Mohon tunggu...
Okty Budiati
Okty Budiati Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga yang gemar menari.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Epifil

23 Desember 2015   18:51 Diperbarui: 24 Desember 2015   02:03 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Idrus pun terdiam sejenak sebelum melanjutkan kakinya untuk kembali berjalan. Kali ini perjalanannya dimulai oleh kedua bola matanya. Kedua bola mata yang menangkap ruang kosong di antara jejeran rumah padat dengan pembatas sebuah pohon rambutan yang sangat rindang. Pada ruang kososng itu, ia melihat sebuah gundukan yang tidak terlalu besar meski samar, tampaklah kilauan besi rel kereta api yang gagah dingin menghadap ke wajah langit malam. 

Terlintas di otaknya untuk melangkahkan kedua kakinya ke arah rel kereta tersebut. Idrus pun berjalan menuju rel kereta itu dengan hati yang begitu ringan. Sebelum menyebrang, Ia mencoba menolehkan kepalanya ke segala arah untuk memastikan tidak ada orang yang melihat rencana gerakannya. Setelah semua dirasa aman, Ia pun dengan sigap, seakan dehidrasi dan letih tubuhnya hilang bersama pemandangan rel kereta api yang kini menjadi gelembung balon imajinasi dalam benaknya. 

Akhirnya Idrus berhadapan langsung dengan rel kereta api itu. Tanpa adanya batas yang berarti, matanya begitu berbinar dan hatinya seakan puas terpenuhi. Ia pun spontan menunduk lalu bersimpu dan mencium tanah basah yang tertumpuk bermacam krikil. Seperti ada suatu panjatan doa dalam sujud menuju kematian yang belum pasti. 

Setelah merenung, dan melihat sebuah cuplikan kilas balik hidupnya, Idrus pun berdiri dan melangkah tepat di tengah jalur rel kereta api di dekat stasiun Lenteng Agung. “Ah, sudah semustinya hidup adalah puasa, dan tak ada kebahagiaan yang abadi. Ya, pada jelang subuh aku mulai mengerti maksudMu. Maafkan diri...”, bisik Idrus pada jasadnya.

Kedua kakinya kini telah tegap dan menanam untuk bersiap menjemput laju kereta api pertama pagi ini. Matanya menatap pada cahaya putih kekuningan yang sangat terang dari arah berlawanan dan kejauhan pun kian mendekat. Mulutnya terkatup rapat dan tangannya sekali waktu menggenggam dada di bagian kiri yang mulai berdegup demikian hebatnya. 

Saat kereta hendak lewat melintas dan gerbong masinis berteriak memberi tanda bahwa lajunya cukup kencang. Bersamaan dengan ketegasan dari kerangka besi berat yang membawa orang-orang menuju aktivitas perkantorannya, spontan saja tubuh Idrus pun lekas melompat untuk menghindari hantaman kereta. Namun kelincahan tubuhnya tidak segesit laju kereta, saat separuh badannya berhasil keluar dari jalur rel kereta, kaki sebelah kirinya masih membayang di antaranya.

Bruk! Tubuhnya pun terhempas sekitar tiga langkah kaki ke luar jalur rel kereta api. Krak! Kepalanya membentur sebuah susunan besi bundar yang mungkin memang dipasang oleh warga pinggir rel sebagai pembatas. Seketika tubuhnya terjatuh dengan bentuk anatomi yang tak lagi simetris. Hening dan gigil menjelang subuh ini kian menusuk seluruh tubuh Idrus hingga menular pada seisi benda dan mahluk hidup yang berada di sekitar tubuhnya yang telah berpisah dengan rohnya sejak beberapa menit lalu. 

Sayup-sayup di kejauhan, embun berbaris menyusun lantai di atas daun dan atap rumah. Angin kembali menerpa tubuh Idrus yang terbalut adzan subuh. “Idrus, kamu ditunggu di ruang tamu.”, ucap Rafli. 

 

--------------------------------------

Jakarta, 18 September 2015 

 

Photo Koleksi Pribadi 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun