Dengan kita meminta orang untuk merendahkan suaranya, untuk tenang, untuk tidak mengekspresikan kefrustasiannya dan kemarahan mereka tentang penindasan yang mereka alami itu sama saja kita lebih memprioritaskan kenyamanan kita dibanding mereka yang sedang menjadi korban ketidakadilan.Â
Kita seolah-olah meminta mereka menderita dalam keheningan. Dan jika kita fokus pada nada bicara mereka dibanding argumennya, kita akan sulit untuk mempunyai percakapan yang produktif dengan mereka. Bahkan mereka juga akan mempertanyakan realita mereka sendiri.
Maka dari itu, tone policing seakan-akan meniadakan fakta bahwa manusia mempunyai energi negatif yang bisa saja muncul ketika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Rasa marah, frustasi, kecewa adalah emosi yang valid apalagi ketika dihadapkan dengan ketidakadilan.Â
Sayangnya emosi tersebut seringkali mendapat persepsi yang buruk terutama pada perempuan. Bahkan, ketika perempuan menyuarakan isi hatinya dengan tegas padahal tetap menghormati lawan bicara pun, mereka yang merasa "tersinggung" seringkali meminta perempuan untuk menjaga nada bicaranya sehingga enak didengar. Padahal itu hanya alasan mereka yang tersinggung karena egonya merasa terserang.
Seseorang harus mulai belajar membedakan sikap tegas dan marah, karena orang yang melakukan tone policing biasanya tidak dapat membedakan antara keduanya.
Lalu cara yang dapat kita lakukan agar kita terhindar dari tone policing adalah dengan menyadari hal apa yang sedang dibahas, belajar mengatakan apa yang seharusnya didengar, dan bukan apa yang ingin didengar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H