Adapun jalur kultural dilakukan untuk menggugah kesadaran masyarakat akan bahaya politik uang berpotensi menghancurkan demokrasi. Karena demokrasi sebagai instrumen seleksi penerima mandat mengalami bias. Calon yang terpilih bukanlah yang paling kompeten atau memiliki keberpihakan kepada rakyat. Melainkan (calon) koruptor yang berani menggelontorkan uang untuk membeli suara.
Masyarakat sendiri yang dirugikan atas praktik kotor ini. Karena rakyat secara (tidak) sadar telah memilih (calon) koruptor. Baik korupsi harta benda maupun korupsi kebijakan. Jangan salahkan jika para pemegang mandat hasil pemilu, baik legislatif maupun eksekutif, berkhianat kepada rakyat. Kekuasaan yang mereka genggam akan digunakan untuk mengkhianati dan memanipulasi. Relakah kita memiliki pemegang kekuasaan yang memiliki watak pengkhianat? Tentu tidak bukan?
Jalur kultural untuk melawan politik uang harus diperkuat dengan mengerahakan para pengawas TPS (PPTS) yang jumlahnya ratusan ribu. Pengawas TPS merupakan garda terdepan dalam pengawasan pemilu. Perlu didorong peran aktif pengawas pemilu untuk berkampanye anti-politik uang.
Pihak Bawaslu bisa menyiapkan materi atau konten edukasi. Adapun PTPS menjadi buzzer alias pendengung  untuk mengarusutamakan wacana perlawanan terhadap politik uang. Ikhtiar ini dilakukan untuk menggugah kesadaran masyarakat atas bahaya kejahatan demokrasi berupa politik uang. Sekaligus menanamkan kesadaran kolektif ancaman politik uang bagi eksistensi bangsa Indonesia. Semoga Pilkada serentak yang akan dihelat 27 November 2024 minim politik uang. Dan kita tidak perlu ‘putus asa’ terhadap amplop.Â
Mari sambut pemilu dan lawan politik uang. Merdeka! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H