Mohon tunggu...
kakak irbah
kakak irbah Mohon Tunggu... Freelancer - content writer

Hai, sifat introvert membawaku senang dengan dunia menulis. Semoga karyaku bisa bermanfaat!

Selanjutnya

Tutup

Financial

PHK dan Daya Beli Anjlok: Ekonomi Indonesia Terjebak dalam Lingkaran Deflasi?

15 Oktober 2024   12:57 Diperbarui: 15 Oktober 2024   13:02 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Indonesia resmi mencatat deflasi untuk bulan kelima berturut-turut pada September 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan deflasi sebesar 0,12% (month to month), yang menjadi deflasi terdalam dalam lima tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tren ini dimulai sejak Mei dan menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat yang semakin parah.

"Secara historis, deflasi September 2024 merupakan yang terdalam dalam lima tahun terakhir, dengan tingkat deflasi 0,12%," ujar Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam konferensi pers di Jakarta (01/10). Deflasi pada September ini bahkan lebih buruk dibandingkan Agustus, yang sempat membaik ke level 0,03%.


Deflasi Beruntun dan Dampak Daya Beli

Tren deflasi tahunan 2024 dimulai pada Mei dengan angka 0,03%, semakin dalam di Juni menjadi 0,08%, dan mencapai titik terendah pada Juli dengan 0,18%. Meski pada Agustus terjadi sedikit perbaikan, ekonomi kembali terpuruk pada September. Amalia menjelaskan bahwa penurunan harga komoditas bergejolak menjadi salah satu faktor utama pemicu deflasi ini.

Deflasi yang terjadi tak hanya sekadar angka. Kondisi ini mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat, terutama kelas pekerja, yang terkena dampak langsung dari pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri. Ketika pekerja kehilangan pendapatan dan masyarakat tidak memiliki daya beli, upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi semakin sulit.

PHK dan Sepinya Pelaku Usaha Kecil

Banyak usaha kecil dan menengah (UMKM) kini berada di ujung tanduk. Eli Kamilah, pemilik kedai kopi di Subang, Jawa Barat, mengaku usahanya mulai sepi pembeli selama beberapa pekan terakhir. "Dulu pelanggan ramai datang, tapi sekarang hanya segelintir orang yang mampir," katanya. Situasi ini menggambarkan betapa seriusnya dampak deflasi terhadap ekonomi riil.

Mustahil Mendorong Konsumsi dalam Kondisi Sulit

Bank Indonesia mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsi demi menstabilkan perekonomian dan mencapai target pertumbuhan di atas 5%. Namun, dengan situasi PHK massal dan lemahnya daya beli, harapan ini terasa sulit terwujud. Muhammad Andri Perdana, ekonom dari Bright Institute, menyebut imbauan ini sebagai langkah yang tidak realistis.

"Bagaimana mungkin masyarakat diminta untuk belanja lebih banyak kalau mereka bahkan tidak punya cukup uang? Deflasi berkelanjutan ini menandakan masyarakat kelas pekerja sudah kehabisan daya untuk berbelanja," tegas Andri.

Lingkaran Deflasi dan Tantangan Ekonomi

Deflasi bukan sekadar penurunan harga, tetapi juga sinyal bahwa konsumsi dan produksi melambat. Jika tidak segera diatasi, Indonesia bisa terjebak dalam lingkaran deflasi, di mana penurunan harga memicu rendahnya konsumsi, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan ekonomi dan memperburuk situasi pasar tenaga kerja.

Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk memperbaiki daya beli masyarakat dan menekan angka PHK. Tanpa intervensi yang efektif, deflasi bisa menjadi ancaman serius bagi perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.

Akar Masalah Deflasi: Kapitalisme dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia

Buruknya kondisi ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi landasan kebijakan ekonomi negeri ini. Kapitalisme, yang menitikberatkan pada keuntungan dan peran pasar, telah menciptakan berbagai permasalahan struktural dalam perekonomian, termasuk deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut. Berikut beberapa faktor penyebabnya:

1. Negara Hanya Berperan sebagai Regulator, Bukan Pengurus Utama

Dalam sistem kapitalisme, pemerintah tidak berperan sebagai pengurus kebutuhan rakyat, melainkan hanya sebagai regulator. Pembukaan lapangan kerja, misalnya, bergantung pada sektor swasta. Akibatnya, regulasi dibuat agar pekerja dapat menerima upah sesuai pasar, bukan kebutuhan hidup layak.

Namun, perusahaan yang fokus pada profit tidak berkepentingan untuk menyejahterakan pekerja. Upah dianggap sebagai biaya produksi, sehingga ketika profit menurun, PHK sering menjadi jalan pintas.

2. Kebijakan Dikendalikan Pemilik Modal

Pemerintahan dalam sistem kapitalisme cenderung tunduk pada kepentingan pemodal. Kebijakan yang dihasilkan sering kali menguntungkan perusahaan besar tetapi merugikan pekerja. Contoh konkret adalah pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang kontroversial dan mendapat penolakan publik karena dianggap merugikan hak pekerja demi kepentingan korporasi.

3. Liberalisasi dan Privatisasi SDA

Kapitalisme mendorong liberalisasi dan privatisasi sumber daya alam (SDA). SDA strategis seperti tambang, batubara, dan migas dikelola oleh pihak swasta. Akibatnya, keuntungan dari SDA lebih banyak dinikmati oleh segelintir perusahaan, sedangkan negara hanya memperoleh pajak sebagai pendapatan sisa. Hal ini mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

4. Beban Pajak yang Berat bagi Rakyat

Negara kapitalis sangat bergantung pada pajak untuk menopang kegiatan pemerintahan. Beban pajak seperti PPN, PPh, PBB, dan cukai semakin memberatkan masyarakat yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Hal ini semakin menekan daya beli rakyat dan memperparah situasi deflasi.

Fenomena deflasi yang disertai penurunan daya beli menunjukkan bahwa sistem kapitalisme telah gagal memberikan kesejahteraan. Fokus pada profit dan privatisasi membuat rakyat dan pekerja terpinggirkan. Oleh karena itu, sudah saatnya sistem ekonomi kapitalisme ini dicampakkan dan digantikan dengan sistem ekonomi Islam, yang lebih berkeadilan dan menyejahterakan umat secara menyeluruh.

Islam Menjawab Tantangan Deflasi: Jaminan Kesejahteraan Ekonomi dalam Naungan Syariat

Sistem ekonomi Islam menawarkan solusi konkret dalam menghadapi tantangan deflasi dan penurunan daya beli yang sedang melanda. Dengan mekanisme yang berlandaskan syariat, Islam memastikan kesejahteraan ekonomi yang berkelanjutan bagi seluruh rakyat, berikut caranya:

1. Negara sebagai Pengurus Utama Urusan Umat

Berbeda dengan sistem kapitalisme, negara Islam berperan sentral dalam memastikan setiap laki-laki bekerja untuk memenuhi kewajiban nafkah. Pemerintah tidak bergantung pada sektor swasta untuk membuka lapangan kerja. Pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang strategis berada di bawah kendali negara, sehingga lapangan pekerjaan terbuka luas dan ekonomi bergerak dinamis.

2. Ekonomi Independen, Bebas Utang dan Kendali Asing

Sistem Islam melarang ketergantungan pada utang dan intervensi asing. Kebijakan ekonomi difokuskan pada kesejahteraan umat. Dengan lingkungan bisnis yang kondusif dan aturan yang adil, rakyat dapat bekerja dengan tenang dan menerima upah yang layak.

3. Sumber Pemasukan yang Melimpah

Negara mendapatkan pemasukan dari zakat, fai, kharaj, dan pengelolaan kepemilikan umum. Dengan distribusi pendapatan yang merata dan daya beli rakyat yang tinggi, perekonomian berjalan dengan sehat dan kebutuhan pokok rakyat terpenuhi.

4. Santunan bagi Keluarga Tidak Mampu

Negara memberikan bantuan kepada keluarga miskin yang tidak memiliki kepala rumah tangga bekerja atau memiliki penghasilan yang tidak mencukupi. Bantuan berupa kebutuhan pokok ini diberikan hingga keluarga tersebut mandiri.

5. Jaminan Kebutuhan Pokok dan Layanan Publik

Islam tidak hanya menjamin pangan, tetapi juga sandang dan papan. Jika rakyat tidak mampu memenuhi kebutuhannya, negara akan membantu. Layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara dan diberikan secara gratis. Baitulmal yang kuat menjamin seluruh kebutuhan ini tanpa campur tangan swasta.

Masalah deflasi, inflasi, dan berbagai penyakit ekonomi hanya bisa teratasi dengan penerapan sistem ekonomi Islam secara kafah. Penerapan syariat di bawah naungan Khilafah akan memastikan kesejahteraan dan keadilan bagi umat. Kini saatnya kaum muslimin berjuang mewujudkan kembali kehidupan Islam dengan mendukung penegakan syariat dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiah. Wallahu a'lam bishawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun