Tulisan ini tidak bermaksud sedikitpun memberi pemahaman yang mumpuni tentang apa itu kesalehan sosial, apalagi bermaksud hanya berbangga hati dan angkuh dengan beberapa sosok dalam tulisan ini.Â
Lebih sebagai bahan perenungan bagi saya pribadi tentang bagaimana berproses menjadi seorang saleh-sosial dalam menjalani aktivitas keseharian saya. Sudah tentu, pembaca akan jauh lebih terpuaskan dari berbagai literatu lain, selain tulisan ringan ini.Â
Tulisan ini pun tidak memberi simpulan terhadap lonjakan tiap paragraf satu ke paragraf lainnya, sengaja saya biarkan begitu, dengan harapan selalu ada kalimat yang dapat direnungi dan dianggap pesan kesalehan sosial terkandung di dalamnya.
Tual, Ibu Kota Kabupaten Maluku Tenggara, 1950-1960an. Sebuah kota kecil yang turut melengkapi Republik Indonesia pada usia awal, dan hanya masih terdiri dari beberapa Provinsi. Sebelumnya, Tual memang sudah dikenal jauh lebih lama sebagai sebuah Afdeling[1], menurut beberapa sumber. Tual dengan geografisnya yang kecil memainkan peran sosial tersendiri pada zaman Perunggu, kerajaan Sriwijaya, Majapahit, kolonisasi Belanda, hingga Indonesia pada era Soekarno.
Berbagai hal menarik dan unik dalam lintasan sejarah dapat ditelusuri, telah banyak informasi mengenai keunikan Tual, mulai dari keindahan alam, adat-istiadat, toleransi keagamaan, sampai pada kontestasi perpolitikan.Â
Ragam peristiwa yang ditampilkan suatu wilayah, dari masa ke masa memperlihatkan keunikan pola hidup bersosial yang berbeda-beda, termasuk Tual pada masa kepemimpinan Bung Karno.
Pola hidup bersosial antar manusia satu dengan yang lain, semakin hari akan menunjukkan penurunan tingkat kebersamaan seiring dengan menyerabutnya kapitalisme dari segala arah dengan berbagai metode.Â
Kota akan sangat mungkin mengalami penurunan pola hidup komunal jika terlalu banyak wilayah urban baru yang tidak tersegregasi lagi seperti pada awal urbanisasi terjadi di wilayah itu, antara satu entitas lokal dan entitas lokal lainnya walaupun mereka sering bertemu di satu Masjid, Gereja, Wihara, Pura, Klenteng, atau tempat ibadah lainnya.Â
Boleh jadi beberapa orang bersepakat untuk saling membantu, namun sensitivitas sosial di antara mereka hanya bertahan selama kepentingan bersama tetap terjaga keseimbangannya. Pemakluman seperti ini mulai terlihat dari kehidupan di dalam rumah reyot hingga konsensus temporer di antara parpol. Tual sebagai kota kecil pada rentang waktu itu, belum menunjukkan indikasi sebagaimana Jakarta atau kota besar lainnya di Indonesia hari ini.Â
Pada interval tahun itu, jembatan yang menghubungkan pulau Dullah Darat dan pulau Kei Kecil belum sepenuhnya dibangun, saya sendiri pun belum memastikan kapan jembatan yang kemudian dikenal oleh masyarakat kota Tual sebagai jembatan Usdek[2] ini mulai dibangun hingga mengalami dua kali pergantian bentuk.Â
Besar kemungkinan, Usdek mulai digagas dan diresmikan dengan model pertama pada masa pemerintahan Bung Karno, mengingat nama itu adalah akronim dari sekian bentuk ide politiknya.Â