Mohon tunggu...
Noviaji Joko Priono
Noviaji Joko Priono Mohon Tunggu... Pelajar -

Keturunan Jawa yang Lahir dan besar di Sampit, Kalimantan Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Menjadi Saksi Tragedi Sampit 18 Februari 2001

18 Februari 2012   08:50 Diperbarui: 4 April 2017   18:21 257061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebakaran , pengrusakan rumah, dan pembunuhan terjadi dimana-mana. Tak heran, hampir setiap hari aku melihat bara api dan kepulan asap yang melambung ke udara. Hari-hari yang ku dengar adalah adanya bunyi sirene ambulans dan police serta suara khas panggilan suku dayak. "Wo...wo...wo...wo..." membunyikan mulut dengan suara Wo kemudian menepuk-nepuk bibir dengan telapak tangan. Mulai saat itu, masyarakat Sampit pun tak heran dengan kebakaran bahkan kebakaran menjadi tontonan layaknya menonton kembang api saat pergantian tahun. Usiaku yang masih kecil membuatku hanya bisa mendengar dari cerita orang dewasa dan melihat tapi tak dapat mendekat dengan para pejuang suku dayak. Kurang lebih dua hari sejak tanggal 18 Februari suku Madura menguasai Sampit dan selanjutnya Sampit dikuasai kembali oleh suku Dayak.

Kantor PEMDA yang menjadi tempat pengungsian sudah tak berbentuk lagi rasanya, dihalaman, didalam kantor dan selagi ada ruang kosong sudah di jejali oleh pengungsi. Listrik pun akhirnya benar-benar padam, Air Pam warnanya mulai kemerahan yang menurut kabar ada sebagai mayat di lemparkan kedalam tangki. Akhirnya masyarakat kembali ke air sumur lagi untuk memenuhi kebutuhannya. Kasihannya lagi pengungsi mengalami kehausan dan kelaparan. Barang-barang yang miliki pun dengan berat hati dijual dan tentunya berapapun harganya mereka bersedia melepasnya. Ayahku pun mendapatkan dua sepeda , satu untukku dan yang satu lagi untuk kakakku. Sebaliknya, pengungsi tercekik karena ada sebagian penjual makanan dan minuman menjatuhkan harga yang cukup tinggi kepada pengungsi. Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah mungkin kata yang tepat untuk pengungsi. Bayangkan saja, air minum yang dibungkus dengan plastik dengan volume mungkin tak sampai 1 liter dihargai Rp5000 dan makanan bungkus yang lauknya tempe dan tahu diharga Rp10.000.

***

Selama tragedi itu, ada beberapa keunikan yang masih saya ingat.

1. Menurut cerita, suku dayak dapat mencium bau badan suku Madura, sehingga tidak salah sasaran dalam penyerangan.

2. Warga non Madura yang tidak mengungsi diminta untuk memasangkan tali/kain berwarna merah dan kuning di tiang-tiang rumahnya yang ditambah juga dengan daun sawang, dengan tanda bahwa itu rumah bukan dari suku Madura.

3. Wah, dirumah-rumah lain pun mulai banyak tulisan "ULUH ITAH DAYAK" atau artinya saya orang dayak dan ada juga "ULUH ITAH JAWA" serta tulisan-tulisan sejenisnya di dinding-dinding rumah mereka karena khawatir jadi sasaran pembakaran rumah.

4. Orang tua diminta untuk mengoleskan kapur sirih ke dahi anak-anaknya tujuannya saya kurang tahu.

5. Ketika malam, orang tua juga diminta untuk memberikan gula merah kepada anak-anaknya agar di emut si anak tujuannya saya juga kurang tahu.

6. Anehnya, api yang membakar rumah orang Madura oleh suku dayak tidak mengenail rumah dari suku lain walau jaraknya berdekatan.

7. Menurut cerita, Mandau (senjata suku dayak) bisa terbang dan memangsa orang Madura yang melakukan perlawanan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun