Mohon tunggu...
kahfi pongq
kahfi pongq Mohon Tunggu... -

minum kopi, baca, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Iis

22 Juli 2013   20:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:11 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

-Teman waktu kerja dulu, aku maumain ke rumahnya, besok sore kembali. Kalau sempat, pagi nanti kabari Ibukubegitu saja. Begitu Iis berpesan kepada Hamid.

Hamid melalui jalan tadi. Dipertengahan perjalanan, ia berpapasan dengan motor tua Pak Zul, meski tertutupjaket hitam dengan rapat dan kacamata hitam menutup bagian atas helm berkacalusuh, Hamid masih mengenalinya. Hamid yakin Pak Zul juga melirik kepada Hamid,namun entah mengapa tak bersapa.

Esok pagi, setelah melumatsingkong rebus dan meneguk kopi pekat, seduhan sendiri, Hamid mampir ke rumahIis. Tangan kiri Hamid menenteng kretek terbakar setengah, lainnya mengetuk pinturumah yang kian hari semakin senyap, dingin dengan dinding berkelupasan, empattiang beranda yang hampir terban, dan genting penuh lumut.

-Iis sudah kembali Mpok? Kalaubelum, paling nanti sore dia pulang. Semalam Hamid ngantar Iis ke jalan besar,katanya mau ke tempat teman kerjanya Siti. Begitulah Hamid sampaikan pesan Iis.

-Oh,yaudah, makasih Mid. Rokhayah membalasnya dengan dingin.

Sepertisadar akan suasana tak hangat, Hamid mengundurkan diri, lantas menuju kepangkalan. Hingga siang, meski bisa menjalani rutinitas, Hamid merasakankekhawatiran mendalam terhadap Iis. Beribu tanya membanjiri pikiran Hamid.
Berbulan-bulan setelahnya, tepathari Jumat di tengah era kebisingan yang meneriakan yel reformasi, sebuahperistiwa menggegerkan warga desa. Berbarengan dengan pembakaran-penjarahanmelanda di jalan besar sana, tempat hangusnya toko-toko klontong, berpuingnyarumah-rumah gedong, terdengar jeritan wanita menghenyak dari halaman rumah Iis.

Jeritan yang memuncak dengantangisan, membuat para tetangga menghambur keluar. Para lelaki baru sedikitberdatangan, mereka masih khidmat membuka lebar daun telinga, mendengarkanceramah Jumat Pak Zul, di Mesjid pinggiran jalan yang membelah desa. SelepasJumatan, mereka berbondong mengerubung rumah Iis.

Waktu itu, Hamid masih asik tidursiang hingga hampir senja. Jelang pernikahan, Hamid memang mencari uang ke sanakemari, dengan mengojek, mengobyek tanah, hingga jadi makelar buah-buahan darikebun warga desa. Maklum, keluarganya tak lagi punya kebun rimbun, sepetaktanah samping rumah sudah berpondasi, di sanalah Hamid hendak membangun gubukkecil, tempat malam pengantin nanti ia lalui.

Makian dan nyalak amarah merobekketenangan Hamid. Suara gaduh melatari gebrakan pintu rumah. Kaos oblong putihdan sarung masih berantakan Hamid kenakan. Sertamerta tudingan menghunjamdirinya, warga menempelak dan menyeret Hamid keluar. Hamid belum sempatmenyadari apa yang terjadi.

Terhuyung ia menabrak tanah.Sekilas ia melihat Edi, Drs. Mahmud, dan Pak Zul berada di barisan depan warga.Mereka seakan berhasrat  melumat tubuhHamid. Emak Hamid hanya bisa menjerit-jerit, kesetanan tak berdaya.

-Dasar anak kurangajar, Iis udahcacat lu buat sengsara. Hardik massa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun