Ketika itu beliau berangkat dengan menggunakan sepeda motor Alfa. Motor keluaran lama yang tarikannya sangat lemah. Senin, 19 Februari 2001 ternyata dari jl. Jend Sudirman km 5 beliau berangkat ke sekolah hendak mengajar. Setiba di km 1 tiba-tiba saja beliau di stop oleh orang.
"Pak mau kemana?" kata orang itu
"Mau ngajar" kata guruku dengan logat maduranya padahal bukan orang Madura.
Seketika bicara seperti itu, langsung ada banyak orang keluar dari semak-semak dan orang yang ditemui guruku langsung menyuruh untuk putar baliL. Menurut guruku perasaan saat itu sudah campur aduk karena dengan mata kepala sendiri menyaksikan tombak melesat kesamping tubuhnya, dan senjata-senjata lainnya yang berusaha mengenai tubuh beliau. Wah, pengalaman yang tak pernah terlupakan bersama alfa tutur beliau. Bisa dibayangkan saja ketika tombak yang dilemparkan mengenai tubuh beliau, maka cerita ini pun tak akan pernah tersampaikan. Alhamdulillah
***
Selasa, 20 Februari 2001 suasana di Sampit semakin mencekam. Toko-toko tutup, tak ada lagi bibi/paman sayur berjualan keliling seperti biasanya. Menurut pejualan sayur didekat rumahku pasar sepi dan tidak ada orang jualan. Tapi kalau tidak salah, ayahku membawa banyak bahan makanan saat itu untuk persediaan nantinya kalau sewaktu-waktu konflik ini akan lama. Kebetulan Ayahku ada kenalan dengan sebuah toko langganan, walau tutup bisalah ketok-ketok kedalam rumah untuk belanja. Oh iya, warga Madura yang berada di sekitar rumahku mulai mengungsi ke kantor PEMDA, rumah jabatan Bupati dan sekitar POLRES Kotim. Kami yang menjadi tetangga hanya bisa bersalaman dengan mereka dan sedikit memberikan bantuan dana kepada mereka dalam bentuk uang. Tak banyak, tapi berharap dapat membantu nantinya.
Mulai saat itu, Sampit benar-benar seperti menjadi kota mati, listrik mulai sering padam. Selain itu, orang-orang dewasa mulai melakukan jaga malam lagi. Mungkin diluar komplek perumahan ku seperti kota mati, namun di dalam komplek perumahanku aku merasakan keramaian. Ya, beberapa mala mini aku makan jagung bakar, singking bakar dan tidur pun larut malam, serta yang paling disukai tidak ada belajar malam. hehehehe
***
Rabu, 21 Februari 2001 aku bersama keluarga besarku akhirnya juga pergi mengungi. Walau kami bukan dari suku yang secara langsung bertikai (dayak dan Madura) karena orang tuaku asli orang Malang, Jawa Timur. Kami pergi ke rumah kerabat ayahku yang berada di sekitar kantor PEMDA juga rumahnya. Selama dalam perjalanan menuju tempat mengungsi aku selalu membaca surat Al Fatihah dan yang pasti selalu memegang leher.*takut karena cerita orang-orang tentang pemenggalan kepala
***
Kamis, 22 Februari 2011 akhirnya kami kembali ke rumah lagi. Dan saat itu sudah mulai terjadi kebakaran berbagai fasilitas baik milik orang Dayak atau Madura. Kebakaran rumah orang dayak pada umumnya terjadi pada hari awal dan setelah tanggal 20 Februari 2001 kebakaran mulai banyak pada rumah orang-orang Madura. Mulai saat itu juga aku mendengar bahwa orang dayak pedalaman kelua dan datang ke Sampit. Sedikit bocoran, yang ku tahu orang-orang tersebut kebal dengan senjata tajam. Bahkan sering disebut-sebut Panglima Burung sebagai pemimpin pasukan mereka bisa terbang dan sebagainya. Mulai saat itu, nama Panglima Burung mulai dikenal oleh masyarakat Sampit sebagai seorang yang sakti. Ada juga panglima kumbang dan panglima-panglima lainnya.