Angger, Si Anak Gerbong
Di dalam tradisi tutur masyarakat Jawa di lingkungan kampung halaman kami, di seputaran ujung barat Jawa Timur, kosa kata angger, yang pengucapan suku kata ger di bagian belakangnya sama seperti cara kita mengucapkan suku kata ger pada kata burger, mempunyai dua makna berbeda, yaitu setiap dan atau asal (-asalan). Â
Memang ada satu lagi kata angger yang kami kenal dengan penulisan yang sama, tapi cara membaca suku kata ger di belakang berbeda, tidak lagi sama seperti saat mengucap ger pada kata burger, tapi ger-nya sama atau identik dengan ber pada saat kita mengucap ember yang artinya adalah anak laki-laki atau panggilan sayang untuk anak laki-laki.
Tapi maaf, kata angger yang saya maksudkan dalam judul di atas  tidak ada hubungannya secara langsung dengan ketiga makna leksikal dari kata angger yang sebenarnya di atas. Saya sebut hubungannya tidak langsung, karena dalam tematik ini keduanya hanya dihubungkan oleh subyek yang sama, yaitu anak-anak yang biasanya suka angger alias suka asal! He...he...he... betul? Â
Angger yang saya maksudkan di sini adalah identitas komunal kami, saya dan teman-teman masa kecil saya yang lahir dan besar (kebetulan) di lingkungan kereta api atau tepatnya stasiun kereta api yang bagi sebagian orang mungkin dianggap tidak layak untuk tempat tinggal, sekaligus sebagai ruang tumbuh kembang bagi kami, anak-anak 80-90an saat itu.
Baca Juga Yuk! Kronik Nostalgia Anak-anak Kereta: Kereta Api dan Ragam Budaya yang Dibentuknya
Tapi maaf, anggapan itu sepertinya tidak sepenuhnya berlaku bagi kami! Angger yang terbentuk sebagai akronim dari frasa anak gerbong, identitas kami anak-anak yang sehari-harinya memang lebih sering berinteraksi dengan dunia perkeretaapian, termasuk menjadikan beragam gerbong kereta api sebagai tempat bermain dan bereksplorasi, tidak hanya meninggalkan sebuah romansa yang begitu indah untuk dikenangkan.
Tapi juga memicu keingintahuan kami pada banyak hal, terutama pada dunia jalan-jalan dan teknologi transportasi kereta api yang pada gilirannya juga merangsang "khayalan-khayalan tingkat tinggi" kami kepada segala atribut kereta api yang biasa kami sebut sebagai sepur itu.
Romansa di Stasiun BaratÂ
Kalau anda pernah naik kereta api, khususnya yang melewati jalur Solo-Madiun atau Solo-Surabaya, dari arah barat atau dari arah Solo, di antara perjalanan Stasiun Geneng di Kabupaten Ngawi dan Stasiun besar Kota Madiun, cobalah tengok ke sebelah kanan! Di situlah anda akan menemukan Stasiun Barat.Â
Stasiun kecil kelas 3 yang sekarang lebih dikenal sebagai Stasiun Magetan yang ternyata punya peran sejarah lumayan besar dan signifikan dalam perang Pasifik/Perang Asia Timur Raya (Greater East Asia War) tahun 1937-1945 yang berakhir dengan luluh lantaknya bumi Hiroshima dan Nagasaki ini, terletak persis di tengah kampung tempat saya lahir dan dibesarkan. Lingkungan inilah yang membentuk akronim angger alias si anak gerbong, identitas kami saat itu.Â
Baca Juga Yuk! Stasiun Barat dan Sejarah Keterlibatannya dalam Perang Asia Pasifik
Sebelum Stasiun Barat dibangun ulang pada tahun 2015 dan berganti nama menjadi Stasiun Magetan, apalagi di era kanak-kanak kami di era 80-90an, komplek Stasiun Barat masih sangat terbuka dan bisa diakses siapa saja, juga kapan saja. Dari situlah, kami anak-anak akhirnya juga terbiasa bermain-main di lingkungan stasiun.
Dari interaksi kami dengan lingkungan Stasiun Mbarat, cara kami menyebut Stasiun Barat ini, bisingnya lalulintas kereta api tidak lagi menjadi gangguan berarti bagi kami, tapi justru selayaknya alarm alami yang setiap waktu mengingatkan kami pada pentingnya mengatur waktu, termasuk pertanggung jawabannya.Â
Baca Juga Yuk ! Legenda Hantu Lampu dan Kisah "Pak Juril", Hulu Keselamatan Perjalanan Kereta Api
Tidak hanya itu, uniknya kami juga terbiasa hapal dengan gapeka alias grafik perjalanan kereta yang menjadikan kami hapal tidak hanya nama kereta yang lewat saja, tapi juga asal dan tujuan akhir kereta, bahkan kebiasaan langsir atau antrian lewat jalur kereta di Stasiuan Barat, berikut waktu tunggunya. keren kan!
Adoh-adohan Numpak Sepur
Dari sinilah, kami jadi mengetahui estimasi perjalanan naik kereta api secara presisi, hingga kami para angger saat itu menjadi berani jalan-jalan ikut kereta api sampai ke stasiun-stasiun yang relatif lumayan jauh bagi anak-anak SD, seperti ke Kota Madiun, Kertosono dan Nganjuk, juga Geneng dan Walikukun yang masuk di kabupaten tetangga, Ngawi.
Bahkan, ketika usia kami semakin bertambah menuju remaja, jangkauan perjalanan kami dengan kereta api semakin jauh. Tidak lagi menuju ke stasiun-stasiun sekitar saja tapi mulai menjauh. Di usia-usia awal remaja atau seumuran anak-anak SMP itu, kami sudah punya challenge yang full adrenalin, yaitu adoh-adohan numpak sepur alias jauh-jauhan naik kereta api dari Stasiun Barat yang biasa kami lakukan pas di hari libur.
Baca Juga Yuk! "Kereta Apiku" dan Orang-Orang Nekat di Balik Berdirinya Pabrik Sepur di Madiun
Inilah awal kami mengenal perjalanan kereta api yang lebih jauh dan lebih komplek, hingga berhasil menyentuh stasiun-stasiun besar di beberapa kota besar seperti Stasiun Wonokromo, Stasiun Gubeng, hingga stasiun Kota Surabaya yang justeru lebih dikenal masyarakat sebagai Stasiun Semut yang kesemuanya berada di Kota Surabaya. Hah, Surabaya?
Tidak hanya itu! Kami tidak hanya menuju kearah timur saja untuk challenge, adoh-adohan numpak sepur ini, tapi juga menuju ke arah barat. Dari situlah, kami jadi tahu yang namanya Stasiun Jebres dan juga Stasiun Balapan Solo yang diabadikan oleh maestro lagu-lagu campursari, (alm) Didi Kempot menjadi lagu hits hingga menjadikannya semakin terkenal.Â
Sepertinya dari momentum inilah, jiwa petualangan saya yang sampai detik ini masih terus berusaha mewujudkan cita-cita keliling Indonesia, mulai bertumbuh dan bersemi.
Dalam fragmentasi perjalanan yang lebih jauh itulah, kami baru menyadari kalau naik kereta api itu bukan hanya sekedar naik dan terbawa gerbong sampai ke tempat tujuan semata, tapi juga bagaimana mendapatkan kenyaman dan keamanan selama perjalanan hingga memunculkan beragam khayalan tingkat tinggi kami saat itu, demi kenyamanan perjalanan kami dan juga penumpang lainnya.
Khayalan-khayalan para angger saat itu jelas tidak jauh dari khayalan untuk memenuhi kebutuhan dan hasrat kami sebagai anak-anak saat itu, seperti membayangkan seandainya di dalam gerbong penumpang ada rental buku komik, buku cerita atau majalah anak-anak. Bahkan kami juga sering berandai-andai, kalau dalam perjalanan kereta api jarak jauh ada alat permaianan seperti catur, halma, ular tangga, karambol dan lain-lainnya, tentu kami tidak akan menghabiskan waktu dalam perjalanan dengan bengong yang nggak jelas!. Â
Tidak hanya itu, seandainya di gerbong kereta itu ada tempat bermain untuk anak-anak, juga sound hiburan lagu-lagu agar tidak ngantuk sekaligus mengurangi kebisingan atau bahkan warung gerbong yang tidak hanya jualan nasi atau makanan berat saja, tapi jualan snack atau makanan dan minuman ringan lainnya. Tentu asyik ya!
Satu lagi! Seandainya dinding-dinding kereta api (terutama bagian dalam) tidak polosan, tapi diberi ornamen yang menarik entah ornamen batik, komik, teka-teki silang atau apa saja, tentu penumpang juga tidak buru-buru kepingin tidur kalau duduk lama-lama di kursi dalam perjalanan panjangnya. Bagaimana menurut anda?
Â
Thesis perlunya kenyamanan dan keamanan dalam perjalanan panjang dengan kereta api, ini semakin saya rasakan ketika saya harus merantau ke Kota Tembakau di ujung timur Jawa Timur untuk tugas belajar
Karena secara tradisi alat transportasi paling familiar di kampung kami adalah kereta api, jadinya minimal 3 kali dalam setahun, saya juga melakukan perjalanan Madiun - Jember dengan menggunakan Kereta Api kelas ekonomi, yaitu  Argopuro jurusan Jogjakarta-Banyuwangi yang belakangan diganti dengan Kereta Api Sri Tanjung jurusan Jogja-Banyuwangi yang kemudian rutenya sempat bertambah panjang menjadi Purwokwerto-Banyuwangi.
Saya meyakini, setiap perjalanan adalah pelajaran, begitulah saya selalu memaknai setiap jengkal langkah dalam perjalanan saya, kemana saja. Setiap fragmen-nya adalah  catatan arif kehidupan, guru terbaik untuk bekal perjalanan berikutnya sekaligus sebentuk kenangan yang sepertinya sulit untuk saya lupakan. Begitu juga setiap pengalaman saya berkereta api, progresnya selalu semakin baik!
Itu juga yang terjadi selama kurang lebih 5 tahunan di akhir 90-an menjadi pelanggan tetap kereta api. Beragam pengalaman menarik dan berharga selalu saya dapatkan di setiap perjalanan saya bersama kereta api. Detail lengkap romansanya silakan baca pada artikel saya yang berjudul "Lorong Waktu Menuju Elegi Mudik Tahun 90-an".Â
Semuanya menjadikan khayalan-khayalan tingkat tinggi saya saat masih menjadi angger dulu, semakin menjadi-jadi. Apa itu?
Menjadikan Stasiun dan Kereta Api Agen Literasi
Sebagai mantan angger alias anak gerbong yang bertahun-tahun ikut merasakan perkembangan layanan kereta api yang memang terus membaik dari waktu ke waktu dan kebetulan, sekarang saya merantau di luar pulau Jawa hingga relatif jarang sekali naik kereta api labi.Â
Tapi, karena pekerjaan mengharuskan saya keliling dari satu daerah ke daerah lainnya di seluruh Indonesia, hingga mengharuskan saya sering bepergian dengan berbagai moda transportasi, termasuk sesekali kereta api juga pesawat udara, mengharuskan saya tetap update terhadap isu-isu transportasi publik teraktual.
Karenanya, wajar jika saya juga sering mengkhayalkan banyak hal terkait komparasi antara kereta api dengan pesawat terbang. Sudah pasti bukan head to head terkait soal tingkat kenyamanan ataupun keamanannya, tapi lebih kepada spiritnya untuk terus memberi pelayanan dan kebermanfaatan yang terbaik kepada pengguna jasanya yaitu para penumpang dan juga berbagai individu yang ada di sekitarnya.Â
Salah satunya yang paling menarik perhatian saya adalah langkah-langkah maju dan strategis pengelola bandara dan juga pesawat terbang yang semakin serius, rapi dan masif menjadikan aset-asetnya sebagai media literasi yang aplikatif dan tepat guna untuk mengenalkan beragam topik edukasi aktual, sekaligus mempromosikan kekayaan alam dan keragaman budaya nusantara. Bahkan beberapa di antaranya juga menyediakan ruang untuk instalasi seni yang menawan dan pastinya sangat menghibur.
Ini juga khayalan saya untuk kereta api dan stasiun-stasiun kereta di seluruh Indonesia! Saya berharap suatu saat nanti, semua aset PT KAI bisa menjadi agen literasi yang bermanfaat luas untuk memperkenalkan sekaligus mempromosikan materi kekayaan alam dan keragaman budaya nusantara lebih detail dan inklusif, sesuai dengan daerah atau lokasi stasiunnya masing-masing.
Tentu Stasiun Madiun, Stasiun Barat dan stasiun-stasiun lain di Daop 7 Madiun, Â akan semakin cantik seandainya pada dinding-dinding kosongnya dibranding dengan ilustrasi kekayaan alam dan budaya khas di wilayah Karesidenan Madiun, seperti ornamen batik ciprat khas Magetan atau mungkin ilustrasi kesenian Reog Ponorogo seperti yang dipajang di dinding ruang tunggu Bandara Juanda, Surabaya.Â
Baca Juga Yuk! Inspirasi Cantik dari Bandara Kalimarau dan SAMS Sepinggan
Tidak kalah menarik juga, jika sajian Tepo Pecel, Brem Madiun, Dawet Jabung atau bahkan satwa Merak hijau khas Madiun ikut ditampilkan, selayaknya Bandara SAMS Sepinggan Balikpapan yang memajang beragam hewan dilindungi dan juga aneka tarian, senjata dan juga alat musik khas Suku Dayak di dinding-dinding Bandara, sehingga terlihat semakin artistik dan tentunya bermanfaat.
Bahkan, saya kira juga tidak kalah bagus seandainya di Stasiun dipasang foto-foto raksasa tentang cantiknya destinasi wisata Telaga Sarangan yang ikonik atau juga destinasi wisata sejarah paling ikonik seperti Benteng Pendem atau Benteng Van de Bosch di Ngawi, persis dengan Bandara Sam Ratulangi di Manado yang dengan bangganya memajang eksotisnya surga bawah air Bunaken. Yuk KAI! (BDJ231024)
Semoga Bermanfaat!
Salam Matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H