Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dari Jejak Gajah Mada sampai James Cook Si Penemu Benua Australia, Ini Sisi Unik Masa Lalu Sabu Raijua

6 Februari 2021   13:08 Diperbarui: 7 Februari 2021   18:52 3020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahapatih Gajah Mada diyakini Masyarakat Raijua sebagai Leluhurnya! Bahkan Kapten James Cook juga pernah singgah di Pulau Sabu untuk meminta bantuan logistik pada penguasa saat itu.

Disinggahi Kapten James Cook

Kapten James Cook yang dikenal sejarah sebagai penemu Benua Australia, Kepulauan Hawai dan orang pertama yang mengelilingi sekaligus membuat peta Selandia Baru, ternyata juga pernah singgah di Pulau Sabu, satu dari tiga pulau yang sekarang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Sabu Raijua, kabupaten ke-21 dari Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Pada tahun 1770, Kapal HM Bark Endeavour yang merupakan salah satu bagian dari armada kapal penelitian Angkatan Laut Kerajaan Inggris yang terlibat dalam penemuan pertama benua Australias dan Selandia Baru tersebut, terdampar di Pulau Sabu karena kehabisan perbekalan dalam perjalanannya menuju Batavia dan baru bisa berlayar kembali setelah mendapatkan bantuan logistik dari penguasa Pulau Sabu pada saat itu, Raja Ama Doko Lomi Djara sehingga dapat berlayar kembali.

Itulah salah satu catatan sejarah yang akhirnya terungkap dan membuka mata kita semua masyarakat nusantara, terhadap pulau terluar kedua Indonesia di kawasan Sunda Kecil setelah Pulau Rote, yaitu Pulau Sabu atau dikenal juga sebagai Pulau Sawu/Pulau Savu, satu dari empat pulau bagian dari wilayah Kabupaten Sabu Raijua, selain Pulau Raijua, Pulau Dana dan pulau Wadu Mea.

Sebelum kasus Pilkada pemilihan Bupati Kabupaten Sabu Raijua yang memenangkan Orient P. Riwu Kore, pemegang tiga gelar Doktor sekaligus  dari Amerika Serikat menjadi buah bibir masyarakat nusantara, karena sosok sang doktor ditengarai bekewarganegaraan ganda, Indonesia dan Amerika (bahkan sang anak, Franklin D Riwu Kore saat ini juga tercatat sebagai sniper tentara amerika), kabupaten yang baru resmi berdiri pada 29 Oktober 2008.

Hasil pemekaran dari Kabupaten Kupang ini sepertinya akan tetap sunyi senyap layaknya daerah pinggiran dan perbatasan lainnya yang sebagian besar memang minim publikasi, sehingga namanya terasa asing dan jarang terdengar. 

Kabupaten Sabu Raijua | Google map
Kabupaten Sabu Raijua | Google map

Jejak Sejarah di Pulau Sabu

Nama Kabupaten Sabu Raijua yang mempunyai bentang wilayah seluas 460,47 km² tersebut diambil dari nama dua pulau terbesar yang ada, yaitu Pulau Sabu dan Pulau Raijua.

Selain jejak James Cook, ternyata dalam keheningan pulau-pulau di Kabupaten Sabu Raijua, juga menyimpan banyak jejak sejarah menarik dan juga eksotika alam spesifik yang begitu menggoda siapa saja yang pernah datang dan melihatnya.

Jejak Bangsa India

Berdasarkan syair-syair kuno berbahasa Sabu, khususnya dari suku Mone Ama dapat digali informasi terkait asal-usul nenek moyang Pulau Sabu dan sekitarnya yang diduga kuat berasal dari negeri India.

Dalam syair-syair itu mengungkap negeri asal orang Sabu terletak sangat jauh di seberang lautan di sebelah Barat pulau yang mereka sebut sebagai Hura atau bernama Hura. 

Leluhur orang Sabu tidak dapat melafalkan kata Surat dan Gujarat dengan fasih dan nyaman sebagaimana mestinya, sehingga mereka menyebutnya Hura.

Diduga, nama Hura ini merupakan bentuk adaptasi dari pelafalan masyarakat Sabu terhadap nama Surat atau Kota Surat, sebuah daerah di wilayah Gujarat Selatan yang terletak di sebelah Kota Bombay, Teluk Cambay, India Selatan yang pada abad ke 3-4 sudah terkenal sebagai pusat perdagangan dengan The Coromandel Coast-nya di India Selatan. 

Teori ini sejalan dengan sejarah terjadinya eksodus alias perpindahan penduduk besar-besaran dari India Selatan ke kepualauan Nusantara. Akibat ekspansi Raja Chandragupta II dari India Utara yang berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di seluruh daratan India termasuk kerajaan Gujarat di India Selatan yang menyebabkan peperangan panjang antara tahun 375-413 atau di seputar abad ke-3 hingga abad ke-4 .

Diduga kuat, rombongan pelarian perang dari Kota Surat di wilayah Gujarat ini terdampar dan akhirnya menetap di Pulau Sabu yang mungil dan aman, sekaligus menjadi tempat pemberhentian terakhir mereka.

Rombongan dari India selatan yang konon dibawah kepemimpinan Kika Ga dan saudaranya Hawu Ga inilah penduduk pertama, sekaligus nenek moyang masyarakat Pulau Sabu. Setelah terjadi kawin mawin campur dengan ras austronesia, mereka menyebar hingga ke pulau-pulau sekitar.

Masyarakat Pulau Sabu menyebut dirinya sebagai Do Hawu atau Orang dari Hawu dan menyebut pulau mereka sebagai Rai Hawu yang artinya Tanah dari Hawu. 

Nama ini menurut mereka berasal dari nama Hawu Ga, saudara Kika Ga pemimpin rombongan eksodus dari India yang sampai ke Pulau Sabu, salah satu leluhur mereka yang pertama kali menapakkan kaki di Pulau Sabu.


Jejak Gajah Mada dan Majapahit

Ekpansi Kerajaan Majapahit dalam rangka mempersatukan nusantara pada abad ke-14 ternyata juga meninggalkan jejak di titik-titik terluar nusantara, salah satunya di Pulau Sabu. 

Bahkan, di Pulau terbesar diantara empat pulau lain di wilayah Keabupaten Sabu Raijua ini masih terpelihara tradisi cerita lisan yang berlaku secara turun temurun yang mengisahkan kekuasaan raja Majapahit yang sampai di Pulau Sabu yang diperkirakan terjadi pada abad ke-14 hingga awal abad ke-16. 

Bahkan, masyarakat Raijua meyakini Mahapatih Gajah Mada merupakan leluhur atau nenek moyang mereka. Terlebih masyarakat adat yang masih hidup dalam perkampungan adat (darra Rae) yang masih kuat memegang adat dan yang diwariskan para leluhur.

Selain sebutan atau panggilan nama laki-laki Niki Maja, nama orang di Pulau Raijua juga unik dan menunjukkan adanya keterkaitan fonetis dengan Gajah Mada yang dikenal masyarakat sebagai Maja, seperti nama Raja, Mojo, Gaja, Medo, Ratu atau Mada.

Tidak hanya itu, disini juga ada peninggalan keris maja, jubah/baju perang maja, tombak maja, tempat duduk maja, rumah maja, perahu maja, sawah maja dan banyak lagi lainnya yang diyakini masyarakat sebagai peninggalan Gajah Mada yang telah terpelihara beratus ratus tahun dan diwariskan secara turun temurun. 

Selain warisan cerita lisan, memang banyak artefak warisan bersejarah di Pulau Raijua yang diklaim masyarakat setempat merupakan peninggalan Gajah Mada, seperti batu peringatan untuk Raja Majapahit yang disebut Wowadu Maja (secara fonetis mirip dengan bahasa Jawa, watu maja yang artinya juga sama, batu maja) dan sebuah Sumur Maja di Daihuli dekat Ketita, ada juga perayaan adat seperti Hidu badda maja (tangkap hewan maja), pehere jara maja (pacuan kuda), nuni kowa maja (menurunkan perahu maja ke laut)

Dari pakaian adat di Pulau Raijua dan Pulau Sabu yang mempunyai warna dasar merah dan putih seperti bendera Indonesia, ternyata juga diyakini berasal dari "warna" bekal Gajah Mada saat mempersatukan nusantara, berupa gula merah dan daging kelapa yang berwarna putih yang saat ini dimanifestasikan masyarakat ke dalam salah satu kuliner khas masyarakat Sabu dan Raijua bernama Wo Peraggu 

Wo Peraggu adalah makanan yang terbuat dari kelapa yang dicampur gula merah lalu di goreng hingga kering. Makanan yang biasa menjadi bekal masyarakat Sabu dan Raijua berkelana ini, bisa tahan lama dan tidak akan mudah basi, sehingga tetap bisa dimakan selama berhari hari dalam perjalanan. 

Sedangkan dari beberapa cerita lisan masyarakat juga didapati kisah Raja Majapahit yang sangat dihormati oleh masyarakat Pulau Sabu dan Raijua, bahkan raja dan istrinya konon tidak saja pernah singgah tapi juga pernah tinggal di Ketita Pulau Raijua dan Pulau Sabu.

Selain itu, jejak Majapahit juga bisa ditemukan pada keberadaan sebuah desa bernama Tana Jawa, uniknya penduduk desa ini memiliki karakter dan ciri-ciri seperti orang Jawa, begitu juga dengan kampung Mulie, didekat pelabuhan Mesara yang secara fonetis identik dengan bahasa Jawa mulih atau mulihe yang berarti pulang atau pulangnya.

Selain itu, di Raijua juga ada Udu Nadega yang diberi julukan Ngelai yang menurut cerita adalah keturunan orang-orang Majapahit. Udu merupakan sub rumpun dari rumpun keluarga yang terikat pada komplek lokasi pemukiman tertentu (genelogis-teritorial), sebagai konsekuensi dari pembagian wilayah kekuasaan berdasarkan jumlah anak/keturunan pada masa Wai Waka (generasi ke 18).

Terlepas dari klaim sosok Gajah Mada, Sang Mahapatih Majapahit sebagai leluhur masyarakat Niki Maja di Pulau Raijua dan juga teori asal-usul masyarakat Sabu Raijua yang diklaim dari India, Setidaknya, keberadaan Jejak India dan Majapahit di pulau Sabu dan sekitarnya ini, semakin memperkuat dugaan adanya jaringan perdagangan Trans-Asiatic kuno di wilayah Nusa Tenggara. 

Batu peringatan untuk Raja Majapahit | sindonews.com
Batu peringatan untuk Raja Majapahit | sindonews.com
Jejak Portugis dan Belanda

Bangsa Portugis dan armada dagang Belanda, VOC yang sama-sama mengincar beragam olahan cendana di wilayah Sunda Kecil atau kawasan Nusa Tenggara sekarang, sama-sama pernah singgah di pulau Sabu. Hanya saja, sepertinya Belanda yang akhirnya bisa menjalin komunikasi bahkan kerjasama dengan penguasa Pulau Sabu pada abad 18.

Pada tahun 1756, dibawah tipu muslihat dan politik adu domba Belanda yang mengetahui keandalan orang-orang Sabu yang pemberani dan lincah, Raja Sabu menandatangani kontrak penyediaan tentara atau pasukan bersenjata bagi Belanda demi kepentingan pertahanannya di Kupang.

Pada tahun 1838, dengan kelicikannya Belanda kembali memanfaatkan kelihaian orang Sabu yang memang terkenal lincah dan gesit di bidang militer untuk menghentikan kebiasaan orang Ende untuk mendapatkan budak dengan cara menyerang Sumba. 

Untuk alasan totalitas dan efektifitas, ekspedisi ini mendorong orang Sabu untuk bermigrasi ke Sumba, bahkan untuk memperkuat kerjasamanya, akhirnya masing-masing penguasa merasa perlu untuk menyambung tali kekerabatan melalui perkawinan yang diawali antara Raja Melolo di Sumba Timur dan Raja Sabu di Habba (Seba).

Semoga Bermanfaat!
Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun