Sungguh, rangkaian kegiatan saya hari ini bersama dua bocil di rumah benar-benar sangat melelahkan! Tidak hanya sekedar menguras tenaga, tapi juga emosi! Padahal ini baru sehari, Nggak bisa saya membayangkan kalau itu seminggu, sebulan dan seterusnya!
Saya jadi membayangkan betapa lelahnya istri saya dengan semua tugas rumah tangga yang harus ia kerjakan setiap hari dari pagi bahkan sampai pagi lagi.
Semuanya dilakukannya dengan tulus dan ikhlas. Sayangnya, kita lebih sering abai dengan fakta ini!?
Ambilah contoh waktu anak kedua saya mulai aktif-aktifnya mengeksplor lingkungan sekitarnya di umur 2 tahunan, saat kakak sulungnya berumur 5 tahunan tepat di usia 6 tahun rumah tangga kami.
Artinya, dalam kurun waktu itu lebih dari 2100 hari istri saya  menjadi seorang ibu rumah tangga. Jika makan saja dihitung 3 kali sehari, maka istri saya telah memasak untuk saya dan anak-anak lebih dari 6.300 kali, mencuci piring dan perabotan rumah juga lebih dari 6.300 kali.
Masih ada aktifitas mencuci pakaian lebih dari 2.100 kali, memandikan anak-anak juga lebih dari 8.400 kali dan masih banyak lagi kelelahan dan kepayahan lain yang harus dia jalani jadi seorang ibu.
Hitung-hitungan angka di atas hanya sekedar hitungan angka ala matematika saja yang mengabaikan situasi dan kondisi riil kesehatan fisik dan psikisnya si ibu yang sudah pasti berbeda-beda di setiap momennya.
Luar biasanya, biasanya setiap saya pulang kerja istri saya masih bisa tersenyum menyambut saya datang seolah tidak ada rasa lelah sedikitpun dalam tubuhnya bahkan sering sekali setelahnya dia masih sanggup memasakkan makanan favorit saya dan kadang-kadang bahkan memijat pundak saya yang sering terasa nyeri. Masha Allah!
Meskipun begitu, masih saja saya merasa dongkol dan bersungut-sungut ketika di suatu waktu saya mendapati masakan istri saya tidak sesedap biasanya. Entah kurang kaldunya, entah kurang penyedapnya, garamnya bahkan lupa nambah kondimennya.
Bahkan pernah suatu waktu masakan istri saya yang sebenarnya merupakan jenis masakan kesukaan saya, yaitu makanan berkuah kaldu, tidak saya sentuh sama sekali, gara-gara kuahnya sedikit dan rasanya hambar tidak seperti biasanya yang wani bumbu alias bumbunya super lengkap dengan citarasa khas keluarga kami yang cenderung asin pedas.
Sudah begitu, wajah bete saya jelas-jelas memperjelas kekecewaan saya. Kalau sudah begini, biasanya memang isteri saya yang kalang kabut.
Tapi setelah saya renungkan, rasanya tidak mungkin istri saya sengaja memasak yang tidak enak untuk sayur kesukaan saya itu. Apalagi kalau dipikir-pikir, baru sekali ini masakan istri saya nggak enak. Sedangkan ribuan kali lainnya enak dan saya suka.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!