Ketegangan antara kedua negara yaitu AS dan China sudah meningkat dikarenakan masalah keamanan siber yang telah menarik perhatian dunia selama beberapa tahun terakhir.
Sejak tahun 2003-2006, AS dan China telah terlibat konflik siber yaitu pada Operasi Titan Rain dan Shady RAT. Pada saat terjadinya Operasi Titan Rain dan Shady RAT, AS menuduh China telah melakukan operasi serangan spionase terhadap institusi pemerintah maupun swasta milik AS yang dilakukan oleh China. Departemen Keamanan Dalam Negeri AS dan Departemen Pertahanan AS merupakan institusi yang menjadi sasaran serangan spionase tersebut.
Tercatat juga bahwa China melakukan kegiatan spionase yang disebut Operasi Beebus terhadap Departemen Pertahanan AS setelah adanya kerja sama bilateral kedua negara pada tahun 2011-2013. AS juga dinyatakan telah menjalankan kegiatan spionase atas perusahaan milik China Huawei, yang disebut Operasi Shotgiant pada tahun 2010-2014 (Bebber, 2017).
Pada Mei 2014, Departemen Kehakiman AS menuntut lima personel militer China untuk aksi 'peretasan komputer dan spionase siber', sedangkan Presiden Barack Obama bersiap untuk menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan China yang dituduh melakukan pencurian intelektual, beberapa hari sebelum kunjungan Presiden Xi Jinping. Pada gilirannya, China telah menyatakan 'keprihatinan besar' menyusul pengungkapan Edward Snowden tentang spionase siber AS. Pada tahun 2015, AS menuduh peretas China melakukan serangan siber dan mencuri data dari Kantor Manajemen Personalia AS.
Hubungan kedua negara tersebut pun semakin memburuk setelah mantan agen Central Intelligence Agency (CIA) dan mantan agen National Security Agency (NSA) AS yaitu Edward Snowden, menjelaskan terdapat program pengawasan internet massal oleh AS, gerakan spionase siber AS terhadap China, serta pernyataan bahwa AS telah melakukan spionase teknologi informasi, bank, hingga pemimpin Partai Komunis milik China. Hubungan kedua negara tersebut kian memburuk akibat saling tuduh dan ketidakpercayaan yang telah mendominasi hubungan bilateral antara AS dan China ini (Baezner, 2018).
Menurut Liaropoulos (2013), untuk meredakan ketegangan antara AS dan China hingga membangun jaringan komunikasi adalah tugas yang relatif sulit. Hal ini dikarenakan dua alasan.
Pertama, kemajuan pada kebijakan cyber detente (transisi kebijakan dari konfrontasi ke kerja sama) merupakan misi yang sulit, sebab, sifat dari dunia maya yang kompleks. Hal itu dimaksudkan untuk menciptakan hubungan komunikasi tipe dialog antara bisnis, masyarakat sipil, serta pemerintah atas ketidaksesuaian bentuk hukum internasional yang ada, dengan bertujuan untuk memperoleh kebebasan dan melindungi privasi warga negara. Ini sangat sulit bagi kedua negara tersebut karena memiliki pandangan yang berbeda.
Kedua, AS dan China ini masih saling memandang sebagai musuh dan masih terdapat ketidakpercayaan di antara kedua negara tersebut (Liaropoulos, 2013).
Hingga pada tahun 2015, AS mengambil pendekatan terang-terangan kepada China. Presiden Obama dan Presiden Xi Jinping telah mengumumkan common understanding yaitu perjanjian kesepakatan dan kesepahaman antar kedua negara tersebut untuk tidak melangsungkan keterlibatan dalam spionase, terkhusus spionase ekonomi dan komersial, termasuk pencurian rahasia dagang atau informasi sensitif lainnya.
MoU tersebut menghasilkan perjanjian yang disebut “US-China Agreement 2015”, yang memutuskan untuk bekerja sama tanpa adanya konflik antara AS dan China. Dikarenakan adanya konflik antar AS dan China yang pada akhirnya sepakat untuk menandatangani perjanjian terkait konflik siber kedua negara tersebut.
Perjanjian AS dan China ini mungkin bukanlah pengubah permainan, tetapi ini adalah langkah maju yang positif di bidang kebijakan yang sangat sensitif. Keamanan siber telah menjadi salah satu gangguan utama dalam hubungan bilateral antara AS dan China. Selama beberapa tahun terakhir, AS secara teratur menuduh China melakukan tindakan siber yang bermusuhan. Dalam konteks ini, tidak perlu dikatakan bahwa perjanjian bilateral adalah hasil dari upaya diplomatik yang intens.
Selanjutnya, perjanjian tersebut menetapkan dua mekanisme kerja sama yang harus memfasilitasi pertukaran dan kerja sama antara AS dan China. Salah satu mekanisme tersebut adalah 'kelompok ahli senior' untuk membahas norma perilaku siber, sedangkan mekanisme lainnya adalah 'dialog bersama tingkat tinggi' tentang kejahatan siber ini, untuk meninjau ketepatan waktu dan kualitas tanggapan terhadap permintaan informasi dan bantuan sehubungan dengan aktivitas siber berbahaya yang menjadi perhatian yang diidentifikasi oleh kedua belah pihak.
Perjanjian keamanan siber AS dan China ini adalah ilustrasi yang baik dari apa yang disebut 'diplomasi siber (cyber diplomacy)'.
Diplomasi adalah suatu upaya atau suatu cara untuk mempengaruhi orang lain agar mengikuti atau memahami dan sepakat dengan kepentingan kita. Sehingga, diplomasi siber (cyber diplomacy) dapat diartikan sebagai sumber daya diplomatik yang melakukan fungsinya untuk mengamankan kepentingan nasional yang berkaitan dengan siber atau dunia maya guna mengatasi permasalahan siber, seperti kejahatan siber, keamanan siber, atau tata kelola internet.
Diplomasi siber (cyber diplomacy) dapat bersinggungan dan berimplikasi pada isu-isu lain yang penting secara global, seperti hak asasi manusia internasional, kesehatan masyarakat, dan perubahan iklim (Khabbaz, 2021).
Seperti bentuk diplomasi lainnya, diplomasi berlangsung baik di tingkat bilateral maupun dalam konteks multilateral, dan didukung oleh pertemuan informal dan dialog yang dilembagakan. Diplomasi siber (cyber diplomacy) harus dibedakan dari 'e-diplomasi', yang ditandai dengan penggunaan teknologi baru untuk tujuan diplomatik yang lebih luas. Namun, kedua konsep ini termasuk dalam kategori yang lebih luas, 'diplomasi digital', yang didefinisikan sebagai pelaksanaan diplomasi di era digital, di mana ranah digital menciptakan konteks, objek, dan instrumen diplomasi (Renard, 2015).
Diplomasi siber (cyber diplomacy) bukanlah hal baru. Sudah pada 1990-an, negara-negara bagian berdebat tentang tata kelola internet, terutama dalam konteks pendirian Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN), badan multi-stakeholder yang mengatur tentang internet.
Namun, selama beberapa tahun terakhir, masalah dunia maya telah menjadi sangat penting bagi berfungsinya masyarakat modern, ekonomi, dan pemerintah sehingga diplomasi dunia maya tidak lagi opsional bagi kekuatan global. Dalam hal ini, bagaimana diperlukannya diplomasi siber (cyber diplomacy) dalam mengatasi konflik seperti ini.
Secara alami, dunia maya terdesentralisasi dan sebagian besar tidak diatur. Untuk menanggapi 'serangan siber lintas negara', misalnya, negara harus bekerja sama dalam berbagi informasi, pengumpulan bukti, dan penuntutan pidana terhadap pelaku serangan. Memang, tidak ada negara yang dapat melindungi dirinya sendiri dari ancaman dunia maya.
Diplomasi siber (cyber diplomacy) tidak hanya penting untuk tanggapan internasional yang efektif terhadap ancaman dunia maya, tetapi negara-negara juga perlu terlibat dalam diplomasi untuk mengembangkan norma-norma yang kemudian mengatur kolaborasi internasional ini. Karena penggunaan dan relevansi dunia maya terus berkembang, negara menghadapi kekurangan standar yang ditetapkan yang mengatur interaksi dan tanggapan dunia maya terhadap peristiwa terkait dunia maya.
Para diplomat sependapat dengan pandangan bahwa diplomasi siber (cyber diplomacy) muncul dari internasionalisasi dan politisasi isu siber. Isu siber diperlakukan pertama-tama sebagai masalah teknis semata, kemudian sebagai aspek eksternal dari kebijakan domestik, sebelum menjadi topik utama kebijakan luar negeri. 'Tidak ada ledakan besar' untuk menjelaskan minat tiba-tiba para diplomat untuk bidang kebijakan ini, tetapi itu lebih merupakan 'gelombang pasang' peristiwa, pertemuan, masalah yang memerlukan tanggapan diplomatik.
Dengan kata lain, menegaskan bahwa “para diplomat akhirnya harus turun tangan karena dunia maya menjadi domain diplomasi. Bukan diplomat yang menjadikan dunia maya sebagai isu kebijakan luar negeri, itu sudah menjadi satu” (Barrinha & Renard, 2017).
Maka dari itu, persoalan dari solusi konflik siber AS dan China ini dapat diselesaikan melalui diplomasi siber (cyber diplomacy). Terdapat dua kubu dalam memahami penggunaan siber ini, seperti negara China dan negara berkembang lainnya dalam penggunaan siber itu dibatasi, sedangkan negara-negara barat seperti AS ingin penggunaan siber itu bebas.
Salah satu diantara kedua kubu ini tidak bisa mengalah, semua kepentingan ini harus dicapai dan terpenuhi. Agar tidak terjadinya bentrok atau konflik kedua kubu tersebut, maka disini hadirlah diplomasi siber (cyber diplomacy) untuk membangun sebuah kebiasaan atau norma dalam penggunaan dunia siber.
Melalui diplomasi siber (cyber diplomacy) ini, memungkinkan AS dan China untuk bisa saling bernegosiasi untuk membangun regulasi yang berkaitan dengan dunia siber agar menumbuhkan rasa stabilitas keamanan dalam dunia siber secara global. AS dan China memiliki kepentingan nasionalnya masing-masing dalam membangun regulasi siber sebagai dasar normatif dalam tata kelola dunia siber, hal ini dimaksudkan guna membatasi tindakan tiap aktor internasional atas norma-norma yang efektif.
Tentu ini dibuat untuk membatasi terjadinya serangan siber, baik berupa pencurian data, serangan melalui malware, hingga spionase. Untuk menciptakan dan mengatur berbagai norma yang berkaitan dengan dunia siber, kedua negara tesebut dipromosikan melalui negosiasi dan diplomasi dengan menggunakan soft power. Hal ini tidak hanya mencapai kepentingan kedua negara, tetapi juga mewujudkan keamanan dan stabilitas (Geng, 2018).
Dalam hal ini, permasalahan dunia maya mengharuskan negara-negara untuk bekerja sama untuk memastikan keamanan dan kemakmuran dunia maya mereka (yang dirusak oleh kejahatan siber dan spionase ekonomi siber). Sejumlah perjanjian siber bilateral, seperti yang dibuat antara AS dan China ini, memang telah dibuat untuk melakukan hal itu.
Diplomasi siber (cyber diplomacy) bukan hanya kebutuhan tetapi juga peluang. Secara keseluruhan, struktur diplomasi siber (cyber diplomacy) akan menebal dengan cepat, karena masalah siber menjadi lebih penting bagi prioritas kebijakan luar negeri kekuatan global. Diplomasi siber (cyber diplomacy) mesti bekerja keras dalam hal pembangunan norma-norma dan koordinasi mekanisme untuk mengurangi rasa saling curiga antar kedua negara tersebut(Monahan, 2021).
Di luar prioritas politik, kita memerlukan landasan strategis untuk kerja sama internasional agar dapat lebih efektif menanggapi aktivitas siber jahat yang dilakukan terhadap industri dalam negeri dan mengurangi insentif pelaku jahat dari upaya di masa depan. Lebih jauh lagi, setiap negara harus lebih baik menggunakan mekanisme diplomatik untuk memerangi visi otoriter untuk internet dan mempromosikan internet yang terbuka, dapat dioperasikan, serta aman di panggung internasional.
Ini adalah langkah penting dalam membangun fondasi untuk pencegahan berlapis di dunia maya dan membebankan biaya nyata bagi para pelaku dunia maya serta negara-negara yang dimungkinkan mereka, sehingga dapat melindungi industri dan infrastruktur setiap negara dengan lebih baik.
BIBLIOGRAPHY
Baezner, M. (2018). Cybersecurity in Sino-American Relations. CSS Analyses in Security Policy, No. 224 , 2.
Barrinha, A., & Renard, T. (2017). Cyber-diplomacy: The Making of an International Society in the Digital Age. Global Affairs, Vol. 3, Issue 4-5 , 353-364.
Bebber, R. (2017). China’s Cyber Economic Warfare Threatens U.S. US Naval Institute, Vol. 143, No. 7 , 2.
Geng, Z. (2018). An Analysis of Cyberspace Rule-Making in China-US Relations. International Relations and Diplomacy, Vol. 6, No. 1 , 18.
Khabbaz, D. (2021). Cyber Diplomacy: Benefits, Developments, and Challenges.
Liaropoulos, A. (2013). Great Power Politics in Cyberspace: U.S. and China are Drawing the Lines Between Confrontation and Cooperation. PANORAMA of Global Security Environment , 155-166.
Monahan, C. J. (2021, November 8). Could Cyber Diplomacy Be the Ultimate Answer to American Ransomware Woes? Retrieved November 28, 2021, from Dark Reading: www.darkreading.com
Renard, T. (2015, October 1). US-China Cybersecurity Agreement: A Good Case of Cyber Diplomacy. Retrieved November 29, 2021, from Egmont Royal Institute for International Relations: www.egmontinstitute.be
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H