Apakah kamu sama sekali tidak mencintaiku, Luka?"
Suara Agnes masih terngiang di telinga Luka. Gadis pemilik rambut lurus sebahu dengan bola mata bulat sempurna itu selalu menghantui Luka. Kemanapun Luka pergi, Agnes akan selalu berada tepat di belakangnya. Kali ini, Luka tidak dapat menjawab pertanyaan Agnes untuk kesekian kalinya.
"Kamu nggak capek ngikutin aku?" Tegur Luka sembari menghentikan langkahnya.
Agnes hanya diam sambil menggelengkan kepala. Membiarkan rambut lurusnya tergerai dan menggoda setiap mata yang melihatnya. Agnes nekat mengurai rambut, meski ia tahu akan ada seorang laki-laki yang mengomelinya.
"Aku udah pernah bilang kan, aku gak suka liat rambut kamu diurai. Nanti banyak cowok yang ngelirik."
Luka segera mengambil ikat rambut dari pergelangan tangan Agnes.
Agnes tertawa kecil ketika mendengar omelan Luka. Kali ini keberuntungan kembali berpihak padanya.
Detak jantung Agnes mulai tak beraturan. Untungnya, Luka tidak melihat wajahnya yang mulai memerah, karena Luka sedang mengikat rambutnya dari belakang.
"Kamu cemburu kalau ada yang naksir aku?" Tanya Agnes sambil melenggang pergi setelah Luka menyelesaikan ikatannya.
Luka segera mengikuti langkah Agnes. Saat itu, ada sesuatu yang berkecamuk dalam hatinya dan itu membuatnya menutup mulutnya dengan rapat.
"Nanti sore mau kemana?" Luka mengalihkan pembicaraan.
Agnes pun menghentikan langkah kakinya. Ia berbalik arah, menatap kedua mata Luka dengan tatapan sinis kemudian kembali melanjutkan perjalanannya.
"Kalo aku nggak pergi kemanapun, emangnya kamu mau ajak aku kemana?" Tanya Agnes sembari mengistirahatkan kakinya. Ia duduk di atas kursi yang terbuat dari ukiran bambu–di ujung taman.
Mendengar jawaban Agnes, Luka sangat tahu bahwa sahabatnya itu sedang kesal padanya. Namun ia tetap berpura-pura tidak mengetahui apapun tentang perasaan Agnes.
Hari itu tepat 6 tahun sejak pertemuan pertama mereka. Agnes dan Luka berteman sejak duduk di bangku SMP. Dan, sejak pertemuan pertama itulah Agnes mulai menyukai Luka. Namun perasaannya selalu bertepuk sebelah tangan, karena Luka tidak pernah menunjukkan respon apapun padanya.
"Aku mau ajak kamu pergi ke rumah orang tuaku," jawab Luka singkat.
Luka tidak melanjutkan perkataannya. Padahal Agnes menunggu penjelasannya dan berharap Luka akan mengenalkannya pada orang tua Luka sebagai calon istrinya. Meski selama ini mereka tidak pernah memiliki hubungan apapun kecuali persahabatan.
Hati Agnes mulai meleleh mendengar permintaan Luka. Wajar saja hal itu terjadi, karena selama ini Agneslah yang selalu mengejar Luka disepanjang sejarah pertemanan mereka.
"Aku bahagia deh kalo setiap hari bisa bareng kamu, Luka."
"Maksudnya?"
Mendengar perkataan Agnes yang sedikit berbisik itu Luka segera ingin memperjelasnya. Pasalnya ia tidak mau Agnes berharap lebih padanya lagi.
"Enggak, aku gak bilang apa-apa kok," jawab Agnes dengan sedikit menyesal. Entah setan cinta jenis apa yang membodohinya. Hingga ia mengucapkan kalimat itu di depan Luka.
"Nes, kamu tahu nggak kenapa aku gak pernah ngungkapin cinta ke kamu?"
Agnes terdiam seketika. Hendak menelan ludah pun rasanya susah, nafasnya sesak sekali. Hampir saja ia kehilangan kesadaran karena terkejut dengan pertanyaan Luka.
"Emangnya kenapa?" Agnes menjawab dengan singkat. Ia tidak berani berkata lebih banyak lagi. Ia merasa obrolan itu akan membuatnya terluka. Namun Agnes tetap berusaha mengendalikan sikapnya, agar tidak mempermalukan dirinya di depan Luka. Cukup dengan mengejar cinta Luka saja yang membuat harga dirinya tak ternilai di mata Luka.
"Karena aku nggak mau kamu terluka. Jadi, kupikir lebih baik kita sahabatan begini kan?" Jawaban sekaligus pertanyaan Luka untuk Agnes.
Rasanya Agnes ingin sekali berteriak dan memaki Luka saat itu juga. Hatinya terasa sakit, seperti tersayat belati. Ingin sekali ia tumpahkan air matanya yang sudah tertahan di pelupuk mata sejak beberapa menit sebelumnya.
"Oh begitu ya. Nggak papa kok, aku ngerti maksud kamu itu baik," jawab Agnes dengan kepura-puraannya. Ia berusaha tegar di hadapan Luka. Padahal perasaannya hancur.
Agnes ingin segera meninggalkan Luka di taman itu. Namun jika ia melakukannya, Luka pasti tahu bahwa ia sangat kecewa dengan pernyataan yang baru saja Luka katakan. Apalagi, selama ini Luka memang tidak pernah bersikap selayaknya orang yang sedang jatuh cinta padanya. Hanya melarangnya mengurai rambut, bukan berarti Luka menyukainya. Dan, tanpa di sadari air matanya telah menetes begitu saja.
"Kamu nangis Nes?" Luka gugup ketika melihat mata Agnes berkaca-kaca.
"Aku cuma nguap kok, ngantuk nih. Aku mau pulang, kamu mau bareng?" Jawab Agnes berusaha menyembunyikan yang sebenarnya.
Luka terdiam, memandang Agnes yang sedang bersiap untuk meninggalkan kursi bambu itu. Baru pertama kalinya Agnes bertanya pada Luka seperti itu. Padahal, biasanya ia akan segera menarik lengan Luka untuk pergi kemanapun ia mau.
Agnes berjalan dengan cepat, nafasnya terlanjur sesak menahan sakit dalam hatinya. Sedangkan Luka, ia berjalan pelan di belakang Agnes, khawatir Agnes akan jatuh pingsan setelah mendengarkan pernyataanya. Luka hanya berpikir bahwa yang ia lakukan sudahlah benar. Ia tidak ingin membuat Agnes terluka lebih lama lagi.
"Nanti malam bagaimana Nes?"
Agnes ingin sekali memaki di tengah perjalanannya. Sempat-sempatnya Luka bertanya padanya tentang pertemuan nanti malam. Dasar hati batu! Ingin Agnes lontarkan kalimat itu, tapi ia tak sanggup lagi berkata.
"Aku ada acara, Luka."
Agnes menjawab dengan singkat lalu mempercepat langkahnya kembali.
Luka masih sama seperti sebelumnya. Diam tanpa kata untuk mengimbangi suasana hatinya yang sedang tak menentu itu. Beberapa menit lagi Agnes akan sampai di rumahnya, itu berarti dirinya akan segera kembali berbalik arah untuk pulang kerumahnya. Luka selalu mengantar Agnes pulang sejak SMP, meski hanya berjalan kaki. Â Setelah itu, ia akan menggunakan angkot sebagai transportasi andalan untuk segera sampai kerumahnya.
Waktu telah begitu cepat berlalu, malam sudah tiba sebagaimana yang Luka nantikan. Ada rasa rindu yang bergejolak dalam hatinya--rindu pada Agnes. Padahal, baru saja dua jam yang lalu pertemuan terakhirnya dengan Agnes. Namun rasa rindu itu ternyata sudah menggebu-gebu.
Tidak seperti biasanya luka berdiri begitu lama berdiri di hadapan cermin. Biasanya ia hanya merapikan rambut kemudian pergi begitu saja. Tapi malam itu Luka nampak berdandan. Merapikan pakaian, memakai wewangian dan menyisir rambutnya dengan sangat hati-hati. Senyumnya mengembang hingga siapapun yang melihatnya pasti akan tahu bahwa Luka sedang bahagia.
"Agnes, aku menunggumu setelah selesai acara"
Tanpa ragu Luka mengirimkan pesan itu pada Agnes.
"Aku jalan sama Wira. Jangan ganggu dulu!"
Jawab Agnes tak kalah ragunya.
Sebenarnya hati Agnes sangat sakit ketika membalas pesan dari Luka. Hanya ada kemungkinan-kemungkinan buruk yang memenuhi pikiran Agnes saat itu–tentang sesuatu yang akan luka bicarakan di depan keluarga Luka.
"Oke, enjoy Nes. Aku tetap nungguin kok."
Jawaban luka ternyata sangat mengejutkan. Agnes kira Luka akan menyerah untuk memintanya datang. Tapi Agnes membenci Luka, dia sama sekali tidak menghargai perasaannya. Hal itulah yang membuat Agnes tidak akan pernah menemui Luka lagi.
Waktu masih terus berganti dan tak pernah berhenti walau sedetik saja. Tak terasa Agnes terlelap. Sedangkan di rumahnya, Luka masih duduk bersama orang tuanya di ruang tamu. Luka masih menunggu Agnes, sebelum akhirnya berusaha mendatangi rumah Agnes. Namun rumah Agnes sudah gelap saat Luka sampai di sana.
Getar handphone mengejutkan Agnes setelah beberapa jam ia terlelap. Matanya masih merah dan sembab, sebab tak semenit pun ia berhenti menangis sebelum tidur. Tubuhnya tak bergairah untuk melakukan apapun. Dan handphonenya berulang kali bergetar, sungguh membuatnya terganggu.
"Halo? Bisa bicara dengan Agnes" sapa seorang wanita di seberang telpon.
"Saya sendiri tante," Agnes menjawab dengan lembut.
"Agnes tolong ke rumah besok pagi ya. Tante ingin menyampaikan sesuatu."Â
Suara seorang wanita yang Agnes kenal sebagai ibu Luka terlihat serak.
Agnes tidak menjawab permintaan ibu Luka, ia hanya diam dengan banyak tanda tanya dalam otaknya, sampai ibu Luka pun mematikan telponnya.
Pagi datang menyambut hari. Mentari bersinar terang, tapi ada mendung dalam hati dan pikiran Agnes. Tanpa pikir panjang  Agnes segera bergegas untuk pergi kerumah Luka. Agnes pergi mengendarai motornya. Ia tak sempat berdandan. Yang ia mau hanyalah segera sampai di rumah Luka.
Sesampainya di rumah Luka, kicau burung yang saling bersahutan menjadikan suasana terasa beku. Sunyi sekali keadaan rumah keluarga Luka. Agnes segera lari berhambur memeluk ibu Luka yang sudah menunggu kedatangannya di depan pintu dengan wajah harap-harap cemas.
"Luka titipkan surat ini untumu, Nak."
Ibu Luka menyerahkan selembar kertas yang terlipat rapi. Terlihat dengan jelas tulisan luka di sana. Agnes tidak banyak tanya. Ibu Luka pun membimbingnya duduk sembari menahan air matanya.
"Agnes, terimakasih telah bersamaku selama enam tahun ini. Kamu membuat hariku berwarna. Kamu juga telah mengisi kekosongan hatiku sejak enam tahun yang lalu. Aku tahu kamu selalu mengurai rambut agar mendapatkan perhatian dariku, dan aku sudah memberikannya. Aku selalu mengantarmu pulang, karena aku takut kamu terluka ketika dalam perjalanan. Setiap hari, meskipun baru saja kita bertemu, tapi hatiku sudah sangat merindukanmu. Sama seperti saat kumenulis surat ini. Aku sedang menunggumu, merindumu dan menanti kehadiranmu di rumahku. Â Mama dan Papa inginkan kamu menjadi menantu dalam keluarga ini, dan aku berniat untuk melamarmu. Tapi, sebelum itu ternyata kamu sudah lebih dulu jalan bersama Wira. Kamu berhasil membuatku cemburu. Bukan salahmu, karena akulah yang membuat hatimu terluka. Agnes, setelah kamu membaca surat ini, temui aku di peristirahatan terakhirku.
-Luwis Kafi-
"Tante?" Agnes menangis sesenggukan setelah membaca surat dari Luka. Ada sesal mendalam di hatinya. Dia salah karena telah membuat Luka cemburu dengan menggunakan Wira sebagai umpannya.
"Kata dokter, Luka terkena serangan jantung. Luka kehujanan di perjalanan saat menjemputmu, Nak. Luka memang sering sakit sebelumnya, tapi dia selalu menyimpan rasa sakitnya seorang diri."
Penjelasan tante Marina membuat hati Agnes semakin sakit. Ternyata sengaja membuat cemburu orang yang disayangi hanya akan hadiahkan sesal yang tak bertepi. Â Agnes menyadari, ternyata saat nyawa sudah lepas dari raga, hendak mengulang kisah pun sudah tak akan lagi bisa. Agnes sangat menyesali keputusannya yang sangat egois bagi Luka.
-Kaiza.041118-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H