Mohon tunggu...
Kahla Qolbiani R
Kahla Qolbiani R Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswa baru yang mulai belajar buat seneng nulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mengenal Tone Policing, Taktik Membungkam Suara yang Terabaikan

15 Desember 2023   20:20 Diperbarui: 15 Desember 2023   20:28 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah kamu pernah berada disituasi di mana kamu mempunyai argumen yang valid, tapi yang jadi fokus lawan bicara kamu malah pada cara kalian menyampaikan argumennya? 

Misalnya seorang istri yang sudah kerja keras sepanjang hari, tapi suaminya leha-leha tidak bekerja. Lalu, suami yang tidak tahu diri itu akan melakukan dan mengatakan sesuatu yang membuat istrinya merasa bersalah karena sudah marah-marah, dan istri akan di cap "rewel" juga "pemarah".

 Ilustrasi diatas disebut sebagai tone policing. Tone policing adalah fenomena atau tindakan seseorang yang mencoba untuk mengabaikan argumen atau isi konten faktual dengan menyerang nada suara atau cara penyampaiannya bukan isi pesan itu sendiri. 

Tone policing dapat diterapkan dalam berbagai peristiwa dalam rumah tangga, politik, lingkungan kerja, namun lebih sering dibahas dalam konteks keadilan sosial sebagai alat pertahanan bagi kelompok yang terpinggirkan. 

Tone policing ini terjadi ketika seseorang yang berada dalam percakapan tentang penindasan akan mengalihkan pembicaraan dengan cara fokus ke "cara penindasan" itu dibahas.

Sama seperti yang tertulis di buku "So You Want to Talk About Race" karya Ijeoma Oluo, dalam buku tersebut disebutkan contoh tone policing yaitu ketika orang kulit hitam dikritisi cara bicara mereka soal rasisme oleh orang kulit putih, ini juga menjadi alasan kenapa muncul stereotip "angry black women". 

Orang kulit hitam sering dianggap terlalu agresif dan emosional ketika membahas soal diskriminasi ras. Begitu juga dalam skena feminisme dan pejuang kesetaraan gender, seorang feminis suka dianggap lebay dan tukang marah tiap kali membahas soal patriarki.

Tone policing adalah taktik dimana keluhan yang valid dibuat menjadi seakan-akan tidak rasional, dan memberikan persepsi seakan-akan percakapan itu harus selalu disampaikan dengan sikap dan suara yang tenang. Kita pasti sering mendengar para pengkritik didiskriminasi dengan ucapan seperti:

"Kritik sih boleh, tapi biasa aja dong ngomongnya"

"Bisanya kritik terus, kasih solusi dong!"

Dengan kita meminta orang untuk merendahkan suaranya, untuk tenang, untuk tidak mengekspresikan kefrustasiannya dan kemarahan mereka tentang penindasan yang mereka alami itu sama saja kita lebih memprioritaskan kenyamanan kita dibanding mereka yang sedang menjadi korban ketidakadilan. 

Kita seolah-olah meminta mereka menderita dalam keheningan. Dan jika kita fokus pada nada bicara mereka dibanding argumennya, kita akan sulit untuk mempunyai percakapan yang produktif dengan mereka. Bahkan mereka juga akan mempertanyakan realita mereka sendiri.

Maka dari itu, tone policing seakan-akan meniadakan fakta bahwa manusia mempunyai energi negatif yang bisa saja muncul ketika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Rasa marah, frustasi, kecewa adalah emosi yang valid apalagi ketika dihadapkan dengan ketidakadilan. 

Sayangnya emosi tersebut seringkali mendapat persepsi yang buruk terutama pada perempuan. Bahkan, ketika perempuan menyuarakan isi hatinya dengan tegas padahal tetap menghormati lawan bicara pun, mereka yang merasa "tersinggung" seringkali meminta perempuan untuk menjaga nada bicaranya sehingga enak didengar. Padahal itu hanya alasan mereka yang tersinggung karena egonya merasa terserang.

Seseorang harus mulai belajar membedakan sikap tegas dan marah, karena orang yang melakukan tone policing biasanya tidak dapat membedakan antara keduanya.

Lalu cara yang dapat kita lakukan agar kita terhindar dari tone policing adalah dengan menyadari hal apa yang sedang dibahas, belajar mengatakan apa yang seharusnya didengar, dan bukan apa yang ingin didengar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun