Mohon tunggu...
Okty Budiati
Okty Budiati Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga yang gemar menari.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Epifil

23 Desember 2015   18:51 Diperbarui: 24 Desember 2015   02:03 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu dan gelap pun melarut. Jajaran cahaya lampu yang temaram di sepanjang jalan antara Pasar Minggu dengan Lenteng Agung kian merenggang. Berderet barisan pohon besar, tegap angkuh menatap ke arah rel kereta api yang sedang beristirahat di seberang jalan. Angin bergerak menyapa dari arah belakang tepat menuju tubuh Idrus dan bersandar dengan lembut. Sesekali terdengar bunyi kerikil terlempar dari putaran roda-roda motor yang tergesa. 

Malam ini waktu di layar telpon genggam lawas milik Idrus menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh delapan menit dini hari. Suasana di menit ini terasa begitu hening dan sempit. Sebuah gambaran suasana yang dipenuhi oleh segala macam polusi psikis masyarakat di kota besar yang tak lagi mampu tertumpahkan oleh bahasa apa pun selain dengan berjalan kaki. 

Pada perjalanan inilah Idrus menaruh harapan sebagai satu-satunya jalan menuju kematian dirinya sendiri. Ya, sebuah jalan kematian yang pasti agar dapat terbebas dari carut marutnya dunia nekropolis ini.

Tak ada lagi yang dapat menolongku pada kematianku sendiri... Dunia ini terlalu manis untuk ditunggangi oleh mahluk yang bernama Idrus!”, jeritan hati Idrus berulang kali mengingatkan dirinya untuk segela menuntaskan nafasnya ini. 

Sambil terus berjalan menyusuri trotoar yang tidak serius bagi pejalan kaki, Idrus tetap melangkah maju meski langkah itu tidak menentu arah pastinya. Sesuatu yang berada dalam isi kepalanya hanya satu; bagaimana cara termudah untuk mengabisi nyawanya tanpa merepotkan orang lain, dan semoga jasadnya pun tak ditemukan oleh orang lain. Biarlah sekelompok bakteri memamahnya agar jasadnya masih dapat bermanfaat bagi mahluk di semesta ini. Nekropolis telah terlalu kaya untuk keberadaan dirinya. 

Tiada lelah dan rasa letih kakinya pun terus melangkah secara perlahan pasti. Menapaki krikil jalanan dan sesekali tersandung batu besar atau kaleng minuman bekas yang sudah pecok tiada bentuk. Sesekali nafasnya tersendat dan rasa haus mengelilingi rongga kerongkongannya. Namun Idrus tidak membawa makanan maupun minuman selain sandal bata, baju yang melekat di badan serta telpon genggam lawasnya. 

Saat dahaga kian mencekik tepat di ujung tenggorokannya, Idrus melihat bangku yang dirakit dari kayu bungkusan buah di sudut sebuah kios yang berpagar teralis. Otaknya pun mengajak tubuhnya untuk rehat sejenak dari keletihan kedua kakinya. Mungkin saja istirahat dapat menunda rasa dehidrasi yang memuncak ini. Idrus pun akhirnya mengalah dan menuju bangku itu. 

Sambil duduk di teras mungil yang dipenuhi oleh semen teracak dan tumpahan oli tepat di depan kios yang akan merubah rangkanya menjadi bengkel sepeda motor pada siang hari, Idrus pun kembali merenungi diri. Merenung untuk sesuatu yang takkan pernah Ia mengerti. Merenung pada sekumpulan serat otot dan saraf di tubuhnya yang mungkin memang telah bersiap menuju kembali. Kembali mengingat jejak langkah yang berkelana terarah global. 

Tubuhnya pun akhirnya membaca pada sebuah percakapan sunyi. Sebuah rangkaian diam yang hanya dimengerti oleh tubuhnya sendiri. Tubuh yang telah menemaninya selama tiga puluh lima tahun dan tujuh hari. Sebuah tubuh yang telah menjadi rumahnya sekaligus kuburan jiwanya. Akhirnya, Ia mulai memandangi kedua kakinya yang dirasa mengerang, membesar. Kedua kaki itu telah menjadi bola mata atas jiwa yang kian terasing. Keterasingan yang ternyata mampu menguliti dinding hati sekaligus otak mungil yang tersempil di rangka kepalanya. 

Apa yang kau rasakan saat ini, kakiku?”, tanya Idrus pada kedua kakinya. “Bicaralah... Aku tidak akan menghukummu lagi, tidak kali ini. Malam ini akan menjadi perayaan untukku dan bagimu atas kebersamaan kita selama di dunia yang buas. Aku sendiri tidak tahu dalam hitungan berapakah kita akan terpisahkan. Mungkin perpisahan ini adalah pisah yang menyakitkan, tapi aku yakin, kita akan bahagia dan sangat berterima kasih padanya. Aku pastikan itu, kakiku. Aku bersumpah...”, lanjut Idrus dalam tatapan bola mata yang mulai panas. 

Tak berselang lama, mata kanannya meneteskan airmata dalam intensitas yang sangat lambat dan berat. Setetes airmata yang menyesakan dada di antara ruas-ruas pipa darah dalam tubuhnya. Seketika empedu dan jantung seakan bersatu, terhenti untuk ketukan setengah detik. 

Tampak dua orang pria melintas di depan Idrus dalam wajah yang tak berparas dengan aroma mulut yang menciptakan gelembung imajinasi dari ramuan miras. Wajah-wajah yang melintas itu tampak tidak asing bagi Idrus. Ya, sorotan ekspresi wajah yang arogan dalam dendam penuh kepura-puraan. Seperti dua sosok hantu yang sedang melintas di atas panggung remang dengan kewibawaan atas topengnya masing-masing. 

Meski mereka memancarkan aroma yang pekat namun pancaran bayangan yang terurai berbeda. Gelap dan terang. Hitam dan putih. Seketika itu pula, Idrus terhentak. “Oh... Aku sebuah abu-abu!” Ya, mungkin Idrus pun menyadarinya sambil lalu, bahwa selama ini dirinya adalah sebuah wujud abu-abu. Abu-abu yang terlahir dalam dunia fana ini. Kefanaan yang dipenuhi oleh pelangi dan aneka bunga bangkai berwarna-warni. Tapi siapa yang mau peduli. Semua mahluk terlalu bising dan sibuk untuk membangun kota mati. Ah, aku ini terlahir di kota mati! 

*** 

Angin kembali menerpa Idrus. Tidak lagi dengan jemari yang lembut, dan juga tidak lagi dari arah belakang punggung yang telah bersiaga menanti. Hanya kali ini, angin lebih memilih tubuhnya, tepat di bagian depan dan tertancap di titik jantung yang tidak berisi adrenalin. 

Panah angin ini menancap tepat, lalu menampar dengan ribuan serpih debu dan sesaat kedua bola matanya menjadi gelap. Jantungnya mulai berdegup tidak teratur. Kedua bibirnya seakan terikat tali tambang dan membuat mulutnya kilu, berhenti menggumam tentang sejarah tubuh abu-abu. Malam dan angin kali ini terlalu banyak membuat percakapan pada ruas-ruas tubuhnya. 

Perlahan, tenang dan penuh pasti. Idrus semakin dipenuhi oleh rindu dan pilu ngeri. Satu puncak rasa takut yang tidak pernah terlintas dalam perjalanan dalma hidupnya selama ini. Sebuah benturan tentang rasa panik akan proses kematian, dan bukan rindu kematian yang berkepanjangan. Ia tidak siap menghadapi maut. Ia bahkan belum menabung untuk semua itu. 

Aku hilang arah... Kenapa aku menjadi buta pada fana?”, bisik hatinya pada logika. Lama perdebatan itu terjadi. Hingga akhirnya Idrus tak lagi dapat menahan langkah kakinya untuk kembali berjalan dan sesekali berlari kecil.

Namun, tepat di satu gang sempit yang hanya dapat dilewati oleh satu badan manusia dewasa, Idrus mengamuk. 

Ia mengambil benda apa pun yang tampak dan tergapai oleh tangannya sambil berteriak seperti seorang yang sedang kerasukan. Hingga akhirnya seluruh tubuhnya merasa kelelahan. Matanya mulai membias berkaca-kaca. Hatinya terasa begitu tertusuk oleh duri mungil yang tak dapat dilihat oleh mata. Perlahan air menetes di ujung bola matanya yang bundar menantang, dan hanya di satu bola mata saja. Saat tetesan kedua hendak mengaliri pipinya yang dipenuhi bulu halus, lengan kirinya merespon. Terhapus sudah airmatanya. 

Malam semakin sunyi meski kegaduhan menerpa waktu yang berjalan bersama Idrus. Meskipun kegaduhan fisiknya itu tidak membangunkan warga sekitar yang mungkin memang tersirap pulas dalam mimpi malam, Idrus masih terlalu sibuk dengan percakapan dalam kosongnya diri. Percakapan yang hanya terjadi tanpa bantuan dari orang lain. Bahkan mungkin jika orang lain tahu tentang risaunya, mereka hanya akan mencibir seperti biasa, menjadi hakim dadakan, lalu meninggalkannya tepat di mulut tong sampah publik. 

*** 

Idrus pun terdiam sejenak sebelum melanjutkan kakinya untuk kembali berjalan. Kali ini perjalanannya dimulai oleh kedua bola matanya. Kedua bola mata yang menangkap ruang kosong di antara jejeran rumah padat dengan pembatas sebuah pohon rambutan yang sangat rindang. Pada ruang kososng itu, ia melihat sebuah gundukan yang tidak terlalu besar meski samar, tampaklah kilauan besi rel kereta api yang gagah dingin menghadap ke wajah langit malam. 

Terlintas di otaknya untuk melangkahkan kedua kakinya ke arah rel kereta tersebut. Idrus pun berjalan menuju rel kereta itu dengan hati yang begitu ringan. Sebelum menyebrang, Ia mencoba menolehkan kepalanya ke segala arah untuk memastikan tidak ada orang yang melihat rencana gerakannya. Setelah semua dirasa aman, Ia pun dengan sigap, seakan dehidrasi dan letih tubuhnya hilang bersama pemandangan rel kereta api yang kini menjadi gelembung balon imajinasi dalam benaknya. 

Akhirnya Idrus berhadapan langsung dengan rel kereta api itu. Tanpa adanya batas yang berarti, matanya begitu berbinar dan hatinya seakan puas terpenuhi. Ia pun spontan menunduk lalu bersimpu dan mencium tanah basah yang tertumpuk bermacam krikil. Seperti ada suatu panjatan doa dalam sujud menuju kematian yang belum pasti. 

Setelah merenung, dan melihat sebuah cuplikan kilas balik hidupnya, Idrus pun berdiri dan melangkah tepat di tengah jalur rel kereta api di dekat stasiun Lenteng Agung. “Ah, sudah semustinya hidup adalah puasa, dan tak ada kebahagiaan yang abadi. Ya, pada jelang subuh aku mulai mengerti maksudMu. Maafkan diri...”, bisik Idrus pada jasadnya.

Kedua kakinya kini telah tegap dan menanam untuk bersiap menjemput laju kereta api pertama pagi ini. Matanya menatap pada cahaya putih kekuningan yang sangat terang dari arah berlawanan dan kejauhan pun kian mendekat. Mulutnya terkatup rapat dan tangannya sekali waktu menggenggam dada di bagian kiri yang mulai berdegup demikian hebatnya. 

Saat kereta hendak lewat melintas dan gerbong masinis berteriak memberi tanda bahwa lajunya cukup kencang. Bersamaan dengan ketegasan dari kerangka besi berat yang membawa orang-orang menuju aktivitas perkantorannya, spontan saja tubuh Idrus pun lekas melompat untuk menghindari hantaman kereta. Namun kelincahan tubuhnya tidak segesit laju kereta, saat separuh badannya berhasil keluar dari jalur rel kereta, kaki sebelah kirinya masih membayang di antaranya.

Bruk! Tubuhnya pun terhempas sekitar tiga langkah kaki ke luar jalur rel kereta api. Krak! Kepalanya membentur sebuah susunan besi bundar yang mungkin memang dipasang oleh warga pinggir rel sebagai pembatas. Seketika tubuhnya terjatuh dengan bentuk anatomi yang tak lagi simetris. Hening dan gigil menjelang subuh ini kian menusuk seluruh tubuh Idrus hingga menular pada seisi benda dan mahluk hidup yang berada di sekitar tubuhnya yang telah berpisah dengan rohnya sejak beberapa menit lalu. 

Sayup-sayup di kejauhan, embun berbaris menyusun lantai di atas daun dan atap rumah. Angin kembali menerpa tubuh Idrus yang terbalut adzan subuh. “Idrus, kamu ditunggu di ruang tamu.”, ucap Rafli. 

 

--------------------------------------

Jakarta, 18 September 2015 

 

Photo Koleksi Pribadi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun