Menurut Prof Dr HJ Schophuys, ahli hidrologi asal Belanda, kanal berupa  Anjir, Handil dan Saka betul-betul karya asli masyarakat Banjar yang disebutnya sebagai sistem irigasi orang Banjar.
Kemampuan dan kebiasaan orang Banjar membuat kanal berbagai ukuran merupakan keistimewaan sekaligus membuktikan tingkat peradaban yang mereka miliki sebagai bukti nyata keramahan pada alam lingkungannya, dataran rendah yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut.
Sejak ratusan tahun yang lalu Urang Banjar sudah mampu membangun kanal yang panjangnya mencapai puluhan kilometer hanya dengan kekuatan tangan dan alat sangat sederhana yang disebut Sundak, yaitu alat yang terbuat dari kayu ulin tipis atau lempengan baja berukuran lebar 20 cm dan panjang 35 cm.
Ini yang membedakannya dengan kanal-kanal di Jakarta yang dibuat sejak jaman Belanda dengan paradigma lebih untuk "mengeringkan Jakarta" dengan cara mempercepat lalulintas "air bah" kiriman dari hulu menuju laut untuk menghindari banjir yang menurut Yu Sing, sasuatu yang mustahil.
Masyarakat Banjar, sejak dulu  menyadari daerahnya sebagai  kawasan pasang surut dimana daratannya sama tinggi atau bahkan lebih rendah dari permukaan air laut, untuk mencegah meluapnya air karena naiknya debit air sungai kiriman dari hulu, masyarakat Banjar lebih memilih untuk memperluas penampang dan penampung air permukaan dengan cara membuka kanal atau saluran-saluran air buatan berbagai ukuran yang bisa menghubungkan antar sungai, antar kanal, antar rawa atau bahkan antar sungai, kanal dan juga rawa sekaligus.
Cara kerjanya, jika air kiriman dari hulu sungai berlebih maka air tidak serta merta membanjiri Kota, tapi terdistribusi ke berbagai kanal buatan yang juga terhubung dengan kawasan retensi atau resapan, bahkan sampai ke selokan-selokan perumahan.
Begitu juga sebaliknya, jika debit air sungai turun atau surut maka "air lebih" di kanal bisa kembali mengisi sungai.
Teknologi kanal ala urang Banjar ini diyakini lebih efektif mencegah banjir, daripada kanal yang difungsikan sebagai "jalan tol" untuk membuang air bah ke laut yang secara logika jelas mustahil untuk daerah pasang surut seperti Banjarmasin dan jakarta.
Paradigma teori ini sesuai dengan yang dilakukan Jepang, khususnya saat membangun Stadion Yokohama yang dilengkapi dengan sistem multipurpose retarding basin bagi Sungai Tsurumi.