Setetes air jatuh dari lubang itu dan mendarat di wajahku, kali itu cairan yang menetes tidak seperti cairan encer di dalam ember melainkan lebih kental. Sambil menatap celah di langit-langit rumah itu, aku menyentuh tetesan kental yang jatuh di wajahku. Sebuah suara samar mirip suara adikku kembali terdengar, "Tolong aku mbak."
Aku yang merasa penasaran, menoleh ke berbagai sudut hingga pandanganku jatuh ke ujung jari yang aku gunakan menyeka cairan di wajahku.
"Aaaaaakkkkkk!!!" aku menjerit ketika mendapati cairan kental yang menetes di wajahku adalah darah.
Aku yang jatuh terduduk karena lemas kembali mendengar sayup suara adikku, "Aku di atas mbak."
'Bagaimana mungkin dia di atas sana?' pikirku dalam hati, jantungku berdetak sangat cepat. 'Celah itu hanya sebesar tiga jari orang dewasa.'
Belum hilang rasa terkejutku, sesuatu jatuh dari langit-langit itu ke pangkuanku. Aku yang sudah sejak tadi menatap langit-langit itu menundukkan kepalaku enggan, kali itu sepotong jari manis lengkap dengan cincin kesayangan adikku mendarat di pangkuanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H