Kenapa menangis, aku tidak mati!
Ingin sekali kupertegas pada ibu, bahwa anaknya masih bernafas di hadapannya. Tapi mengapa ayah pun tidak melarang ibu untuk menahan air matanya saja? Aku bahkan tidak mengalami kecelakaan, juga tidak sedang berjuang melawan kematian.
"Sadar Bintang! Bangun!"
Yah, kalimat itulah yang terdengar berulang kali. Suara yang menyadarkanku bahwa raga ini tak lagi menjadi milikku.Â
Tidak, ibu! Aku tidak mati. Jadi, jangan meneteskan air mata untukku. Nyatanya, lagi-lagi semua kalimat itu hanya ada dalam batinku saja.
Aku juga tidak bisa menyalahkan kesedihan ibu sepenuhnya. Nyatanya, ragaku memang sedang berada di antara jiwaku dan jiwa dari sosok yang tidak memiliki raga.
Oh Tuhan, selamatkan aku!
Doa dan harapan hanya mampu kupanjatkan dari dalam hati. Tubuhku semakin dingin, dan kurasakan cakaran-cakaran kecil pada wajahku. Bersamaan dengan itu, aku mendengar suara jeritan dan rintihan seorang anak kecil yang memintaku untuk menyerahkan ragaku padanya.
"Mengapa harus aku?"
Aku bertanya padanya, Â seorang anak kecil yang sedang berada dalam ragaku. Sosok anak perempuan yang menyisakan ruang kecil nan pengap untuk kutinggali dalam ragaku sendiri.
"Karena aku menyukaimu. Sama seperti kesukaanmu pada malam. Aku pun menantikan raga ini untuk membersamai jiwaku!" Jawabnya perlahan.
Suara lirih yang sangat jelas terdengar olehku itu berasal dari mulutku. Tapi bukan aku yang mengendalikannya. Ungkapan tentang keinginannya untuk memiliki ragaku adalah hal yang sangat menyakitkan bagiku, pun dengan keluargaku. Gadis kecil bertubuh mungil yang sering kali kulihat, kini berada satu raga denganku. Parahnya, aku harus berjuang melawannya dari tempat persemayamanku yang sempit ini.
Yap! Aku berada dalam ruangan kecil yang entah pantasnya disebut apa. Aku hanya bisa mendengarkan segala hal yang orang lain katakan di alam dunia. Dan juga, bisa mendengarkan suara hatiku maupun suara hatinya. Tapi, aku tidak bisa memberontak, apalagi mengusirnya dari dalam ragaku.
Bisikan-bisikan doa terucap dari bibir ibu yang mulai terlihat pucat. Pun dengan ayah, tangannya dengan lembut mengusap rambutku, seraya membacakan doa yang dipercayainya dapat mengusir sosok gadis kecil yang merebut ragaku itu.
"Dengarkan ayah, kamu pasti bisa Bintang. Lawanlah!" Suara ayah terdengar jelas olehku.