Metamorfosis Panahan
Olahraga memanah atau kita sering menyebutnya sebagai panahan, sejauh ini sepertinya masih belum menjadi cabang olahraga yang populer di nusantara.
Ya, seperti layaknya sepakbola atau bulutangkis, tapi bukan berarti cabang olahraga yang lahir dari proses metamorfosis tradisi berburu yang akhirnya menjadi alat berperang dan selanjutnya menjadi cabang olahraga yang dikompetisikan ini tidak ada penggemarnya!
Baca Juga:Â "Negeri Bedil" Cipacing, Etalase Kreativitas Kelas Dunia di Sudut Kota Tahu Sumedang
Sejatinya, masyarakat nusantara sudah sejak lama mengenal aktifitas memanah yang dibuktikan dengan adanya tradisi dan budaya memanah di beberapa daerah di Indonesia yang sampai sekarang masih ada dan eksis, baik sebagai bagian dari kegiatan olahraga tradisional, maupun bagian dari ritual aktivitas budaya.
Jika di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kita mengenal rourou atau juga silogui, panah beracun untuk berburu yang masih eksis sampai sekarang.Â
Bahkan tiap tahun juga diselenggarakan festival dan perlombaan memanah (mupatok), maka dari Jogjakarta kita mengenal jemparingan, olahraga panahan tradisonal yang didalamnya sarat dengan filosofi dan perlambang khas peninggalan tradisi budaya mataram.
Begitu juga di Sumedang Jawa Barat, olahraga panahan tradisional yang biasa disebut panahan Kasumedangan yang telah berusia beberapa abad, juga masih eksis.
Pasca trio Srikandi atlet beregu panahan Indonesia yang terdiri dari Kusuma Wardhani, Lilies Handayani, dan Nurfitriyana Saiman berhasil mempersembahkan medali perak di ajang Olimpiade 1988 yang diselenggarakan di Seoul, Korea Selatan.
Prestasi mereka yang ternyata juga tercatat sebagai raihan medali pertama bagi Indonesia di ajang olahraga terbesar di dunia tersebut, meskipun masih belum terlalu signifikan, tetap saja menjadi momentum terbaik naiknya popularitas olahraga panahan di Indonesia, saat itu.
Setidaknya, momentum tersebut ikut berperan membuka mata dan sekaligus kesadaran masyarakat nusantara untuk kembali "melihat" olahraga panahan, yang sebetulnya justeru telah menjadi bagian budaya nusantara sejak berabad-abad silam, berikut beragam kearifan lokal yang menyertainya.
Baca Juga:Â Senandika Esok Hari, Mengudap "Legitnya Madu" Ubi Cilembu di Kota Buludru, Sumedang
Adanya label "tradisi" pada olahraga panahan ini semakin menarik jika kita hubungkan dengan pernyataan (mantan) Menpora Imam Nahrawi, saat ditanya awak media beberapa tahun silam, terkait minimnya prestasi beberapa cabang olahraga yang notabene memang berasal dari luar, seperti bola basket, sepakbola dll.
"Tanpa adanya tradisi kita tidak akan mungkin berprestasi"
Begitulah jawaban beliau saat itu. Sengaja bermaksud mengambil "hikmah" serta sisi positif pesan beliau tersebut, tentu kita semua mafhum dengan pernyataan beliau.Â
Kata tradisi dalam konteks pernyataan beliau bisa berarti dua hal, yaitu tradisi sebagai bagian budaya nusantara warisan leluhur, seperti panahan dan seni beladiri silat, serta tradisi sebagai bagian dari upaya pembiasaan atau pentradisian.Â
Jadi, bisa saja cabang olahraga tersebut berasal dari luar nusantara, tapi karena beberapa sebab, mungkin karena banyak penggemarnya, makanya sengaja ditradisikan baik oleh lembaga/institusi terkait melalui berbagai kompetisi atau justeru oleh masyarakat sendiri, bisa sebagai media untuk olahraga, hiburan atau memang sengaja sebagai upaya mendapatkan atlit yang berprestasi di cabang olahraga tersebut.Â
Tapi dalam konteks tema artikel ini, "tradisi" dalam ucapan (mantan) Menpora Imam Nahrawi, bisa dimaknai sebagai trigger yang mengarah kepada cabang-cabang olahraga yang mempunyai ikatan tradisi, seperti panahan (tradisional) salah satunya!Â
Sudah sejauh mana pencapaiannya? Sudah sejauh mana kita semua peduli dengan kelestarian dan keberlangsungannya? Sudah sejauh mana panahan (tradisonal) berkontribusi pada perhelatan pentas olahraga antarbangsa? Sejauh mana panahan Kasumedangan menyemai bibit-bibit pemanah handal?
Serba-serbi Panahan Kasumedangan
Salah satu tradisi budaya memanah yang masih eksis di nusantara adalah panahan Kasumedangan, olahraga tradisional panahan dari bumi Puseur Budaya Sunda, Sumedang, Jawa Barat yang saat ini eksistensinya memang hanya terkonsentrasi di Kampung Cimanglid, Desa Pasir Biru, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang.
Panahan Kasumedangan yang diyakini oleh masyarakat Sumedang sendiri sebagai warisan dari peradaban budaya kerajaan Sumedang Larang yang menurut beberapa literatur sudah mulai eksis di abad ketujuh tersebut.
Diyakini juga mengandung nilai-nilai kearifan sebagai perlambang dari kehidupan, seperti perlunya kerja keras, kerja sama, kecermatan, ketekunan, ketelitian, ketertiban, sportivitas dan perlunya menyikapi persaingan secara arif serta banyak lagi yang lainnya.
Sejauh ini memang belum ada penelitian khusus, untuk mencari tahu jawaban terkait lestarinya warisan Panahan Kasumedangan di Kampung Cimanglid yang jika dihitung dari awal eksistensi Kerajaan Sumedang Larang telah lebih dari 10 (sepuluh) abad, kecuali melimpahnya sumber bahan baku pembuatan instrumen Panahan Kasumedangan, yaitu pohon bambu.
Kampung Cimanglid Desa Pasir Biru, memang telah dikenal sebagai penghasil bambu sejak lama. Di seputaran kampung dan Desa ini tumbuh subur sekitar 13 (tigabelas) jenis pohon bambu yang membuat suasanan kampung ini tampak sejuk dan menyegarkan.Â
Diantara sekian banyak jenis bambu tersebut, jenis bambu bitung atau bambu betung/petung (Dendrocalamus asper) yang dalam bahasa Inggris biasa disebut giant bamboo ini memang dikenal kuat dan liat, sehingga menjadi komoditi terpenting.
Dalam keadaan normal di habitatnya, jenis bambu ini bisa tumbuh sampai setinggi 20 m dengan warna kulit bervariasi dari hijau, hijau tua, hijau keunguan, hijau keputihan, atau bertotol-totol putih karena liken.
Diameter buluh batang terbesarnya yang bisa mencapai 18-20 cm, dengan panjang ruas 40-50 cm dan ketebalan buluh batangnya yang bisa mencapai 11 sampai 36 mm tentu sangat cocok untuk membuat rancatan bow (busur panah) tradisional khas dari Sumedang yang sangat terkenal dikalangan penikmat olahraga panahan di Indonesia dan juga anak panahnya.
Membuat Perangkat Panahan
Uniknya, dalam tradisi masyarakat Kampung Cimanglid, untuk memilih bambu bitung yang akan dipakai untuk membuat rancatan bow (busur panah) tradisional khas dari Sumedang dan juga anak panahnya tidak bisa dilakukan sembarangan.
Bambu pilihan dimaksud haruslah tumbuh menghadap ke arah timur yang tentunya lebih banyak mendapat paparan sinar matahari, daripada yang tumbuh menghadap arah lainnya.
Karena diyakini tumbuhnya bambu akan lebih sehat dan maksimal sehinga buluh batangnya pasti lebih kuat dan liat. Tidak hanya itu, penebangan bambu juga waijb dilakukan, hanya pada hari tanggal 1 Muharram yang bertepatan dengan tahun baru umat Islam.Â
Untuk membuat busur rancatan yang kuat dan stabil, diperlukan dua bilah batang bambu yang disambung dengan mempertemukan masing-masing pangkal ruas dari dua bilah bambu tepat dibagian tengah yang kelak juga berfungsi sebagai pegangan, sehingga busur rancatan akan semakin kuat. Setelah busur siap, tahapan berikutnya adalah memasang tali khusus pada masing-masing ujung busur.
Setelah busur rancatan, elemen Panahan Kasumedangan lain yang perlu dibuat adalah anak panah. Untuk membuat anak panah terbaik, yang  perlu diperhatikan pertama kali adalah peruntukan pemakainya, anak-anak, remaja atau dewasa, karena ukuran anak panah biasanya ditentukan oleh ukuran panjang tangan pemakainya.
Setelah ukuran didapat, selanjutnya bambu dipotong sesuai ukuran dan bisa langsung direrab atau dipanaskan di atas bara api, agar kering dan mudah dibentuk.Â
Setelah itu, bambu diserut halus dan agar lebih cantik dan mudah dikenali oleh pemiliknya, anak panah bisa diwarnai dan bagian ujungnya dipasang lempengan besi tempa pipih tajam, sedangkan bagian pangkalnya dipasang tiga helai bulu, bisa ayam atau angsa dengan komposisi pemasangan, satu helai menghadap ke atas, dua helai ke samping dengan maksud agar anak panah bisa melesat lurus
Selain panah dan busur, permainan juga dilengkapi sebatang pisang sebagai sasaran ketika akan menentukan nomor urut peserta dan patung Dasamuka sebagai sasaran utama penilaian.
Aturan Main Panahan
Aturan permainan dalam panahan Kasumedangan pada dasarnya relatif sederhana dan tergolong mudah. Peserta diwajibkan memanah sasaran berupa patung atau elemen benda yang dibaratkan sosok Dasamuka yang umumnya terbagi dalam beberapa bagian tubuh dengan nilai yang berbeda-beda, sesuai dengan tingkat kesulitannya dalam beberapa rambahan atau putaran panahan.
Umumnya, bagian kepala yang ukuran bidangnya paling kecil mempunyia poin angka terbesar bagi pemanah yang bisa membidik atau memanahnya dengan tepat (misal poinnya sembilan).
Berikutnya bagian dada yang mempunyai bidang relatif agak besar poinnya lebih kecil dari bagian kepala (misal poinnya tujuh), begitu seterusnya sampai pada bagian lain dari imajiner patung Dasamuka yang dijadikan sasaran panah.
Untuk menentukan pemenang biasanya ditentukan dari total nilai poin yang didapat oleh masing-masing pemanah dalam beberapa kali rambahan yang pada masing-masingnya biasanya bisa melepaskan 15 (limabelas) anak panah atau kesepakatan.
Ini yang unik! Untuk menentukan urutan giliran memanah (start) dalam tiap rambahan-nya, biasanya perlombaan didahului dengan perlombaan semacam proses kualifikasi, mirip dengan kualifikasi pada perlombaan balap Moto GP maupun Formula 1 ketika menentukan urutan start termasuk menentukan pole position-nya.Â
Caranya juga sangat sederhana, para peserta diminta membidik sasaran tertentu pada batang pisang. Dari akurasi bidikan masing-masing peserta itulah juri akan menentukan urutan atau giliran memanah masing-masing peserta sekaligus memberi identitas pada anak panah masing-masing pemanah sesuai dengan urutan memanah tersebut.
Dalam proses ini, biasanya juga diisi dengan hiburan untuk mencairkan suasana dengan menari atau ngibing diiringi alunan musik angklung jengklung dan juga beberapa ritual yang menjadi bagian dari tradisi budaya masyarakat Cimanglid, berupa penyerahan pusaka panah kabuyutan peninggalan Kerajaan Sumedang Larang kepada sesepuh yang biasa disebut sebagai Pupuhu.
Selanjutnya, Pupuhu memberi sambutan yang biasanya berisi wejangan terkait maksud, tujuan dan makna dari perlombaan panahan Kasumedangan tersebut yang dilanjutkan dengan membuka selubung patung Dasamuka yang umumnya berjarak sekitar 50 meter dari garis batas permainan, sebagai tanda pertandingan panahan Kasumedangan bisa segera dimulai.
Konklusi Paradoksal
Panahan Kasumedangan merupakan aset tradisi dan budaya khas Sumedang yang tak ternilai harganya. Eksistensinya juga yang menjadikan Pemerintah Sumedang semakin mantap dan percaya diri menyematkan label puseur budaya sunda di belakang nama Sumedang, meskipun sesekali eksistensi panahan kasumedangan sendiri masih tampak samar dan tertatih-tatih untuk mengangkat pamornya. Sepertinya ini tantangan riil yang wajib menjadi perhatian semua stakeholder, baik di level Sumedang sendiri, Jawa Barat dan juga pemerintah pusat.
Sebagai warisan karuhun berusia ribuan tahun yang didalamnya sarat dengan kearifan dan kebermanfaatan yang tak terbantahkan, bukan rahasia lagi jika olahraga panahan juga menjadi salah satu olahraga yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW dan masyarakat Sumedang yang mayoritas muslim tentu paham maknanya, ada nilai ibadah didalam setiap aktifitas Panahan Kasumedangan.
Dengan latar belakang sejarah, spiritual, dan juga tradisi budaya yang begitu kuat, secara faktual Panahan Kasumedangan tidak hanya sekedar harus dilestarikan semata sebagai bentuk tanggung jawab kita kepada nenek moyang, tapi juga wajib dikembangkan secara konstruktif lagi sebagai bentuk pertanggungjawaban kita kepada diri sendiri, sebagai bagian dari umat Islam serta kepada anak cucu, sebagai generasi penerus, pemegang estafet kehidupan di masa mendatang.Â
Jangan sampai anak cucu kita melihat Panahan Kasumedangan hanya dari foto atau film dokumenter semata, terlebih ada nilai ibadah pada setiap aktifitasnya.Â
Karena sejatinya, membicarakan Panahan Kasumedangan tidak hanya membicarakan sunnah Rasululah semata, juga tidak sekedar membincang kelestarian tradisi dan budaya Sumedang semata, tapi juga kemungkinan  dari peran besarnya menjadi "kawah candradimuka", bagi lahirnya generasi emas srikandi-srikandi  pemanah yang berakhlak dan berintegritas tinggi yang kelak bisa mengharumkan nama Sumedang, Jawa Barat bahkan Indonesia diberbagai level dan even olahraga panahan.
Semoga bermanfaat!
Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!
Catatan : Sumber pustaka digital bisa langsung diklik pada kata/frasa dengan link aktif. Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H