Afiliasi sementara dengan IKP berakhir setelah dikeluarkannya peraturan baru mengenai pemilihan anggota dewan perwakilan yang terbagi dalam 3 golongan (Eropa, Timur Asing, Pribumi) dan diwajibkan memilih wakilnya dari golongannya sendiri. Dengan peraturan tersebut, maka mempengaruhi berkurangnya “partai atau organisasi campuran”.
Dalam tahun-tahun berikutnya, adanya suatu kecenderungan dari perkembangan organisasi-organisasi pergerakan yang sifatnya lokal menjadi partai nasional. Hal ini terjadi juga pada PPKD. Pada tanggal 22 Februari 1925, PPKD berubah menjadi Perkumpulan Politik Katolik di Djawa.
Awalnya diperuntukan untuk golongan Katolik Jawa saja. Kemudian PPKD memperluas perhatiannya kepada golongan Katolik di luar Pulau Jawa. Inilah yang mendorong nomenklatur dari PPKD menjadi Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI) pada tahun 1930. PPKI mempunyai 41 cabang sebelum serbuan Jepang.
PPKI ikut serta dalam keanggotaan Volksraad sejak tahun 1924 sampai 1927. Yang pertama kali mewakili PPKI adalah R.M. Jakob Soedjadi. Kemudian pada masa sidang Volksraad tahun 1931 – 1935, ada 5 orang pribumi yang diangkat oleh gubernur jenderal. Di antaranya Kasimo dari PPKI, Wiwoho dari golongan Islam, dr. Apituley dari Moluks Politiek Verbond (Perhimpunan Politik Maluku), Tuanku Mahmud dari Kesultanan Aceh, dan dr. Arifin (adiknya Abdul Muis) dari Sarekat Islam.
Dalam Volksraad, Kasimo menunjukkan citra khasnya dengan berpakaian Jawa lengkap, menggunakan jas langernarjan, ikat kepala dan keris. Statusnya yang bukan golongan bangsawan itulah yang membedakan dalam perbedaan kasta yang ada di Volksraad.
Dalam sidang Volksraad, Kasimo menyampaikan argumentasinya dengan tulisan bahasa Belanda yang baik. Kasimo juga menyebutkan Volksraad mempersatukan gerakan nasional Indonesia. Hal tersebut tercermin para tokoh pemimpin bangsa Indonesia dari berbagai daerah dapat duduk bersama dan membahas masalah-masalah yang terjadi di negerinya.
Kasimo yang mewakili aspirasi dari pemeluk agama Katolik pribumi, terkadang terlibat perdebatan dalam sidang Volksraad. Contohnya pada tanggal 3 Agustus 1933.
Saat itu Kasimo dituduh oleh R. Pandji Soeroso bahwa Kasimo dan golongan Katolik Indonesia bukan orang-orang nasionalis sejati. Dikarenakan tidak mengikuti naluri nasionalisme yang wajar dan ditentukan oleh Vikaris Apostolik – yang bukan orang Indonesia.
Kasimo marah dan menuduh balik bahwasanya Pandji Soeroso pun tidak mengikuti naluri nasionalisme yang wajar, melainkan ditentukan oleh para pemimpin sosialis dari NVV (Nederland Verbond van Vakvereenigingen atau Gabungan Serikat Sekerja Negeri Belanda), yang bukan orang Indonesia. NVV ini memiliki hubungan erat dengan Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN), partai yang diwakili Pandji Soeroso.