LSM Hellen Keller Internasional (HKI) yang memiliki konsen, salah satunya, dalam pendidikan inklusif.
Selain mengadakan pelatihan bagi guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga menunjuk beberapa guru SLB (Sekolah Luar Biasa) di lingkungan Dinas untuk menjadi GPK (Guru Pembimbing Khusus) yang mendampingi pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah reguler. Namun demikian, saat ini keberadaan GPK tidak jelas, sehingga seringkali sekolah mendapatkan kesulitan dalam penganangan anak penyandang disabilitas.
Mengenai sarana prasarana, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif berhak memperolah bantuan profesional sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah Kabupaten/Kota. Bantuan profesional yang dimaksud dalam peraturan tersebut dapat berupa penyediaan sarana dan prasarana.
Ketentuan mengenai sarana dan prasarana disebutkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa sarana dan prasarana yang terdapat pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusi adalah sarana dan prasarana yang telah terdapat pada sekolah/madrasah yang bersangkutan dan ditambah dengan aksesabilitas serta media pembelajaran yang diperlukan bagi peserta didik penyandang disabilitas.
Dalam hal pembiayaan, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007, pembiayaan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pos anggaran Dinas Dikdas dan Dinas Dikmenti.
Dinas Pendidikan Provinsi DKI memberikan bantuan finansial bagi sekolah-sekolah yang mengajukan proposal dan proposalnya diterima. Selain itu, dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta diambil dari dana BOP (Bantuan Operasional Pendidikan) dan DOP (Dana Operasional Pendidikan).
Dana operasional dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yang diperuntukkan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif sudah diberikan sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada tahun 2009 dan tahun 2010. Pada tahun 2009 jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang menerima dana operasional sebanyak 20 sekolah dengan besaran dana sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah) untuk masing-masing sekolah. Alokasi anggaran biaya operasional penyelenggara pendidikan inklusif tersebut berasal dari Dana APBD Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD) Dinas Pendidikan Tahun 2009.[17]
Pada tahun 2010, jumlah sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif yang menerima dana pendamping berjumlah 5 (lima) sekolah dengan besaran dana untuk masing-masing sekolah berjumlah Rp. 18.000.000,- (Delapan belas juta rupiah).