Mohon tunggu...
Noviaji Joko Priono
Noviaji Joko Priono Mohon Tunggu... Pelajar -

Keturunan Jawa yang Lahir dan besar di Sampit, Kalimantan Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Menjadi Saksi Tragedi Sampit 18 Februari 2001

18 Februari 2012   08:50 Diperbarui: 4 April 2017   18:21 257061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_161858" align="aligncenter" width="640" caption="Dok: Tedy, teman dari temannya teman saya M. Syaiful F. *hehehe  (Selamat Datang di Sampit)"][/caption]

Tragedi yang tak telah merenggut lebih dari 200 nyawa manusia telah terjadi di kotaku. Sampit nama kotaku, sebuah kota yang menjadi ibukota dari Kabupaten Kotawaringin Timur, salah satu dari 14 kabupaen/kota yang ada di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Siapa pun tak ada yang menginginkan tragedi ini terjadi di kotaku yang dulunya indah dan bersih karena sempat meraih penghargaan adipura.

Saat itu aku baru berumur 8 tahun 2 bulan, tepatnya masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Tahun 2001 baru saja melewati bulan pertamanya Januari dan semua masih sedia kala. Namun, semua berubah ketika Minggu, 18 Februari 2001 menjadi awal saat dimana kotaku memilki sejarah yang kelam. Bukan maksudku untuk memicu kembali tragedi tersebut, hanya ingin berbagai pengalaman. Berharap pengalaman ini nantinya menjadi pelajaran berharga anak cucu agar tidak akan pernah lagi terjadi tragedi semacam ini, baik di Sampit maupun di wilayah lainnya. Aamiin

*** Minggu, 18 Februari 2001 aku bersama ayahku saat itu sedang melakukan kerja bakti memberihkan pekarangan rumah. Kebetulan rumput dihalaman depan rumah sudah mulai tinggi. Kemudian kerja bakti terhenti ketika ayahku melihat kepulan asap hitam dari arah selatan yang tak terlalu jauh dari rumahku. Ku perkirakan jaraknya antara 1-2 km dan kalau menggunakan motor dalam waktu 5 menit dengan kecepatan 40 km/jam pun pasti sudah sampai.

"bremm.. bremm.. "

Ayahku berusaha menghidupkan motor tuanya. Kemudian aku bantu dorong barulah motor itu benar-benar hidup. Ayahku kala itu mengajakku untuk melihat lokasi kebakaran tersebut. Ya, akhirnya kami berdua pergi dengan segera bahkan karena buru-buru ayahku tidak sempat lagi memakai alas kaki. Belum sampai di lokasi kebakaran, kami sudah di minta berbelok oleh orang-orang bersenjata tajam.

"BELOK PAK, BELOK PAK, ADA KERUSUHAN" teriak orang itu kearah kami.

Dengan sigap, ayahku langsung berbelok dan kembali tancap gas. Untungnya kami di minta berbelok, coba kalau sudah sampai tempat kebakaran, bisa dibayangkan mungkin tulisan ini tak akan pernah rekan-rekan baca.

Ternyata yang terbakar itu adalah rumah dari orang tua tetanggaku dari suku dayak. Aku sering berlatih bermain badminton di jalan depan rumah beliau. Ya, beliaulah yang mengajariku bermain badminton setiap sore hari jika tidak ada kegiatan lain. Menurut kabar yang saya peroleh, dirumah orang tua pelatihku ada sedikit konflik antara suku dayak dan Madura yang menyebabkan rumahnya menjadi korban amukan yang berujung pada aksi pembakaran. Untuk kronolgisnya bisa kalian baca di berbagai artikel yang pada umumnya kontennta sama dan entah awalmula artikel darimana? Dan saya memberikan link ini.

***

Senin, 19 Februari 2001 kejadian memang belum memanas namun hari itu aku tidak pergi ke sekolah, hanya Ayahku yang pergi ke kantor. Kebetulan Ayahku setiap pagi memang harus ke kantor karena ayahku yang pegang kunci kantor. Baru jam 09.00 WIB ayahku sudah kembali ke rumah, dan bilang kalau di kota sepi. Ada juga cerita dari Bapak Yunius Linga, guru bahasa Indonesiaku saat di SMA yang bercerita pengalaman beliau saat pergi mengajar saat hari Senin.

Ketika itu beliau berangkat dengan menggunakan sepeda motor Alfa. Motor keluaran lama yang tarikannya sangat lemah. Senin, 19 Februari 2001 ternyata dari jl. Jend Sudirman km 5 beliau berangkat ke sekolah hendak mengajar. Setiba di km 1 tiba-tiba saja beliau di stop oleh orang.

"Pak mau kemana?" kata orang itu

"Mau ngajar" kata guruku dengan logat maduranya padahal bukan orang Madura.

Seketika bicara seperti itu, langsung ada banyak orang keluar dari semak-semak dan orang yang ditemui guruku langsung menyuruh untuk putar baliL. Menurut guruku perasaan saat itu sudah campur aduk karena dengan mata kepala sendiri menyaksikan tombak melesat kesamping tubuhnya, dan senjata-senjata lainnya yang berusaha mengenai tubuh beliau. Wah, pengalaman yang tak pernah terlupakan bersama alfa tutur beliau. Bisa dibayangkan saja ketika tombak yang dilemparkan mengenai tubuh beliau, maka cerita ini pun tak akan pernah tersampaikan. Alhamdulillah

***

Selasa, 20 Februari 2001 suasana di Sampit semakin mencekam. Toko-toko tutup, tak ada lagi bibi/paman sayur berjualan keliling seperti biasanya. Menurut pejualan sayur didekat rumahku pasar sepi dan tidak ada orang jualan. Tapi kalau tidak salah, ayahku membawa banyak bahan makanan saat itu untuk persediaan nantinya kalau sewaktu-waktu konflik ini akan lama. Kebetulan Ayahku ada kenalan dengan sebuah toko langganan, walau tutup bisalah ketok-ketok kedalam rumah untuk belanja. Oh iya, warga Madura yang berada di sekitar rumahku mulai mengungsi ke kantor PEMDA, rumah jabatan Bupati dan sekitar POLRES Kotim. Kami yang menjadi tetangga hanya bisa bersalaman dengan mereka dan sedikit memberikan bantuan dana kepada mereka dalam bentuk uang. Tak banyak, tapi berharap dapat membantu nantinya.

Mulai saat itu, Sampit benar-benar seperti menjadi kota mati, listrik mulai sering padam. Selain itu, orang-orang dewasa mulai melakukan jaga malam lagi. Mungkin diluar komplek perumahan ku seperti kota mati, namun di dalam komplek perumahanku aku merasakan keramaian. Ya, beberapa mala mini aku makan jagung bakar, singking bakar dan tidur pun larut malam, serta yang paling disukai tidak ada belajar malam. hehehehe

***

Rabu, 21 Februari 2001 aku bersama keluarga besarku akhirnya juga pergi mengungi. Walau kami bukan dari suku yang secara langsung bertikai (dayak dan Madura) karena orang tuaku asli orang Malang, Jawa Timur. Kami pergi ke rumah kerabat ayahku yang berada di sekitar kantor PEMDA juga rumahnya. Selama dalam perjalanan menuju tempat mengungsi aku selalu membaca surat Al Fatihah dan yang pasti selalu memegang leher.*takut karena cerita orang-orang tentang pemenggalan kepala

***

Kamis, 22 Februari 2011 akhirnya kami kembali ke rumah lagi. Dan saat itu sudah mulai terjadi kebakaran berbagai fasilitas baik milik orang Dayak atau Madura. Kebakaran rumah orang dayak pada umumnya terjadi pada hari awal dan setelah tanggal 20 Februari 2001 kebakaran mulai banyak pada rumah orang-orang Madura. Mulai saat itu juga aku mendengar bahwa orang dayak pedalaman kelua dan datang ke Sampit. Sedikit bocoran, yang ku tahu orang-orang tersebut kebal dengan senjata tajam. Bahkan sering disebut-sebut Panglima Burung sebagai pemimpin pasukan mereka bisa terbang dan sebagainya. Mulai saat itu, nama Panglima Burung mulai dikenal oleh masyarakat Sampit sebagai seorang yang sakti. Ada juga panglima kumbang dan panglima-panglima lainnya.

Kebakaran , pengrusakan rumah, dan pembunuhan terjadi dimana-mana. Tak heran, hampir setiap hari aku melihat bara api dan kepulan asap yang melambung ke udara. Hari-hari yang ku dengar adalah adanya bunyi sirene ambulans dan police serta suara khas panggilan suku dayak. "Wo...wo...wo...wo..." membunyikan mulut dengan suara Wo kemudian menepuk-nepuk bibir dengan telapak tangan. Mulai saat itu, masyarakat Sampit pun tak heran dengan kebakaran bahkan kebakaran menjadi tontonan layaknya menonton kembang api saat pergantian tahun. Usiaku yang masih kecil membuatku hanya bisa mendengar dari cerita orang dewasa dan melihat tapi tak dapat mendekat dengan para pejuang suku dayak. Kurang lebih dua hari sejak tanggal 18 Februari suku Madura menguasai Sampit dan selanjutnya Sampit dikuasai kembali oleh suku Dayak.

Kantor PEMDA yang menjadi tempat pengungsian sudah tak berbentuk lagi rasanya, dihalaman, didalam kantor dan selagi ada ruang kosong sudah di jejali oleh pengungsi. Listrik pun akhirnya benar-benar padam, Air Pam warnanya mulai kemerahan yang menurut kabar ada sebagai mayat di lemparkan kedalam tangki. Akhirnya masyarakat kembali ke air sumur lagi untuk memenuhi kebutuhannya. Kasihannya lagi pengungsi mengalami kehausan dan kelaparan. Barang-barang yang miliki pun dengan berat hati dijual dan tentunya berapapun harganya mereka bersedia melepasnya. Ayahku pun mendapatkan dua sepeda , satu untukku dan yang satu lagi untuk kakakku. Sebaliknya, pengungsi tercekik karena ada sebagian penjual makanan dan minuman menjatuhkan harga yang cukup tinggi kepada pengungsi. Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah mungkin kata yang tepat untuk pengungsi. Bayangkan saja, air minum yang dibungkus dengan plastik dengan volume mungkin tak sampai 1 liter dihargai Rp5000 dan makanan bungkus yang lauknya tempe dan tahu diharga Rp10.000.

***

Selama tragedi itu, ada beberapa keunikan yang masih saya ingat.

1. Menurut cerita, suku dayak dapat mencium bau badan suku Madura, sehingga tidak salah sasaran dalam penyerangan.

2. Warga non Madura yang tidak mengungsi diminta untuk memasangkan tali/kain berwarna merah dan kuning di tiang-tiang rumahnya yang ditambah juga dengan daun sawang, dengan tanda bahwa itu rumah bukan dari suku Madura.

3. Wah, dirumah-rumah lain pun mulai banyak tulisan "ULUH ITAH DAYAK" atau artinya saya orang dayak dan ada juga "ULUH ITAH JAWA" serta tulisan-tulisan sejenisnya di dinding-dinding rumah mereka karena khawatir jadi sasaran pembakaran rumah.

4. Orang tua diminta untuk mengoleskan kapur sirih ke dahi anak-anaknya tujuannya saya kurang tahu.

5. Ketika malam, orang tua juga diminta untuk memberikan gula merah kepada anak-anaknya agar di emut si anak tujuannya saya juga kurang tahu.

6. Anehnya, api yang membakar rumah orang Madura oleh suku dayak tidak mengenail rumah dari suku lain walau jaraknya berdekatan.

7. Menurut cerita, Mandau (senjata suku dayak) bisa terbang dan memangsa orang Madura yang melakukan perlawanan

8. Menurut cerita, jika orang dayak sudah meniupkan sumpitnya, PINTU pun akan tembus

9. Suku dayak banyak yang kebal dengan senjata tajam atau api

Selama tragedi itu sungguh aku tidak pernah menonton tv, dan tidur rata-rata hanya 3 saja, padahal aku masih duduk di kelas 3 SD. Itu karena kau berbaur dengan bapak-bapak yang ikut berjaga malam sambil menikmati jagung dan singkong bakar hasil mencabut dari lading suku Madura.*gak baik Tapi ya, ditempat orang Madura yang sudah dekat dengan kami-kami warga tadi. Seluruh ladangnya sudah ditinggalkan, dan menyisakan hasil tanaman-tanaman yang bisa dijadikan untuk bahan makanan berjaga malam.

Tragedi itu pun berakhir, orang-orang Madura kembali ke Pulau Madura dan suku dayak yang sering disebut orang pedalaman kembali ke daerahnya masing-masing. Tiba saatnya masuk sekolah. Semigga masih di antar orang tua dan untuk selanjtunya saya pun ke sekolah dengan bersepada, kebetulan ada beli sepeda dengan orang Madura kala itu. Hehehe... Ketika masuk sekolah, sepiiiiiiiiiii, teman-teman tersisa 14 siswa saja rasanya. Bahkan SD tetangga hanya tersisa 7 siswa. Wow, hingga akhirnya sekolah kami digabung menjadi satu. Cukup signifikan, peringkat kelas saya langsung melejit ke tiga besar. Hehehe

Untuk mengenang peristiwa tersebut sebagai bentuk perdamaian, Menurut guru sejarah saya di SMAN 1 Sampit dibuatlah Tugu Perdamaian sebagai tanda perdamaian antara kedua suku. Ya, tugu tersebut ditempatkan di bundaran Jl. Jend Sudirman Sampit-Pangkalan bun km 3. Ada pula Makam Korban Tragedi Sampit yang mungkin sudah tak ada lagi keluarga-keluarganya. Sampit menjadi kota mati untuk beberapa saat. Saya bersama orang-orang yang berada di Sampit saat itu hanya bisa menjadi saksi tragedi berdarah tersebut dan berharap tak akan pernah ada lagi tragedi semacam itu.  Sekarang tragedi itu tepat 11 tahun dan senang rasanya bisa melihat SAMPIT aman kembali.

[caption id="attachment_161859" align="aligncenter" width="530" caption="Dok :Kelana Nusantara (Tugu Perdamaian Tragedi Sampit)"]

1329529613711217940
1329529613711217940
[/caption]

Di zaman pembangunan bangsa-bangsa ini telah muncul kemungkinannya, keharusan akan suatu "Dunia" yang bebas dari ketakutan, bebas dari kekurangan, bebas dari penindasan-penindasan Nasional. [Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960] - BUNG KARNO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun