Sebagai keluarga yang bertumbuh dari komitmen kesadaran bersama untuk membangun rumah tangga "secara bersama-sama" juga, saya dan istri dari awal sudah berkomitmen bahwa semua aktifitas yang muncul sebagai konsekuensi dari lahirnya keluarga baru kita, merupakan tanggung jawab bersama.
Maksud menjadi tanggung bersama di sini, salah satunya adalah kita tidak mengenal adanya "jenis kelamin pada pekerjaan" seperti yang pernah ditulis dan dijabarkan oleh Arief Budiman dalam bukunya yang unik, pembagian kerja secara seksual pernah di terbitkan oleh Gramedia di awal-awal 80-an.
Baca Juga Yuk! Tembang Ancung-Ancung dan Episode Heroik "Bapakku Arena Bermainku!"
Kami bermaksud tidak membeda-bedakan pekerjaan rumah tangga itu berdasarkan kelamin seperti yang sudah terlanjur menjadi budaya di lingkungan kita selama ini. Â
Misalkan, memasak, mencuci piring dan pakaian, menyapu dan ngepel lantai atau menyeterika baju yang lebih kita kenal sebagai pekerjaan domestik alias pekerjaan rumah tangga merupakan domainnya perempuan alias ibu-ibu rumah tangga.
Tapi, ternyata komitmen untuk menjadikan semua aktivitas adalah tanggung jawab bersama ini bukan pekerjaan yang mudah. Terbukti, saat istri kebetulan ada pelatihan di luar kota dan meninggalkan duo bocil, balita dan batita di rumah bersama saya hanya sehari semalam saja, sudah serasa setahun lamanya! Hadeeeeeeh...
Saya harus memasak air setiap mereka mau mandi sekalian memandikan mereka, menyapu lantai rumah dan halaman, mencuci piring dan pakaian, memasak nasi dan menyediakan sarapan dan juga makan di 3 waktu makan berbeda untuk saya sendiri dan juga si-duo bocil.
Saya juga harus menemani anak-anak bermain, membereskan mainan mereka yang berantakan, sekaligus berkali-kali harus melerai saat mereka bertengkar dan kadang-kadang berkelahi, maklum duo lelaki kecil ini sedang senang-senangnya mengeksplorasi lingkungan sekitar termasuk "teritorialnya"! He...he...he...
Tidak hanya itu, saya juga harus membersihkan kotoran mereka ketika mereka BAB, mengganti popok atau celana mereka. Begitu juga ketika susu dan makanan mereka berhamburan di lantai, sehingga juga harus membersihkan badan dan mengganti baju-baju mereka dilanjut ngepel lantai.
Belum lagi, kalau sampai pada jam tidur siang mereka! Masha Allah, ternyata susah banget mengantar mereka istirahat siang yang sebenarnya sudah menjadi rutinitas mereka dengan ibunya.
Sungguh, rangkaian kegiatan saya hari ini bersama dua bocil di rumah benar-benar sangat melelahkan! Tidak hanya sekedar menguras tenaga, tapi juga emosi! Padahal ini baru sehari, Nggak bisa saya membayangkan kalau itu seminggu, sebulan dan seterusnya!
Saya jadi membayangkan betapa lelahnya istri saya dengan semua tugas rumah tangga yang harus ia kerjakan setiap hari dari pagi bahkan sampai pagi lagi.
Semuanya dilakukannya dengan tulus dan ikhlas. Sayangnya, kita lebih sering abai dengan fakta ini!?
Ambilah contoh waktu anak kedua saya mulai aktif-aktifnya mengeksplor lingkungan sekitarnya di umur 2 tahunan, saat kakak sulungnya berumur 5 tahunan tepat di usia 6 tahun rumah tangga kami.
Artinya, dalam kurun waktu itu lebih dari 2100 hari istri saya  menjadi seorang ibu rumah tangga. Jika makan saja dihitung 3 kali sehari, maka istri saya telah memasak untuk saya dan anak-anak lebih dari 6.300 kali, mencuci piring dan perabotan rumah juga lebih dari 6.300 kali.
Masih ada aktifitas mencuci pakaian lebih dari 2.100 kali, memandikan anak-anak juga lebih dari 8.400 kali dan masih banyak lagi kelelahan dan kepayahan lain yang harus dia jalani jadi seorang ibu.
Hitung-hitungan angka di atas hanya sekedar hitungan angka ala matematika saja yang mengabaikan situasi dan kondisi riil kesehatan fisik dan psikisnya si ibu yang sudah pasti berbeda-beda di setiap momennya.
Luar biasanya, biasanya setiap saya pulang kerja istri saya masih bisa tersenyum menyambut saya datang seolah tidak ada rasa lelah sedikitpun dalam tubuhnya bahkan sering sekali setelahnya dia masih sanggup memasakkan makanan favorit saya dan kadang-kadang bahkan memijat pundak saya yang sering terasa nyeri. Masha Allah!
Meskipun begitu, masih saja saya merasa dongkol dan bersungut-sungut ketika di suatu waktu saya mendapati masakan istri saya tidak sesedap biasanya. Entah kurang kaldunya, entah kurang penyedapnya, garamnya bahkan lupa nambah kondimennya.
Bahkan pernah suatu waktu masakan istri saya yang sebenarnya merupakan jenis masakan kesukaan saya, yaitu makanan berkuah kaldu, tidak saya sentuh sama sekali, gara-gara kuahnya sedikit dan rasanya hambar tidak seperti biasanya yang wani bumbu alias bumbunya super lengkap dengan citarasa khas keluarga kami yang cenderung asin pedas.
Sudah begitu, wajah bete saya jelas-jelas memperjelas kekecewaan saya. Kalau sudah begini, biasanya memang isteri saya yang kalang kabut.
Tapi setelah saya renungkan, rasanya tidak mungkin istri saya sengaja memasak yang tidak enak untuk sayur kesukaan saya itu. Apalagi kalau dipikir-pikir, baru sekali ini masakan istri saya nggak enak. Sedangkan ribuan kali lainnya enak dan saya suka.
Kalau sudah begitu kenapa saya harus marah, kenapa saya harus kecewa dan egois sampai  melupakan puluhan ribu kebaikan istri saya yang sebelumnya!? Masa iya, kebaikan istri saya yang puluhan ribu kali lipat lebih banyak,  hilang begitu saja dalam sekejap hanya karena sekali saja masakannya tidak enak di mulut saya!?
Jika Islam sebagai panduan hidup dan kehidupan yang rahmatan lil alamin saja begitu menghargai peran istri dan ibu di  rumah, apalah kira-kira nilai kita sebagai laki-laki dan juga sebagai suami di hadapan Allah SWT, jika kita tidak mampu menghargai, memuliakan, menyayangi dan membantu istri-istri kita.
Tidak heran jika kemudian kita umat Islam juga memahami, ketika Rasulullah SAW seorang utusan Allah, pemimpin negara dan juga seorang panglima perang yang disegani kawan maupun lawan, Â masih mau menyempatkan diri untuk membantu pekerjaan istrinya di rumah.
Baca Juga Yuk! Mubaadalah, Konsep "Bapak Rumah Tangga" ala Rasulullah SAW
Sekarang, setelah 2 dekade rumah tangga kami, saya semakin terbiasa melakukan semua jenis pekerjaan rumah tangga yang ada di hadapan dengan kedua tangan saya sendiri, terutama ketika istri saya juga sedang ada kerjaan lain yang lebih penting dan lebih perlu.Â
Setidaknya apa yang saya lakukan sedikit membantu meringankan pekerjaan-pekerjaan istri saya di rumah.
Bahkan sebagai ungkapan perhatian saya kepada istri, Â tidak segan-segan juga saya sesekali untuk memijat bagian pundak istri saya dengan penuh kasih sayang hingga dia tertidur pulas.Â
Saat-saat seperti itulah saya selalu memandangi wajah istri saya yang mulia sambil melafazkan doa-doa kebaikan untuknya, untuk keluarga dan juga untuk orang-orang terkasih di sekitar kita.
Selamat istirahat Sayangku! Semoga kelak, Allah SWT menjadikanmu sosok mujahidah sejati tanpa harus turun ke medan pertempuran. Semoga, kita bisa mengarungi progres hidup dan kehidupan yang selalu lebih cerah, lebih baik dan penuh dengan senyuman di bawah keridhaan Allah SWT. Bersama-sama untuk selamanya. Amin.
Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H