Aku menyukai malam. Dan, tidak ada alasan tersendiri bagiku untuk menyukai kegelapan yang istimewa itu. Mungkin, karena namaku adalah Bintang. Sehingga dengan mudahnya aku jatuh hati pada malam.
Aku tahu saat malam tiba dunia akan gelap gulita. Tapi, tidak jika kedua mata ini terbuka. Aku pernah mengatakan pada ibu, bahwa gelap yang sesungguhnya dikendalikan oleh kedua mata. Ibu pernah tidak mempercayai ucapanku, tapi akhirnya ibu memahaminya juga.
Jika aku takut pada gelapnya malam, seharusnya aku lebih takut saat mata ini tertutup. Karena bisa kupastikan hanya kegelapanlah yang kulihat. Berbeda ketika kubuka kedua mata ini, sebuah cahaya pasti akan terlihat. Yap! Begitulah kecintaanku pada malam, yang tidak seharusnya ditakuti oleh kebanyakan orang.
Sepertinya ibu tidak pernah salah memberi nama ini untukku, Bintang. Selayaknya bintang yang mencintai langit malam, aku pun mencintainya. Aku menyukai segala kenangan yang tercipta bersama malam. Meskipun aku tahu, kenangan itu tak luput dari luka. Dan, meskipun aku harus terpenjara pada bayangan luka.
Luka? Aku tidak pernah melupakannya. Luka dari malam bulan purnama satu tahun yang lalu. Luka yang sampai saat ini tidak dapat kulupa. Apakah ini nyata? Mengapa aku peduli pada luka saat ini? Ini terlalu menyakitkan! Harusnya kulupakan luka itu. Tapi, hatiku telah beku bersama luka yang menjadikan isak tangis itu terdengar pilu.
Suatu sore, aku begitu menantikan malam. Secangkir cokelat terseduh dengan sempurna. Kursi bambu di teras rumah menanti kedatanganku. Kursi itu telah setia menemaniku untuk menyaksikan senja yang mulai menghilang tertelan gelapnya malam.
Aku adalah Bintang. Menyukai malam dan segala keindahan yang nampak membersamainya. Meski terkadang aku kasihan pada senja yang harus pergi begitu saja saat malam telah tiba. Dan, saat itu adalah malam bulan purnama. Langitnya pun nampak berbeda dari biasanya.
Aku melihat bulan yang bulat dengan sempurna berada di tengah-tengah luasnya langit malam. Cahayanya begitu memesona, Â hangatkan hati para menikmatnya. Saat itulah secangkir cokelat hangat kusesap, perlahan namun pasti. Perpaduan antara keindahan alam dan manisnya cokelat membuatku terpikat oleh malam yang semakin gelap. Hingga akhirnya tak kusadari, cangkir cokelat yang kugenggam pun terjatuh entah apa sebabnya.
Tubuhku terasa kaku, nafasku sesak dan sepertinya denyut nadiku melambat. Aku seperti seorang pasien yang sedang sekarat. Kedua mata ini tak dapat lagi melihat gelapnya malam, padahal aku masih dapat melihat cahaya lampu yang remang.
Aku berada di mana? Kesadaranku seolah dipermainkan. Rasa dingin mulai menjalar ke seluruh tubuh. Bersama dengan itu, jeritan ibu dan ayah terdengar saling bersahutan. Suara-suara yang sangat membingungkanku.
Ada apa denganku, bu? Ingin sekali kulontarkan pertanyaan itu pada ibu, yang sedang menggoyangkan tubuhku berulang kali. Tapi, apa boleh dikata, ucapan itu hanya sebatas angan. Nyatanya mulutku tidak bisa terbuka. Isak tangis ibu pun terdenhar mengiringi jeritan ayah.