Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Tergoda "Wadai Untuk" Mbak Mida

4 Februari 2021   14:23 Diperbarui: 5 Februari 2021   01:32 1367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu kebiasaan unik Urang Banjar adalah "hobi komunalnya" mengudap wadai (kue; bahasa Banjar) yang bercita rasa manis legit kapan saja, bahkan ketika perut sudah terasa penuh sekalipun oleh makan berat yang menjadi menu makanan utama, seperti nasi berikut lauk pauknya yang telah disantap sebelumnya.

Sepertinya itu juga penyebab, wadai atau kue khas Banjar rata-rata bercita rasa manis dan super legit, sehingga relatif susah menemukan varian yang bercita rasa asin. Begitu pula dengan para penjualnya yang rata-rata tak kalah manis dan leg... eeeeeh kok jadi ngelantur!

Maksud saya, begitu juga penjual wadai-nya yang juga banyak tersebar di berbagai sudut kota dan uniknya kalau diperhatikan, rata-rata semuanya mempunyai pelanggan masing-masing, sehingga jualan wadai-nya selalu habis, tidak menyisakan barang sedikit.

Setelah hampir dua dekade lebih bertransformasi dalam budaya masyarakat Banjar pesisir, sepertinya saya juga mulai tertular "hobi komunal" Urang Banjar tersebut, mulai suka mengonsumsi wadai bercita rasa manis.

Walaupun biasanya "hanya" untuk dua momen saja, yaitu pagi hari sebagai pemanis liur alias sarapan pembuka dan sore hari saat berbuka puasa, itupun kalau pas sedang berpuasa, kalau tidak berarti yang tidak mengonsumsi wadai manis, karena pada dasarnya alias sudah bawaan dari sononya, saya lebih suka mengudap makanan dengan cita rasa gurih-asin. Nah lhooooo!

Wadai Untuk Isi Kacang Tanah | @kaekahaa
Wadai Untuk Isi Kacang Tanah | @kaekahaa

"Wadai Untuk"

Salah satu kudapan atau wadai manis paling populer di lingkungan masyarakat Banjar, mulai dari pahuluan di Daerah Hulu Sungai (Kalsel bagian atas/utara) sampai ke Banjar pesisir di seputar Banjar Bakula alias metropolitan Banjarmasin dan sekitarnya (Kalsel bagian bawah/Selatan) adalah wadai untuk atau ada juga yang menyebutnya sebagai wadai untuk-untuk.

Wadai untuk inilah kudapan rakyat sejuta umat alias kesukaan sebagian besar Urang Banjar, mau tua-muda apalagi anak-anak, mau kaya-miskin, mau orang kota, mau orang udik semua pasti kenal sama wadai untuk yang legendaris.

Wujud fisik wadai untuk mirip roti goreng atau orang Madiun dan sekitarnya menyebutnya sebagai golang-galing, tapi lebih lembut dan padat. 

Jadi selain cita rasa manisnya cukup pas menjadi teman minum teh di pagi hari, mengudap wadai untuk juga memberi efek mengenyangkan, sehingga cocok juga menjadi menu pembuka pas buka puasa di sore hari. 

Hebatnya lagi, wadai untuk harganya relatif sangat murah. Rata-rata harga di tingkat pengecer adalah Rp 1000 sampai Rp 2000-an saja per bijinya, murah kan? 

Bedanya lagi, kalau golang-galing umumnya kosongan alias tidak ada isianya (itu 30 tahunan silam lho ya, nggak tahu kalau sekarang he...he...he...!), maka wadai untuk selain ada varian kosongan atau tanpa isi, dia juga mempunyai beberapa varian dengan isian yang berbeda-beda yang biasanya bisa diketahui dan dikenali dengan dua cara, yaitu ada yang dari bentuknya dan ada juga dari tanda warna tertentu di bagian atas wadai (mirip penanda kue bak pau).

Biasanya, wadai untuk yang berbentuk bulat sempurna seperti bola, isinya adalah kacang tanah. 

Wadai untuk yang bentuknya lonjong dan agak memanjang yang juga biasa disebut sebagai untuk panjang, isinya adalah pisang. 

Sedangkan wadai untuk yang bertanda warna umumnya akan berbentuk bulat gepeng atau bulat pipih dengan bagian tengah menggembung lebih tebal seperti piring terbang. 

Jika di bagian atasnya bertanda warna hijau, maka berisi kacang hijau, tanda warna merah berisi inti kelapa, tanda warna cokelat berisi cokelat dan jika hanya bertabur biji minyak (sebutan Urang Banjar untuk biji wijen), maka wadai untuk-nya merupakan kosongan alias tanpa isi.  

Tapi, belakangan banyak juga yang sengaja menaburkan biji minyak ke dalam wadah wadai untuk bukan sebagai penanda untuk wadai untuk kosong, tapi memang untuk menambah daya tarik tampilan wadai-nya.

Wadai Untuk Pisang | @kaekaha
Wadai Untuk Pisang | @kaekaha

Tertarik Mencoba "Wadai Untuk"?

Untuk bisa menikmati wadai untuk dengan sensasi kenikmatan maksimal, menurut referensi yang telah menjadi  kebiasaan Urang Banjar adalah dengan cara mengudapnya di pagi hari saat sarapan, sambil ditemani teh hangat dengan tingkat manis yang sedang-sedang saja.

Kenapa harus pagi hari?

Pada dasarnya, wadai untuk bisa dinikmati kapan saja, tapi jika pagi hari, selain relatif banyak yang menjual, variannya juga jauh lebih banyak dan lengkap, sedangkan untuk waktu-waktu selebihnya, meskipun ada saja yang menjual, tapi umumnya juga tidak selengkap di pagi hari. 

Jadi, di pagi hari kita bisa lebih leluasa memilih varian wadai untuk, mau isi pisang berbentuk lonjong seperti kesukaan saya atau isian lainnya untuk teman sarapan layaknya Urang Banjar!

Untuk mendapatkan wadai untuk di pagi hari, kita bisa membelinya di warung atau kedai khusus penjual wadai yang banyak bertebaran di Kota 1000 Sungai sejak turun dari shalat Subuh. 

Para penjual ini, biasanya tidak hanya menjual wadai untuk saja. Jika warung makan, biasanya juga menjual menu-menu sarapan khas Urang Banjar seperti nasi kuning, lontong tampusing, lontong batumis dan ada juga katupat kandangan. Sedangkan, untuk kedai wadai biasanya juga menjual beragam wadai atau kue-kue lainnya. 

Wadai di Lapak Jualan Mbak Mida | @kaekaha
Wadai di Lapak Jualan Mbak Mida | @kaekaha

Lapak "Wadai" Mbak Mida

Untuk menikmati wadai untuk, biasanya kami membelinya di warung yang telah menjadi langganan keluarga sejak eranya mendiang mertua saya, warung bahari (Zaman dulu; bahasa Banjar) tanpa nama yang wadai untuk-nya memang terkenal sejak dulu dan warungya juga tidak terlalu jauh dari rumah kami, tapi sayang covid-19 telah menamatkan riwayat sidin (beliau; bahasa Banjar).

Sejak saat itu atau beberapa bulan yang lalu, kami mengenal olahan wadai untuk Mbak Mida yang berjualan aneka wadai di lapak sederhananya di depan sebuah ruko kosong di pintu keluar komplek tempat tinggal kami. Wadai untuk-nya uuuuuuuenaak tenan!

Tidak sengaja, waktu mencari wadai untuk acara keluarga di lapaknya Mbak Mida, ternyata dalam sebuah kotak transparan yang tertutup rapat dan terpisah dari wadai lainya.

Saya melihat ada wadai untuk beraneka isian, memang sudah tidak panas lagi (Urang Banjar terbiasa suka makan wadai untuk hangat beberapa saat setelah diangkat dari penggorengan) tapi penampilan wadai untuk-nya yang lebih montok dan lebih berisi plus tampilan warnanya yang lebih cerah dengan taburan biji minyak memberi kesan enak dan bersih, sehingga sangat menggoda.

Mbak Mida mengaku, sengaja membuka lapak wadai ini setelah usahanya dengan sang suami bangkrut gara-gara krisis bisnis batu bara yang menyebabkan perekonomian regional Kalimantan Selatan sempat goyang beberapa tahun silam. 

Kecuali rumah yang ditinggali, hampir semua harta bendanya ludes untuk membayar hutang usaha, bahkan sampai saat ini masih juga ada sisa hutang yang harus dibayarnya secara mencicil.

Sedang suami Mbak Mida sendiri, selain banting setir menjadi perajin souvenir dan mainan anak-anak, juga menjadi sopir antar jemput untuk anak-anak sekolah menggunakan mobil milik rekanan. 

Sayang, usaha suami yang sebenarnya cukup untuk menopang kehidupan bersama dua orang buah hatinya tersebut, setahun terkahir juga stop total akibat badai pandemi covid-19. 

Orang lebih memilih membeli makan dari pada beli souvenir apalagi mainan anak-anak dan libur panjang anak-anak sekolah yang dilanjut dengan aktivitas belajar online dari rumah, jelas memaksa aktivitas antar jemput anak sekolah juga libur panjang yang artinya tidak ada pemasukan untuk sang suami.

Awalnya, Mbak Mida berjualan aneka wadai termasuk wadai untuk-untuk di depan rumahnya, sekadar membantu suami menambah penghasilan saja, tapi karena penghasilan suami saat ini sedang tidak ada, mau tidak mau Mbak Mida harus berjualan lebih serius lagi. 

Salah satunya dengan memindahkan lapak jualannya di lokasi yang sekarang, di depan ruko kosong yang katanya milik teman sang suami yang usahanya gagal dan sekarang juga memilih pulang kampung ke salah satu daerah di Pulau Jawa.

Mbak Mida Sedang Melayani Pembeli | @kaekaha
Mbak Mida Sedang Melayani Pembeli | @kaekaha

Perspektif Bisnis dari Sisi Berbeda

Di awal perkenalan dengan Mbak Midan ini, ada kejadian dahsyat yang sangat menginspirasi saya dan istri yang sepertinya tidak akan pernah kami lupakan seumur hidup! 

Sebuah fragmen kehidupan yang secara nyata mengangkat pesan yang begitu inspiratif, memandang bisnis atau usaha dari perspektif atau sudut pandang berbeda yang mungkin hanya terpikirkan oleh kita tapi sulit untuk take action!

Begini ceritanya!

Saat kami memilih wadai untuk dan sengaja agak berlama-lama sedikit, karena sepertinya Mbak Mida yang nge-click alias nyetel frekuensinya dengan istri saya sedang gayeng-gayengnya bakisah sepenggal cerita kehidupannya. 

Tiba-tiba datang kai-kai (kakek-kakek; bahasa Banjar) lumayan sepuh datang menghampiri lapak jualan Mbak Mida dan minta dibungkuskan "wadai untuk semalam".

Kata semalam dalam bahasa Banjar berarti kemarin. Jadi, secara leksikal si-kai minta dibungkuskan wadai untuk kemarin, maksudnya mungkin wadai untuk yang tidak terjual. 

Tapi, tanpa menjawab Mbak Mida langsung membungkuskan setidaknya 3 (tiga) wadai untuk dengan isian berbeda untuk diserahkan kepada si-kai. Menerima bungkusan wadai itu, si-kai langsung berlalu pergi tanpa membayar, sambil mengucap "terima kasih cuk laaaah!"

"Lho, sidin nggak bayar mbak ?", tanya saya, penasaran.

"Nggak papa Om, kasihan! Tiap hari sidin ke sini kok dan selalu minta wadai untuk semalam!" , jawab Mbak Mida sambil terus melayani pembeli yang lain.

"Setiap hari? Memangnya nggak rugi mbak, kan ujungan (keuntungan; bahasa Banjar) wadai ini hanya 200-300 rupiah, saja?", tanya saya dengan polos.

"Insha Allah enggak om, Allah nanti yang ganti! Berlipat-lipat malah... Apalagi kalau wadai buatan sendiri ujungannya tebanyak sedikit", jawab Mbak Mida sambil tersenyum.

Masha Allah, di dalam kesempitan dan himpitan ekonomi yang mendera, dengan penghasilan yang tidak seberapa Mbak Mida masih tetap menyempatkan diri bersedekah. Bahkan tanpa sepengetahuan Mbak mida, kami juga sering mengamati dari jauh, beliau memberi nasi bungkus kepada peminta-minta lain dan juga memberikan wadai atau nasi yang dijualnya kepada pembeli, terutama anak-anak yang uangnya kurang.

Semoga Bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Baca juga:  Unik, Ternyata di Banjarmasin Tidak Ada Arah Mata Angin!    

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun