Mohon tunggu...
Kartika E.H.
Kartika E.H. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

... penikmat budaya nusantara, buku cerita, kopi nashittel (panas pahit kentel) serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Kkn Pilihan

Koleksi Playboy yang Bikin Asoy Geboy!

30 Juni 2024   21:17 Diperbarui: 30 Juni 2024   21:22 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mobil-mobilan | @kaekaha

Lain ladang lain belalang, Lain lubuk lain pula ikannya! Naaaaah lain daerahnya lain pulalah bahasanya!

Baca Juga Yuk! Misteri Sepasang Kunang-kunang di Balik Halimun Kabuaran

Perjalanan menuju Desa Kabuaran tempat lokasi KKN kelompok kami sebenarnya nggak terlalu sulit, karena dari kantor kecamatan tempat kami dilepas sama Pak Camat dan petinggi kampus, rombongan kami tinggal naik mobil pick-up bak terbuka yang sudah di siapkan.

Jalannya juga hanya satu arah saja, tinggal lurus mengikuti jalan beraspal mulus yang dari awal pertigaan jalan besar di samping kantor kecamatan terlihat menanjak. Ini asyik sekaligus susahnya!

Ternyata, mobil yang mengantar kami sepertinya kurang fit. Di sepanjang perjalanan, beberapa kali kenalpot mobil terbatuk-batuk dan terlihat tersengal-sengal diajak menanjak dengan beban yang lumayan berat di bak belakang.

Benar saja! Sepertinya belum separuh jalan, mobil pick-up yang membawa kami benar-benar kandas, berhenti total nggak ada suara dan nggak bisa lagi bergerak, setelah batuk-batuk lumayan berat.

Ngenesnya, ternyata sopir yang membawa mobil tidak hanya nggak paham soal mobil, karena memang bukan sopir sebenarnya, ternyata dia juga tidak tahu lokasi persis kantor desa Kabuaran yang akan kita tuju. Alamaaaaak.

Disaat kita semua kebingungan karena memang tidak ada yang bisa dimintai tolong, si sopir malah ijin untuk kembali ke kantor kecamatan untuk meminta bantuan dan meninggalkan temannya agar bersama kami menunggu di mobil.

Sesekali ada bapak-bapak lewat dan kami tanyai

"Pak Kantor Kepala Desa masih jauh?" Tanya Bang Deni.

"Oh kantor Pak Tinggi!?"  Si bapak tua bertanya balik.

"Kepala desa Pak! Pemimpin desa Kabuaran, kantornya masih jauh!?" Bang Deni berusaha menjelaskan lebih detail.

"Iya dek, kepala desa itu Pak Tinggi di sini, mun kantornya semak saja, dekat! Jalan juga sampai!" Jawab si bapak lagi.

Mendengar penjelasan si bapak yang telah berlalu pergi dengan sepeda anginnya ke arah bawah, akhirnya saya memutuskan untuk berjalan kaki menuju ke kampung ditemani Bang Taufik, wakordes dan ternyata apa yang terjadi!

Setelah berjalan hampir dua jam dibawah terik mentari kami masih belum juga menemukan perkampungan. Kiri kanan kami masih didominasi kebun jagung dan tembakau!

Kami atau tepatnya saya, ternyata lupa bin khilaf! Sebagai wong ndeso yang lahir dan besar di lereng gunung, ternyata saya melupakan sebuah rumus paten!

Yah, sebuah rumus yang datangnya entah dari mana, saya juga tidak tahu! Ingat nggak, kalau melakukan perjalanan dikampung apalagi di gunung, setiap ditanya lokasi dan jarak, masyarakat setempat selalu cenderung menjawabnya dengan kata dekat! Dekat saja! Sekilo atau dua kiloan lah! Paling seroko'an juga sampai!? Betul?

Nah ini yang saya lupa! Seharusnya saya ingat, sekilo dua kilo-nya orang di pedesaan itu sekian kali lipat dari seribu meter ukuran di ilmu matematika kita. Naaaah iya kan!?

Tahu kenapa!? Ya jelas bedalah, saya, anda dan yang lainnya dengan orang-orang pedesaan yang jauh lebih segar dan tegar hidupnya! Apalah artinya sepuluh-dua puluh kilometer bagi kita yang bagi mereka ternyata hanya sekiloan meter saja!? Jauh bagi kita, dekat bagi mereka! Begitu juga berat bagi kita ternyata ringan bagi mereka!

Aaaaah alamaaaaaak, kena prank kita di pintu masuk Desa Kabuaran! Untung nggak semuanya ikut jalan kaki rame-rame...he...he...he...

Baca Juga Yuk! Romansa si Tambeng dan Babi-Babi Belajar di Ketinggian Kabuaran

Padatnya program kerja kelompok KKN kami di Senin Minggu ke-2 kemarin, mengharuskan kami bersepuluh baru bisa kembali ke posko selepas Ashar. Bahkan kami tidak sempat untuk sekedar makan siang.

Karena di posko juga tidak ada persediaan makanan untuk makan besar bersepuluh, sedangkan untuk memasak kami juga sudah kepayahan, akhirnya kami putuskan untuk membeli di warung saja, makan siang setengah sore kami kali ini.

Kebetulan, di dekat kantor desa Kabuaran ada Warung Bibi Imah yang menurut Bang Zul, bungsu Haji Hasan pemilik rumah posko kami, menyediakan beberapa menu masakan nasional yang lumayan familiar di lidah dan di kantong, jadi recomended banget katanya.

Untuk itu, dua sejoli yang tanpa terdeteksi radar kita semua, ternyata sudah jadian beberapa hari yang lalu, Kak Rina yang juga "manajer keuangan" kami dan Mas Agus "manajer logistik" kamilah yang bertugas belanja makan siang di warung Bibi Imah.

"Bi, tolong dibungkus sepuluh ya! Eh lauknya apa ya bi yang masih ada?" Mas Agus memesan kepada seorang ibu yang berdiri dibalik etalase kaca.

"Sobung dek!" Jawab si ibu setengah berteriak dengan logat Maduranya yang medok.

"Sop Bung!?" tanya Mas Agus lagi sambil mengernyitkan dahi, tanda ada keheranan dalam hati. "Bung kok di sop?" Tanyanya dalam hati.

"Iya, sobung dek!" Jawab si Ibu lagi.

"Sop Bung itu apa? Emangnya anak-anak mau!" Tanya Kak Rina ke Mas Agus sambil berbisik.

"Sepertinya Sop Rebung, itu lho bambu muda bahannya lumpia Semarang!? Biar sajalah daripada kita kelaparan!" Jawab Mas Agus sekenanya ke Kak Rina.

"Ooooh ya sudahlah!" Jawab Kak Rina pasrah. "Iya ya daripada kita kelaparan!" Belanya dalam hati.

"Iya sudah bi, bungkus aja sepuluh ya!" Mas Agus menegaskan pada si ibu.

"Sobung kabbhi dek!" Jawab si ibu lagi.

 "Iya bi, sop bung-nya dibungkus saja sepuluh ya!" Mas Agus berusaha meyakinkan si ibu untuk dibungkuskan sepuluh nasi sop bung.

Mendengar jawaban Mas Agus, si ibu masuk ke dapur dan menghilang untuk beberapa saat. Pikir Mas Agus dan Kak Rina, si ibu mungkin sedang membungkuskan nasi pesanan mereka, sehingga keduanya memilih duduk di bangku panjang di depan etalase kaca yang di dalamnya terlihat tinggal menyisakan kuah-kuah sisa lauk saja.

Beberapa waktu berlalu, si Ibu tidak juga muncul, tiba-tiba dari pintu samping yang terhubung dengan kantor desa malah muncul Pak Tinggi atau Pak Kades Amsyari dengan istri beliau. Anehnya, melihat kami berdua Pak Tinggi Amsyari dan istrinya kok senyumnya aneh ya! Seperti sambil menahan tertawa gitu! Ada apa ya!?

Nggak lama, muncul juga si ibu di belakang Pak Tinggi Amsyari, juga sambil tersenyum. Tapi lagi-lagi, senyumnya juga aneh! Terlihat kalau sambil menahan tertawa juga! "Wadaaaah ada apa ini?" Tanya Mas Agus dalam hati.

"Mas Agus sama Mbak Rina ya yang mau sobung sepuluh bungkus!?" Tanya Pak Tinggi Amsyari, dengan bahasa Indonesia logat Madura yang medok, masih dengan balutan senyum yang mencurigakan.

"Iya Pak, kok bapak jadi tahu!" Jawab Mas Agus spontan dengan sedikit keheranan.

"Iya tadi Bibi Imah tadi ke kantor dan cerita, kalau ada anak KKN minta bungkus nasi sobung katanya. Makanya saya diminta kesini untuk menjelaskan ke Mas Agus dan Mbak Rina!" Pak Tinggi menjelaskan kepada Mas Agus dan Kak Rina, tapi kali ini hanya sambil senyum saja tidak dengan menahan tertawa seperti tadi.

"Memangnya ada apa ya pak dengan sop bung-nya!?" Tanya Mas Agus lagi ke Pak Tinggi Amsyari, keheranan.

"Jadi begini Mas Agus dan Mbak Rina, sobung dalam bahasa Madura itu artinya tidak ada atau bisa dimaknai sebagai habis, bukan jenis masakan atau makanan. Jadi maksud bibi Imah tadi menyebut kata sobung itu artinya makanannya sudah habis di warungnya" Pak Tinggi Amsyari menjelaskan kepada Mas Agus, kali ini beliau sepertinya tidak bisa lagi untuk menahan tawanya, begitu juga istri beliau bahkan juga Bibi Imah dan Kak Rina yang terlihat tertawa terpingkal-pingkal sambil memukuli lengan Mas Agus yang akhirnya juga ikutan tertawa ngakak juga!

"Astaghfirullah, maaf-maaf Bi Imah, saya pikir Sop Bung itu sop rebung! Saya benar-benar nggak tahu! Terima kasih lho Pak Amsyari, sudah memberi penjelasan, kalau begitu sekalian saja kami pamit. Kasihan anak-anak pada kelaparan di posko". Sambil menahan rasa gemas yang belum tuntas, Mas Agus dan Kak Rina berusaha pamit untuk segera membuang rasa malu sekaligus membeli nasi di tempat lain.

"Eh nggak usah beli nasi Mas Agus, kita makan bersama saja di rumah saya ya! Kasih tahu teman-teman di posko, kira-kira 30 menit lagi siap. Jangan kuatir, kita tidak akan menyajikan sop bung kok, ya!" Sambil tersenyum, kali ini giliran Bu Tinggi, eh maksudnya istrinya Pak Tinggi Amsyari yang bersuara.

"Alhamdulillah!" Jawab Mas Agus dan Kak Rina hampir berbarengan.

"Terima kasih ibu, bapak! Kalau begitu kami langsung pamit untuk memberi kabar kepada teman-teman semua untuk bersiap". Jawab Mas Agus sambil menyalami Pak Tinggi Amsyari dan ibu, juga Bibi Imah.

Karuan saja, sesampainya di posko kisah sobung ini membuat seisi posko ngakak berjamaah, terpingkal-pingkal! Bahkan Bang Taufik sampai terguling-guling di lantai sambil menahan kencing di celana! He...he...he... Sobung-sop bung!

Baca Juga Yuk! Oedipus Complex, Ketika Cinta Tak Lagi Buta (Warna)

Kedekatan kami, mahasiswa-mahasiswa KKN di ketinggian Desa Kabuaran dengan masyarakat, semakin hari semakin intim. Lama kelamaan kami merasa seperti tinggal di kampung sendiri.

Mulai dari anak-anak sampai kakek-kakek dan nenek-nenek hampir semuanya akrab dengan kami. Jika dengan anak-anak kami dekat melalui sekolah dan mengaji di masjid, maka dari pemuda kami dekat melalui karang tarunanya sedang dengan orang tuanya kami dekat melalui Yasinan dan pengajian rutin.

Tapi meski begitu, tetap saja dengan anak-anaklah kami mempunyai kedekatan yang lebih natural. Bahkan karena saking dekatnya, banyak juga lho anak-anak di Kabuaran yang lebih terbuka kepada kami dari pada kepada keluarganya sendiri. Wah...wah...wah...waaaaaah!

Nah salah satu anak yang paling suka main ke posko kami, bahkan pernah juga minta kepada orang tuanya agar diijinkan ikut tinggal bersama kami di posko adalah "si bongsor", Mahmud.

Anak SD kelas empat ini badan bongsornya bahkan lebih berat dari Bang Ihsan, anggota paling gemuk dalam kelompok KKN kami. Begitu juga dengan tinggi badannya yang lebih tinggi dari mayoritas "kakak-kakak" cewek anggota kelompok KKN di posko kami. Wooooow!

Tapi ya tetap saja, sifat kekanak-kanakannya masih menjadi tanda paling mudah untuk mengenalinya sebagai anak-anak! Selain cara dia memanggil kami, "Om dan tante!"

"Om, Abah punya koleksi playboy di rumah! Banyak!" Di suatu siang, dengan berbisik-bisik di telinga Bang Deni, Mahmud berhasil membuat kehebohan di posko.

"Hah, kok Mahmud bisa tahu!? Tanya Bang Deni yang terkaget-kaget, mendengarnya. Begitu juga dengan Bang Ihsan dan Mbak Wahyu yang juga mendengar bisik-bisiknya Mahmud.

"Ya tahulah, Mahmud sering melihatnya kalau Abah main". Jawab si Mahmud enteng saja sambil ngemut permen ungu berbentuk kaki.

"Memangnya playboy itu apaan!?" Tanya Bang Deni yang semakin syok dan penasaran mendengar jawaban enteng si bongsor.

"Playboy ya playboy Om! Masak orang kota seperti Om nggak tahu playboy?" Tanya si Mahmud balik kepada Bang Deni, terlihat sambil mengernyitkan dahi pertanda keheranan.

Mendengar percakapan Bang Deni dengan si Mahmud, Bang Ihsan dan Mbak Wahyu ikut-ikutan penasaran.

"Om Ihsan boleh lihat playboy-nya nggak!?"  Tanya Bang Ihsan tidak kalah penasaayo, sambil mendekat ke arah Mahmud.

"Boleh tapi jangan bilang siapa-siapa ya Om, karena kalau ketahuan Abah, Mahmud bisa dimarahi bahkan bisa dihukum!" Jawab Mahmud dengan bahasa Indonesia bercampur bahasa Madura yang terlihat tidak semedok para tetuhanya, sambil pamit pulang, karena sebentar lagi mau mengaji di Mushala haji Hasan.

Besoknya, Bang Ihsan yang kebetulan bertemu Pak Rajab, abahnya si bongsor, Mahmud di pasar, waktu mengantar Mbak Nina belanja bahan makanan harian untuk posko, mencoba melakukan klarifikasi perkataan Mahmud kemarin di posko, tentang playboy.

"Ooooh, Mahmud cerita ya sama mas-mas KKN soal Playboy itu!? Waduh... Mahmuuud, mahmud sudah dikasih tahu ndak boleh riya', tetap saja ngasih tahu ke orang, kan dosa jadinya kalau begini!" Sambil sedikit bersungut-sungut, Pak Rajab malah meminta maaf ke Bang Ihsan terkait kelakuan Mahmud yang disebutnya riya' itu

"Saya hanya bermaksud memperkenalkan Mahmud pada dunia lelaki yang sebenarnya mas! Tidak ada maksud lain". Sambung Pak Rajab lagi.

"Riya', dosa, dunia lelaki pula!? Kok malah ini yang jadi masalah!? Lha anak sekecil itu dikenalkan sama playboy apa ya nggak bahaya pak!?" Batin Bang Ihsan dalam hati, semakin bingung mendengar komentar Pak Rajab.

"Ya sudah, kalau mas KKN berminat, silakan main ke rumah besok malam ya! Mumpung istri saya ke Bondowoso. Nanti, kita lihat playboy saya sama-sama, kalau perlu nanti kita main berdua!" Ajak Pak Rajab ke Bang Ihsan.

"Ha!? Main berdua!? Boleh bawa teman-teman yang lain ga Pak!?" Tanya Bang Ihsan ke Pak Rajab.

"Gimana ya...!? Sebenarnya lebih asyik kalau main berdua saja. Tapi ya... sudahhlah, bawa saja teman-teman KKN yang lain, asal teman perempuan jangan diajak ya, malu!" Jawab Pak Rajab sambil memberi kode untuk melanjutkan belanjanya di kios sebelah, karena masih ada barang yang belum didapat.

Setelah kepergian Pak Rajab, datang Mbak Nina dengan belanjaannya.

"Pak Rajab tadi San!? Ngobrol apaan, penasaran  sama Playboy-nya si Mahmud!?" Tanya Mbak Nina menyelidik ke Bang Ihsan.

"Ah, mau tau aja urusan laki-laki!?" Jawab Bang Ihsan sambil nyengir kuda yang dibalas tonjokan cinta ala Mbak Nina ke lengan kekasihnya itu.

Besok malamnya, selepas shalat Isya berjamaah di langgar atau mushalla Haji Hasan, kami berlima tidak kembali ke posko, tapi langsung menuju ke rumah Mahmud, karena penasaran dengan playboy koleksi abahnya, Pak Rajab.

Begitu sampai, kami langsung diajak Pak Rajab naik ke ruangan khusus di lantai dua yang sepertinya memang didesain khusus untuk menyimpan semua koleksi-koleksi Pak Rajab.

Tapi di ruangan bernuansa biru ini kok ada lintasan-lintasan balap seperti arena balapan tamiya, sirkuit jalanan untuk formula 1 versi remote control dan juga arena buatan untuk off road mobil-mobilan remote control!?

"Lhah Playboy apa ini!?" Batin kami berlima mulai curiga. Kami diajak masuk lagi ke dalam sebuah kamar yang ternyata berisi koleksi mainan mobil-mobilan dan action figure super Hero kesukaan Pak Rajab dan Mahmud.

"Silakan mas-mas KKN melihat-lihat koleksi playboy saya, silakan pilih salah satu kalau mau main!". Pak Rajab mempersilakan kami menikmati semua koleksi yang disebutnya sebagai playboy tersebut.

"Mana playboy-nya Pak?" Tanya Mas Agus.

"Lho, ya ini playboy koleksi saya!" Jawab Pak Rajab dengan nada keherenan, melihat kami keheranan ketika mendengar penjelasannya tentang playboy koleksinya!

"Mainan ini, playboy!?" Tanya saya menegaskan lagi ke Pak Rajab.

"Iya mas! Bukankah ini memang playboy!? Play itu mainan dan boy itu anak laki-laki. Kan pas itu playboy! Ya ini mainan kami yang bikin asoy geboy"  Jawab Pak Rajab lugas dengan campuran bahasa Indonesia dan Madura Pendalungan, sambil tersenyum puas.

"Ha.....!"

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai,  

Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN 
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun