Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Penuaan Petani dan Peran Generasi Milenial

1 Mei 2019   08:57 Diperbarui: 1 Mei 2019   21:36 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penuaan petani (ageing farmers) menjadikan tantangan sektor pertanian dalam memenuhi permintaan pangan, yang terus meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk, kian berat. Harapan ada di pundak generasi milenial. Keberhasilan meningkatkan minat dan ketertarikan mereka untuk menjadi petani adalah kunci kesuksesan regenerasi di sektor pertanian. 

Sektor pertanian secara luas, yang mencakup subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan masih memainkan peran strategis dalam perekonomian nasional. Meski terus menurun seiring dengan transformasi struktur ekonomi nasional, pangsa sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih relatif tinggi. Tahun lalu, sektor pertanian menyumbang sekitar 12,81 persen dari total PDB nasional, kedua tertinggi setelah sektor industri manufaktur.

Jumlah tenaga kerja yang menggantungkan hidup di sektor pertanian juga masih sangat besar. Penyerapan tenaga kerja di sektor ini bahkan paling tinggi di banding sektor ekonomi lainnya, yakni mencapai 35,7 juta orang atau sekitar 28,79 persen dari total angkatan kerja yang bekerja pada Agustus 2018. Namun demikian, jumlah angkatan kerja di sektor ini menunjukkan tren yang terus menurun. 

Potret yang sama juga disajikan Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS), yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018. Hasil SUTAS memperlihatkan bahwa jumlah rumah tangga usaha tanaman padi dan palawija mengalami penurunan masing-masing sebanyak 0,99 juta rumah tangga dan 1,5 juta rumah tangga dalam lima tahun terakhir.

Penuaan petani terus berlanjut

Sebetulnya, penurunan tersebut adalah sesuatu yang wajar untuk negara berkembang seperti Indonesia. Struktur ekonomi negeri ini tengah bertransformasi menuju perekonomian yang didominasi sektor industri dan jasa. Persoalannya, fenomena ini juga dibarengi dengan terus meningkatnya rata-rata umur petani atau penuaan petani tanpa adanya regenerasi yang sepadan bahkan cenderung stagnan.

Faktanya, rata-rata umur petani Indonesia sudah di atas 50 tahun dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Proses penuaan petani ini terkonfirmasi oleh hasil SUTAS 2018. Dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2013 (ST-2013), hasil SUTAS memperlihatkan bahwa hanya dalam waktu lima tahun komposisi umur petani bergesar cukup signifikan. 

Persentase petani muda (di bawah 45 tahun) mengalami penurunan sekitar 4 persen, sementara pada saat bersamaan proporsi petani tua (di atas 54 tahun) bertambah sebesar 3 persen.

Sumber: BPS
Sumber: BPS
Proporsi petani berumur 65 tahun ke atas, yang mestinya telah pensiun dan menikmati hari tua, juga mengalami peningkatan dari 12,75 persen pada 2013 menjadi 13,81 persen pada 2018. Itu artinya, saat ini, dari setiap 100 petani negeri ini, 14 orang di antaranya telah berumur 65 tahun ke atas.

Lebih rinci, hasil SUTAS memperlihatkan bahwa, hanya dalam waktu lima tahun, jumlah petani berumur di bawah 35 tahun berkurang 337 ribu orang sementara petani berumur di atas 54 tahun bertambah sekitar 1,4 juta orang. Penyumbang utama penurunan tersebut adalah berkurangnya jumlah petani di subsektor tanaman pangan (padi dan palawija). 

Fakta ini tentu saja sangat mengkhawatirkan dan merupakan ancaman terhadap ketahanan pangan nasional. Selain itu, tantangan mewujudkan swasembada pangan, khususnya komoditas padi, jagung, kedelai bakal semakin berat.

Potret yang disajikan Gambar 2 mengkonfirmasi adanya kecenderungan bahwa generasi muda negeri ini enggan atau kurang tertarik untuk bergelut di sektor pertanian. Tak bisa dimungkiri, stigma yang melekat pada profesi petani adalah pekerjaan kotor dengan pakaian berlumpur, kurang bisa dibanggakan, ketinggalan zaman, dan pendapatan yang rendah.

Meski tidak sepenuhnya benar, statistik menunjukkan bahwa profesi petani dan sektor pertanian memang identik dengan kemiskinan. Data BPS memperlihatkan bahwa kemiskinan negeri ini merupakan fenomena sektor pertanian pedesaan. BPS mencatat, sebagian besar penduduk miskin (61 persen) merupakan penduduk perdesaan. Sekitar 65 persen dari mereka berasal dari rumah tangga dengan pekerjaan utama kepala rumah tangga di sektor pertanian.

Salah satu penyebab utama sektor pertanian negeri ini menjadi pusat kemiskinan adalah rendahnya pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha tani. Hal ini terjadi karena banyak hal, seperti produktivitas yang rendah, tingginya ongkos usaha tani kerena biaya input (benih, pupuk, dan pestisida) yang mahal, kurangnya akses permodalan, dan skala usaha tani (luas lahan garapan) yang jauh di bawah skala ekonomi yang menguntungkan.

Faktanya, banyak petani kita masih mengandalkan praktek budidaya pertanian yang sudah ketinggalan zaman, yang cenderung padat karya dan tidak berkelanjutan. 

Kondisi ini berujung rendahnya efisiensi dan produktivitas usaha tani. Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Pangan (SOUT) yang dilaksanakan BPS pada 2017, misalnya, menunjukkan bahwa seperempat dari total rumah tangga usaha tanaman padi sawah masih mengandalkan tenaga hewan dan manusia dalam proses pengolahan lahan. 

Hasil SOUT 2017 juga menunjukkan bahwa akses petani terhadap lembaga perbankan masih sangat terbatas. Jumlah rumah tangga usaha tanaman padi sawah yang mengakses pinjaman dari bank hanya sebesar 29 persen.

Rata-rata luas lahan pertanian yang diusahakan petani juga relatif kecil. Hasil SUTAS menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga usaha tani (58 persen) merupakan rumah tangga petani gurem dengan luas lahan garapan kurang dari 0,5 hektar. Laju konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian, seperti perumahan, kawasan industri, dan proyek infrastruktur yang cukup pesat juga membatasi akses petani untuk menguasai lahan pertanian yang lebih luas. 

Selain itu, banyak petani negeri ini hanya berprofesi sebagai petani penggarap tanpa kepemilikan lahan. Tidak sedikit di antara mereka mengelola lahan pertanian dengan sistem bagi hasil sehingga pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha tani tidak maksimal.

Tidak membuat heran, jika generasi muda umumnya, termasuk mereka yang lahir dan besar dari keluarga petani, lebih mengimpikan pekerjaan kantoran yang dianggap lebih moderen dengan upah yang lebih tinggi, tempat kerja yang nyaman, dan dihargai masyarakat. Bahkan, orang tua yang berprofesi sebagai petani pun mendambakan anaknya untuk memiliki pekerjaan yang lebih baik di luar sektor pertanian.

Perbaikan kualitas sumber daya manusia perdesaan, khususnya tingkat pendidikan, juga kurang berdampak signifikan terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia di sektor pertanian. Pendidikan yang lebih baik justru dianggap sebagai tiket untuk memperoleh pekerjaan yang lebih menjanjikan di luar sektor pertanian, tentu saja dengan bermigrasi ke kota. 

Hasil SUTAS mengkonfirmasi bahwa dari sisi capaian pendidikan, profil petani kita tidak banyak berubah. Sektor pertanian negeri ini tetap didominasi petani berpendidikan rendah (tidak bersekolah dan hanya tamat sekolah dasar). Kondisi ini tentu bakal menghambat inovasi dan introduksi teknologi baru untuk meningkatkan produktivitas.

Persoalan kian runyam. Di Era Revolusi Industri 4.0 ini, akses dan tingkat penguasaan petani kita terhadap teknologi informasi juga relatif rendah. Hasil SUTAS 2018 menunjukkan, persentase petani yang pernah menggunakan internet hanya sebesar 16 persen.

Harapan pada generasi milenial

Kondisi ini tentu merisaukan. Tak bisa dimungkiri, tantangan sektor pertanian ke depan semakin berat. Peningkatan permintaan komoditas pangan akibat pertambahan jumlah penduduk tak bisa dielakkan. Pada saat yang sama, lahan pertanian yang terbatas menjadikan upaya memacu produksi pangan harus bertumpu pada peningkatan produktivitas melalui pemanfaatan teknologi modern. 

Petani kita juga dituntut semakin kompetitif dan menghasilkan produk pertanian yang berkualitas. Mereka tidak hanya harus mampu bersaing di dalam negeri tetapi juga di pasar global. Karena itu, regenerasi petani dan perbaikan kualitas sumber daya manusia di sektor pertanian sangat mendesak untuk diupayakan. Terkait hal ini, harapan ada pada generasi milenial.

Mengapa milenial?

Seperti telah disinggung sebelumnya, salah satu tantangan utama sektor pertanian ke depan adalah peningkatan produktivitas dan kualitas produk pertanian melalui inovasi dan pemanfaatan teknologi mutakhir. Dalam hal ini, generasi milenial dapat diandalkan karena mereka memiliki kapasitas, khususnya tingkat pendidikan, yang lebih baik dari pendahulunya. 

Data BPS memperlihatkan, rata-rata lama sekolah generasi milenial sebesar 10,04 tahun, lebih lama dari generasi X yang hanya sebesar 8,07 tahun. Selain itu, tingkat penguasaan dan adaptasi mereka terhadap inovasi dan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi, juga lebih baik. Karena itu, upaya yang difokuskan untuk meningkatkan minat dan ketertarikan generasi milenial terhadap sektor pertanian sangat krusial dalam mendorong regenerasi petani.

Lalu bagaimana caranya?

Jawabannya jelas, stigma yang selama ini melekat pada sektor pertanian harus dikikis habis. Dalam pada itu, modernisasi sektor pertanian melalui pemanfaatan teknologi informasi dan mekanisasi, yang saat ini tengah dilakukan pemerintah, harus terus ditingkatkan. 

Pada saat yang sama, berbagai persoalan yang menjadi penyebab rendahnya pendapatan usaha tani yang dipaparkan sebelumnya juga harus dibereskan. Hal ini tentu bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Upaya kolaboratif yang melibatkan semua institusi pemerintah yang terkait, lembaga pendidikan, dan pihak swasta atau dunia usaha sangat diperlukan.

Untuk menjaring sebanyak mungkin generasi milenial, sosialisasi yang intensif melalui kampanye yang masif di sekolah-sekolah mesti dilakukan. Generasi milenial harus dicerahkan bahwa sektor pertanian negeri ini terus berbenah dan menjanjikan kesejahteraan. Pendampingan berupa pelatihan managemen dan kewirausahaan di bidang pertanian juga harus diberikan kepada generasi milenial yang tertarik untuk bergelut di sektor pertanian.

Selama ini, pendidikan pertanian hanya ada di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan jarang menjangkau lingkungan kampus. Karena itu, kampanye yang menyasar mahasiswa perlu ditingkatkan. Terkait hal ini, upaya yang dapat dilakukan, antara lain, adalah dengan memberikan insentif kepada mahasiswa yang tertarik untuk menjadi petani. 

Insentif tersebut dapat berupa beasiswa pendidikan dengan perjanjian kontrak bakal bekerja sebagai petani setelah menamatkan pendidikan. Tentu saja ini dilakukan dengan memberikan bantuan dan pendampingan hingga mereka benar-benar mandiri dalam menjalankan kegiatan usaha tani.

Kabar baiknya, saat ini Kementerian Pertanian telah meluncurkan Gerakan Tani Milenial untuk mendorong partisipasi generasi milenial di sektor pertanian. Jika kita sadar bahwa masa depan sektor pertanian negeri ini ada di pundak mereka, gerakan seperti ini sudah sepatutnya didukung oleh semua pihak dan diimplementasikan secara masif di seluruh wilayah Indonesia. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun