Hari itu hujan turun sangat deras. Angin kencang memporakporandakan kedai-kedai di pinggir jalan. Aku mengkhawatirkan rumahku yang bocor. Meski setiap pagi aku sudah meletakkan sebuah ember di bawah lubang langit-langit rumahku, aku tetap merasa was-was.
"Di sana hujan enggak, dek?" tanyaku melalui pesan singkat kepada adik perempuanku yang jam kerjanya tidak seperti karyawan kantoran. "Kamu udah berangkat?"
"Hujan mbak. Aku udah berangkat," jawab adikku. "Nanti kalau reda aku pulang sebentar deh aku lihatin banjir enggak."
"Oke," balasku singkat.
Waktu berlalu, ketika beberapa jam kemudian hujan telah berhenti, adikku tidak memberikan aku kabar lanjutan.Â
'Mungkin kedainya ramai,' pikirku dalam hati. 'Toh aku udah meletakkan ember di bawah lubang itu.'
Meski begitu perasaanku tetap tidak tenang. Aku memutuskan untuk tidak lembur karena memikirkan berbagai kemungkinan salah satunya bahwa langit-langit itu bisa saja ambruk karena lapuk.
"Dek?" panggilku dari pintu setibanya aku di rumah. Aku melihat sepeda motornya terparkir di halaman namun tidak menemukan seorang pun di rumah itu. Waktu itu, jam tangan yang aku kenakan menunjukkan waktu pukul 21.20. Rumah itu tidak terkunci.
''Kemana dia?" gumamku sambil mendorong pintu agar aku bisa masuk. Aku kemudian langsung melangkahkan kakiku ke dapur dengan langit-langit yang telah berlubang karena lapuk. Hujan membuat air berjatuhan ke dalam ember banyak sekali. Aku melongok ember itu kemudian terkejut ketika mendapati air yang tertampung tampak berwarna kemerahan.
"Mbak," samar suara adikku seolah dibawa oleh angin. Â Aku menoleh, mencoba mencari sumber suara namun nihil.
"Mbak," panggil suara yang sama, kali ini suara itu seolah berasal dari lubang di langit-langit rumah itu. Aku yang sengaja berdiri tepat di bawah lubang itu, menengadah.