JIKA ada sebuah benda yang membuat seorang ulama kharismatik 'putus asa', maka itu adalah amplop. Ya KH Mustofa Bisri, mantan Rais Am PBNU itu tampaknya begitu 'getun' kepada benda terbuat dari kertas putih mungil tersebut.
Apa pasal? Kecil tetapi sakti. Itulah amplop. Begitu saktinya sehingga dalam puisinya "Di Negeri Amplop", pengasuh Ponpes Raudlatut Thalibin itu menggambarkan Aladin saja akan menyembunyikan lampu wasiatnya jika bertemu amplop. Karena tokoh rekaan dalam dongeng Negeri Seribu Satu Malam itu menyadari, kekeramatan lampu wasiatnya tak setara dengan kehebatan benda yang pada zaman Kerajaan Babilonia dibuat dari tanah liat itu.
Entah kalau yang berkenan datang mengatasi ampuhnya sawab amplop itu adalah Nabi Musa, bapak para nabi. Begitu guman Gus Mus dalam geguritan yang diciptakannya pada tahun 2002 itu.
Kini di tahun 2024, si amplop bukannya kehilangan wibawa malah semakin berkuasa. Termasuk dalam perhelatan pemilu. Amplop digunakan sebagai alat ‘serangan fajar’ atau politik uang. Sebuah prilaku kotor untuk mempengaruhi pemilih yang biasanya dilakukan politisi hitam.
Di negeri amplop
Aladin menyembunyikan lampu wasiatnya, malu
Samson tersipu-sipu, rambut keramatnya ditutupi topi
rapi-rapi
David Copperfield dan Houdini bersembunyi rendah diri
Entah andaikata Nabi Musa bersedia datang membawa tongkatnya
Amplop-amplop di negeri amplop
mengatur dengan teratur
hal-hal yang tak teratur menjadi teratur
hal-hal yang teratur menjadi tak teratur
memutuskan putusan yang tak putus
membatalkan putusan yang sudah putus
Amplop-amplop menguasai penguasa
dan mengendalikan orang-orang biasa
Amplop-amplop membeberkan dan menyembunyikan
mencairkan dan membekukan
mengganjal dan melicinkan
Orang bicara bisa bisu
Orang mendengar bisa tuli
Orang alim bisa napsu
Orang sakti bisa mati
Di negeri amplop
amplop-amplop mengamplopi
apa saja dan siapa saja
Puisi Di Negeri Amplop relevan untuk direnungi dalam konteks praktik politik uang dalam pemilu. Gus Mus sudah mengungatkan bahaya amplop dan tugas pengawas pemilu serta masyarakat luas untuk mencegah praktik yang meracuni kualitas demokrasi itu.
Tidak mudah memang untuk memberantas politik uang. Karena praktik jual-beli suara ini merupakan kehendak dua pihak, si pemberi dan penerima. Sehingga tidak mudah untuk diawasi karena dilakukan atas dasar ‘suka sama suka’.Â
Pusat Edukasi Antikorupsi KPK dalam kajiannya yang berjudul Mengapa Politik Uang Tak Bisa Dihilangkan di Masa Pemilu? pun menilai sukar menghilangkan politik uang. KPK menilai, transaksi gelap demokrasi itu terjadi karena instrumen hukum yang ada kurang mampu menjeratnya.Â
Badan Pengawas Pemilu sebagai lembaga yang diberi amanat untuk melakukan pengawasan mencoba melawan praktik politik uang melalui dua cara. Menggunakan jalur hukum, yakni menjerat pelaku politik uang secara pidana berdasar Undang-undang Pemilu. Serta melalui jalur kultural dengan melakukan pendidikan pemilih, sosialisasi, serta pengarusutamaan wacana.
Pada jalur penegakan hukum, Bawaslu Kota Semarang misalnya, memproses dugaan politik uang yang dilakukan dua calon anggota legislatif (caleg) di Tembalang dan Pedurungan. Caleg dari dua partai yang berbeda itu dibawa ke sentra Gakumdu untuk diproses hukum menurut Undang-undang Pemilu.
Adapun jalur kultural dilakukan untuk menggugah kesadaran masyarakat akan bahaya politik uang berpotensi menghancurkan demokrasi. Karena demokrasi sebagai instrumen seleksi penerima mandat mengalami bias. Calon yang terpilih bukanlah yang paling kompeten atau memiliki keberpihakan kepada rakyat. Melainkan (calon) koruptor yang berani menggelontorkan uang untuk membeli suara.
Masyarakat sendiri yang dirugikan atas praktik kotor ini. Karena rakyat secara (tidak) sadar telah memilih (calon) koruptor. Baik korupsi harta benda maupun korupsi kebijakan. Jangan salahkan jika para pemegang mandat hasil pemilu, baik legislatif maupun eksekutif, berkhianat kepada rakyat. Kekuasaan yang mereka genggam akan digunakan untuk mengkhianati dan memanipulasi. Relakah kita memiliki pemegang kekuasaan yang memiliki watak pengkhianat? Tentu tidak bukan?
Jalur kultural untuk melawan politik uang harus diperkuat dengan mengerahakan para pengawas TPS (PPTS) yang jumlahnya ratusan ribu. Pengawas TPS merupakan garda terdepan dalam pengawasan pemilu. Perlu didorong peran aktif pengawas pemilu untuk berkampanye anti-politik uang.
Pihak Bawaslu bisa menyiapkan materi atau konten edukasi. Adapun PTPS menjadi buzzer alias pendengung  untuk mengarusutamakan wacana perlawanan terhadap politik uang. Ikhtiar ini dilakukan untuk menggugah kesadaran masyarakat atas bahaya kejahatan demokrasi berupa politik uang. Sekaligus menanamkan kesadaran kolektif ancaman politik uang bagi eksistensi bangsa Indonesia. Semoga Pilkada serentak yang akan dihelat 27 November 2024 minim politik uang. Dan kita tidak perlu ‘putus asa’ terhadap amplop.Â
Mari sambut pemilu dan lawan politik uang. Merdeka! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H