Di tahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 19 Juli, Kasimo menegaskan pandangannya yang berbeda dengan IKP, yang juga berada di Volksraad. Kasimo menyelipkan kata “memerintah negeri sendiri” dengan lantang dalam pidatonya. Maka muncullah reaksi dari IKP dengan sebuah Manifesto Politik yang dikeluarkan pada September 1933. Walaupun IKP diisi oleh orang-orang Belanda, namun Apostolik Vikaris Batavia menyetujui pidato Kasimo.
Fokus perjuangannya di Volksraad dalam tahun-tahun pertama adalah bidang pendidikan dan pertanian. Buktinya pada tahun 1933, ketika pemerintah kolonial hendak mengimpor beras, maka Kasimo mendesak agar diambil langkah-langkah yang melindungi harga beras petani dalam negeri dan penghasilan petani tidak dirugikan.Selain itu, Kasimo memperjuangkan peningkatan produksi hasil bumi rakyat yang dapat menambah penghasilan petani. Lalu beliau mengusahakan meningkatkan gizi makanan rakyat.
Di bidang pendidikan, Kasimo mengkritik sistem pendidikan yang diberlakukan pemerintah kolonial. Menurutnya, sistem pendidikan seharusnya lebih ditujukan kepada pemberian pendidikan kepada murid-murid, tidak untuk mempersiapkan mereka untuk pekerjaan tertentu saja.
Kasimo juga mengusulkan agar jumlah dan mutu pendidikan guru ditingkatkan. Ini disebabkan kondisi yang mengharuskan guru-guru kerapkali mengajar banyak kelas dan perpustakaan yang tidak mendukung serta tidak terorganisir.
Sifat perjuangannya yang moderat mempengaruhi sikapnya terhadap Petisi Soetardjo. Petisi tersebut digagas oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo dan pemungutan suaranya pada tanggal 15 Juli 1936 di Volksraad.
Soetardjo menjelaskan bahwa petisi yang diajukannya pada Kamis, 9 Juli 1936, merupakan bentuk kekecewaan yang timbul akibat “tidak adanya karya anggota Volksraad Indonesia.” Ditambah dengan penindasan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap penduduk asli Indonesia. Kasimo mendukung petisi tersebut dengan menjadi anggota Sentral Komite Petisi Soetardjo.
Selain menyinggung masalah ekonomi, dalam petisi tersebut meminta untuk mengadakan satu Rijksraad yang terdiri dari wakil-wakil Belanda dan Indonesia. Adapun permintaan dalam mengatur hubungan dan kedudukan yang sederajat atau menyerupai dominion. Petisi itu kemudian didukung 26 suara dan ditolak 20 suara. Petisi yang disetujui itu kemudian diajukan ke Belanda. Namun ditolak oleh Tweede Kamer pada tahun 1938 dengan alasan isi petisi tidak jelas dan manipulatif.