Perjanjian AS dan China ini mungkin bukanlah pengubah permainan, tetapi ini adalah langkah maju yang positif di bidang kebijakan yang sangat sensitif. Keamanan siber telah menjadi salah satu gangguan utama dalam hubungan bilateral antara AS dan China. Selama beberapa tahun terakhir, AS secara teratur menuduh China melakukan tindakan siber yang bermusuhan. Dalam konteks ini, tidak perlu dikatakan bahwa perjanjian bilateral adalah hasil dari upaya diplomatik yang intens.Â
Selanjutnya, perjanjian tersebut menetapkan dua mekanisme kerja sama yang harus memfasilitasi pertukaran dan kerja sama antara AS dan China. Salah satu mekanisme tersebut adalah 'kelompok ahli senior' untuk membahas norma perilaku siber, sedangkan mekanisme lainnya adalah 'dialog bersama tingkat tinggi' tentang kejahatan siber ini, untuk meninjau ketepatan waktu dan kualitas tanggapan terhadap permintaan informasi dan bantuan sehubungan dengan aktivitas siber berbahaya yang menjadi perhatian yang diidentifikasi oleh kedua belah pihak.
Perjanjian keamanan siber AS dan China ini adalah ilustrasi yang baik dari apa yang disebut 'diplomasi siber (cyber diplomacy)'.
Diplomasi adalah suatu upaya atau suatu cara untuk mempengaruhi orang lain agar mengikuti atau memahami dan sepakat dengan kepentingan kita. Sehingga, diplomasi siber (cyber diplomacy) dapat diartikan sebagai sumber daya diplomatik yang melakukan fungsinya untuk mengamankan kepentingan nasional yang berkaitan dengan siber atau dunia maya guna mengatasi permasalahan siber, seperti kejahatan siber, keamanan siber, atau tata kelola internet.Â
Diplomasi siber (cyber diplomacy) dapat bersinggungan dan berimplikasi pada isu-isu lain yang penting secara global, seperti hak asasi manusia internasional, kesehatan masyarakat, dan perubahan iklim (Khabbaz, 2021).
Seperti bentuk diplomasi lainnya, diplomasi berlangsung baik di tingkat bilateral maupun dalam konteks multilateral, dan didukung oleh pertemuan informal dan dialog yang dilembagakan. Diplomasi siber (cyber diplomacy) harus dibedakan dari 'e-diplomasi', yang ditandai dengan penggunaan teknologi baru untuk tujuan diplomatik yang lebih luas. Namun, kedua konsep ini termasuk dalam kategori yang lebih luas, 'diplomasi digital', yang didefinisikan sebagai pelaksanaan diplomasi di era digital, di mana ranah digital menciptakan konteks, objek, dan instrumen diplomasi (Renard, 2015).
Diplomasi siber (cyber diplomacy) bukanlah hal baru. Sudah pada 1990-an, negara-negara bagian berdebat tentang tata kelola internet, terutama dalam konteks pendirian Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN), badan multi-stakeholder yang mengatur tentang internet.Â
Namun, selama beberapa tahun terakhir, masalah dunia maya telah menjadi sangat penting bagi berfungsinya masyarakat modern, ekonomi, dan pemerintah sehingga diplomasi dunia maya tidak lagi opsional bagi kekuatan global. Dalam hal ini, bagaimana diperlukannya diplomasi siber (cyber diplomacy) dalam mengatasi konflik seperti ini.Â
Secara alami, dunia maya terdesentralisasi dan sebagian besar tidak diatur. Untuk menanggapi 'serangan siber lintas negara', misalnya, negara harus bekerja sama dalam berbagi informasi, pengumpulan bukti, dan penuntutan pidana terhadap pelaku serangan. Memang, tidak ada negara yang dapat melindungi dirinya sendiri dari ancaman dunia maya.
Diplomasi siber (cyber diplomacy) tidak hanya penting untuk tanggapan internasional yang efektif terhadap ancaman dunia maya, tetapi negara-negara juga perlu terlibat dalam diplomasi untuk mengembangkan norma-norma yang kemudian mengatur kolaborasi internasional ini. Karena penggunaan dan relevansi dunia maya terus berkembang, negara menghadapi kekurangan standar yang ditetapkan yang mengatur interaksi dan tanggapan dunia maya terhadap peristiwa terkait dunia maya.Â
Para diplomat sependapat dengan pandangan bahwa diplomasi siber (cyber diplomacy) muncul dari internasionalisasi dan politisasi isu siber. Isu siber diperlakukan pertama-tama sebagai masalah teknis semata, kemudian sebagai aspek eksternal dari kebijakan domestik, sebelum menjadi topik utama kebijakan luar negeri. 'Tidak ada ledakan besar' untuk menjelaskan minat tiba-tiba para diplomat untuk bidang kebijakan ini, tetapi itu lebih merupakan 'gelombang pasang' peristiwa, pertemuan, masalah yang memerlukan tanggapan diplomatik.Â