Apakah kamu pernah berada disituasi di mana kamu mempunyai argumen yang valid, tapi yang jadi fokus lawan bicara kamu malah pada cara kalian menyampaikan argumennya?Â
Misalnya seorang istri yang sudah kerja keras sepanjang hari, tapi suaminya leha-leha tidak bekerja. Lalu, suami yang tidak tahu diri itu akan melakukan dan mengatakan sesuatu yang membuat istrinya merasa bersalah karena sudah marah-marah, dan istri akan di cap "rewel" juga "pemarah".
 Ilustrasi diatas disebut sebagai tone policing. Tone policing adalah fenomena atau tindakan seseorang yang mencoba untuk mengabaikan argumen atau isi konten faktual dengan menyerang nada suara atau cara penyampaiannya bukan isi pesan itu sendiri.Â
Tone policing dapat diterapkan dalam berbagai peristiwa dalam rumah tangga, politik, lingkungan kerja, namun lebih sering dibahas dalam konteks keadilan sosial sebagai alat pertahanan bagi kelompok yang terpinggirkan.Â
Tone policing ini terjadi ketika seseorang yang berada dalam percakapan tentang penindasan akan mengalihkan pembicaraan dengan cara fokus ke "cara penindasan" itu dibahas.
Sama seperti yang tertulis di buku "So You Want to Talk About Race" karya Ijeoma Oluo, dalam buku tersebut disebutkan contoh tone policing yaitu ketika orang kulit hitam dikritisi cara bicara mereka soal rasisme oleh orang kulit putih, ini juga menjadi alasan kenapa muncul stereotip "angry black women".Â
Orang kulit hitam sering dianggap terlalu agresif dan emosional ketika membahas soal diskriminasi ras. Begitu juga dalam skena feminisme dan pejuang kesetaraan gender, seorang feminis suka dianggap lebay dan tukang marah tiap kali membahas soal patriarki.
Tone policing adalah taktik dimana keluhan yang valid dibuat menjadi seakan-akan tidak rasional, dan memberikan persepsi seakan-akan percakapan itu harus selalu disampaikan dengan sikap dan suara yang tenang. Kita pasti sering mendengar para pengkritik didiskriminasi dengan ucapan seperti:
"Kritik sih boleh, tapi biasa aja dong ngomongnya"
"Bisanya kritik terus, kasih solusi dong!"