Bagian kisah lain yang membuat saya menarik adalah kisah sedih dan kesepian yang dirasakan Iwan saat di New York. Tetapi saya juga menemukan kisah yang menyenangkan dan gembira dimana saat Iwan kembali ke Indonesia dan dapat berkumpul kembali bersama seluruh keluarganya. Tetapi semakin kita membaca kebelakang kita akan merasakan kesedihan dan semangat lagi dari Iwan. Benar –benar kisah yang membuat saya menjadi penasaran.
Cerita yang disajikan oleh penulis benar-benar tidak membosankan malah membuat penasaran. Menceritakan bagaimana dia lahir dari bapak yang hanya seorang sopir angkot dan hanya mengecap pendidikan sampai kelas 2 SMP. Sementara ibunya tidak bisa menyelesaikan sekolah di SD dan merupakan cermin kesederhanaan yang sempurna. Ke empat saudaranya adalah empat pilar kokoh. Ditengah kesulitan, mereka hanya bisa bermain dengan buku pelajaran dan mencari tambahan uang dengan berjualan pada saat puasa, mengecat boneka kayu di wirausaha kecil dekat rumah atau membuat tetangga berdagang dipasar sayur,. Dan pendidikanlah yang menghambat mereka menuju jalan keluar dari penderitaan. Tetapi cinta keluargalah yang akhirnya menyelamatkan semua.
Tetapi dari semua hal yang menginspirasi itu terdapat kekurangan didalamnya yaitu penggunaan bahasa asing seperti Bahasa Inggris yang tidak disisipi terjemahan Bahasa Indonesianya membuat pembaca yang kurang mengerti bahasa inggris menjadi bingung. Detail tulisan Iwan Setyawan menurut saya bagus. Ia menulis dengan begitu detail. Nama taman, Stasiun di New York. Bagaimana ia melukiskan keadaan dan sebagainya. Menurut saya, cerita buku ini sangatlah privat dan Iwan menguangkapkannya. Tak masalah ia menciptakan Tokoh rekaan, seorang anak kecil yang berpakain SD merah-putih sebagai tempat ia bercerita. Kutipan-kuipan penulis Rusia, Doestoevsky menurut saya terlalu banyak dan sangat mengganggu.
Tubuh/isi
- Sinopsis
Hari pertama Iwan tiba di New York disambut oleh dua preman yang menodongnya di Stasiun Fleetwood saat hendak melihat pesta kembang api petama kalinya di New York. Saat itu juga, ia melihat seorang anak kecil berbaju merah putih melewatinya dan bersembunyi. Anak kecil itu pun mengikutinya pulang setelah dua preman tadi kabur karena ada seseorag yang datang berteriak. Anak kecil ini kemudian akan terus menemani iwan setiap hari.
Iwan hanyalah anak dari keluarga miskin di Batu, Malang, Jawa Timur. Keluarganya terdiri dari ibu, bapak, iwan dan 4 saudara permpuannya, yaitu Mba Isa, Mba Inan, Rini, dan Mira. Bapaknya hanyalah seorang supir angkut dan truk di Batu. Berkat bapaknya lah, iwan beserta keluarganya dapat menyelesaikan sekolah hingga ke jenjang Universitas. Bapak yang awalnya memiliki sebuah mobil angkot, rela menjualnya untuk membayar biaya kuliah iwan di IPB.
Tentu saja yang paling besar adalah jasa sang Ibu. Ibu Ngatinah yang membangun ide untuk menabung, mengingatkan kami kalau perlu ke dokter, kalau mobil bisa rusak sewaktu-waktu, kalau kami butuh makanan bergizi. Ibulah yang mengatur berapa liter nasi yang harus di masak tanpa tersisa keesokan harinya, kapan kami harus makan daging, ayam atau tempe. Ibu yang tahu barang apa harus digadaikan untuk membeli sepatu baru unuk ananknya dan mengatur pembayaran uang sekolah kami. Ibulah yang membelah satu telur dadaruntuk dua atau tiga orang anaknya. Ibu lah yang selalu menyembunyikan tempe goring supaya tidak dihabiskan salah satu anaknya. Kesederhanaan dan kebijakan Ibu yang menyelamatkan dan membangun rumah kecil mereka.
Mba Inan, kakak perempuan kedua Iwan mengajarkan iwan dan adik-adiknya untuk menjaga kebersihan dan yang membuat iwan tertarik dengan dunia teater di SMA. Mba Inan adalah seorang yang aktif. Sejak kecil ,mba Inan rajin bekerja untuk membantu meringankan perekonomian Bapak dan Ibu dengan berjualan makanan saat bulan puasa maupun menjajakannya dipasar. Di seklah pun Mba Inan selalu mengikuti berbagai lomba, dari yang cerdas cermat hingga membaca puisi. Mba Inan yang rajin mengaji ini saat SMA aktif di OSIS dan mengikuti kegiatan teater. Saat kuliah di jurusan Perikanan Universitas Brawijaya mba inan pun ikut serta dalam lomba debat P4 dan memenangkan hingga ke tingkat Nasional dengan memberi kebanggan serta keringanan kepada orang tua mereka dalam membayar kuliahnya. Begitu pula dengan Rini dan mira yang menjadi penyemangat Iwan dalam belajar dan menjalani hidup, memenuhi impiannya, yaitu memiliki sebuah kamar sendiri.
Saat SMA, Iwan membuka diri untuk mencoba hal baru, yaitu teater dan puisi yang selanjutnya menjadi salah satu kesukaannya. Ia mudah bergaul dengan banyak orang, dan bekerja menambah penghasilan melalui privat seperti yang dilakukan mba Rini. Ia pun terus berusaha agar bisa tembus PMDK IPB jurusan Statistika, yang dikatakan jurusan ii sangat sulit untuk anak dari desa. Iwan membuktikan bahwa hal tersebut salah bahwa dengan kerja keras akan melepaskan ketakutan akan hasil yang didapat, kita mampu melewati hal tersulit seperti masuk jurusan Statistika di IPB. Begitu pula dengan nasihat Ibu yang tidak pernak dilupakan Iwan “Coba dulu, belajar yang rajin, jangan takut”
Di SMA pula, ia mengenal Nicolas Auclair, seorang pelajar kanada yang mengikuti program pertukaran antar pelajar ke sekolahnya. Iwan mulai belajar bahasa inggris dari Nico dan berteman dengan Nico. Awalnya banyak teman-teman iwan tidak mendekati Nico karena ia seorang bule, tetapi iwan-lah yang mengajak Nico belajar dan bermain bersama dibawah Gunung Panderman.
Keinginan iwan saat melintasi Jalan Sudirman adalah menjadi “pegawai berdasi” terwujudnya juga karena dukungan Ibu, Bapak dan saudara-saudaranya. Begitu pula dengan keputusannyamenerima pekerjaan di New York, yang membawanya menjadi seorang Direktur Internal Client Management di Nielsen Cunsumer Research, New York salah satu keinginan untuk melihat dunia luar seperti kak Inan yang pernah ke Jepang. Ia berhasil memiliki sebuah kamar untuknya, yaitu sebuah apartemen setelah ia bekerja selama 10 tahun di New York.
Kisah cinta Iwan pun tidak berakhir bahagia. Pertama kalinya ia jatuh cinta pada seorang wanita Amerika bernama Audrey, yang memiliki hobi yang sama dengannya yaitu yoga. Mereka bertemu di kelas yoga yang sama, dan saat itu mereka hanya saling bertatapan. Kemudian, sebuah keajaiban, mereka bertemu di Barneys, sebuah apartemen departemen store di New York, dan iwan pun memberanikan diri untuk menyapanya dan memberikan kartu namanya. Perkenalan mereka hanya singkat, dan hubungan mereka diakhiri oleh pertanyaaan dari orang tua Audrey bahwa mereka berbeda keyakinan. Dimusim gugur ke-9, Audrey menikah dan mereka masih berteman dengan baik.
- Keunggulan