Mohon tunggu...
Okty Budiati
Okty Budiati Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga yang gemar menari.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Epifil

23 Desember 2015   18:51 Diperbarui: 24 Desember 2015   02:03 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tampak dua orang pria melintas di depan Idrus dalam wajah yang tak berparas dengan aroma mulut yang menciptakan gelembung imajinasi dari ramuan miras. Wajah-wajah yang melintas itu tampak tidak asing bagi Idrus. Ya, sorotan ekspresi wajah yang arogan dalam dendam penuh kepura-puraan. Seperti dua sosok hantu yang sedang melintas di atas panggung remang dengan kewibawaan atas topengnya masing-masing. 

Meski mereka memancarkan aroma yang pekat namun pancaran bayangan yang terurai berbeda. Gelap dan terang. Hitam dan putih. Seketika itu pula, Idrus terhentak. “Oh... Aku sebuah abu-abu!” Ya, mungkin Idrus pun menyadarinya sambil lalu, bahwa selama ini dirinya adalah sebuah wujud abu-abu. Abu-abu yang terlahir dalam dunia fana ini. Kefanaan yang dipenuhi oleh pelangi dan aneka bunga bangkai berwarna-warni. Tapi siapa yang mau peduli. Semua mahluk terlalu bising dan sibuk untuk membangun kota mati. Ah, aku ini terlahir di kota mati! 

*** 

Angin kembali menerpa Idrus. Tidak lagi dengan jemari yang lembut, dan juga tidak lagi dari arah belakang punggung yang telah bersiaga menanti. Hanya kali ini, angin lebih memilih tubuhnya, tepat di bagian depan dan tertancap di titik jantung yang tidak berisi adrenalin. 

Panah angin ini menancap tepat, lalu menampar dengan ribuan serpih debu dan sesaat kedua bola matanya menjadi gelap. Jantungnya mulai berdegup tidak teratur. Kedua bibirnya seakan terikat tali tambang dan membuat mulutnya kilu, berhenti menggumam tentang sejarah tubuh abu-abu. Malam dan angin kali ini terlalu banyak membuat percakapan pada ruas-ruas tubuhnya. 

Perlahan, tenang dan penuh pasti. Idrus semakin dipenuhi oleh rindu dan pilu ngeri. Satu puncak rasa takut yang tidak pernah terlintas dalam perjalanan dalma hidupnya selama ini. Sebuah benturan tentang rasa panik akan proses kematian, dan bukan rindu kematian yang berkepanjangan. Ia tidak siap menghadapi maut. Ia bahkan belum menabung untuk semua itu. 

Aku hilang arah... Kenapa aku menjadi buta pada fana?”, bisik hatinya pada logika. Lama perdebatan itu terjadi. Hingga akhirnya Idrus tak lagi dapat menahan langkah kakinya untuk kembali berjalan dan sesekali berlari kecil.

Namun, tepat di satu gang sempit yang hanya dapat dilewati oleh satu badan manusia dewasa, Idrus mengamuk. 

Ia mengambil benda apa pun yang tampak dan tergapai oleh tangannya sambil berteriak seperti seorang yang sedang kerasukan. Hingga akhirnya seluruh tubuhnya merasa kelelahan. Matanya mulai membias berkaca-kaca. Hatinya terasa begitu tertusuk oleh duri mungil yang tak dapat dilihat oleh mata. Perlahan air menetes di ujung bola matanya yang bundar menantang, dan hanya di satu bola mata saja. Saat tetesan kedua hendak mengaliri pipinya yang dipenuhi bulu halus, lengan kirinya merespon. Terhapus sudah airmatanya. 

Malam semakin sunyi meski kegaduhan menerpa waktu yang berjalan bersama Idrus. Meskipun kegaduhan fisiknya itu tidak membangunkan warga sekitar yang mungkin memang tersirap pulas dalam mimpi malam, Idrus masih terlalu sibuk dengan percakapan dalam kosongnya diri. Percakapan yang hanya terjadi tanpa bantuan dari orang lain. Bahkan mungkin jika orang lain tahu tentang risaunya, mereka hanya akan mencibir seperti biasa, menjadi hakim dadakan, lalu meninggalkannya tepat di mulut tong sampah publik. 

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun